Banda Aceh – Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad mengatakan, teroris generasi baru saat ini muncul dan marah kepada orang yang suka memburu teroris, yakni polisi. Generasi ini merupakan produk dari Homegrown Terrorism (HT).
“Marahnya itu kepada orang yang suka mencari teroris, itulah Polisi,” kata Kamaruzzaman Bustamam Ahmad yang biasa disapa KBA saat menyampaikan materi acara Camping Keberagaman dalam Pencegahan Radikal Terorisme dengan Kampanye Damai Beragama yang digelar BNPT dan FKPT Aceh di Auditorium Teater Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, Rabu (3/5/2023).
KBA menjelaskan kelompok periodesasi teroris yang berada dalam tiga 4 jilid, yakni jilid I adalah mereka yang direkrut sebagai bagian dari Arab – Afghan yang kemudian memunculkan kelahiran Al-Qaida di Timur Tengah.
Sedangkan jilid II adalah alumni teroris dari Mindanao, mereka yang dilatih kemudian kembali ke Indonesia, terjadilah bom di beberapa tempat. Mereka dikenal sebagai bagian dari Jemaah Islamiyah (JI).
“Kehadiran Teroris Jilid II kemudian memunculkan berbagai pola gerakannya yang termaktub dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Jema’ah Islamiah), yang musuhnya adalah simbol-simbol Amerika yang ada di Indonesia,” jelas KBA.
Sementara untuk Jilid III itu disebut produk lokal di Indonesia yang memiliki jaringan dengan Timur Tengah dan Asia Tenggara. Ada yang di Bima, Poso, Pulau Jawa, dan Aceh di Jalin Jantho.
“Jalin Jantho itu awalnya diinginkan menjadi pusat gerakan Asia Tenggara, namun bocor sehingga terbongkarlah Jalin,” jelasnya.
Dijelaskan, kini muncul teroris generasi baru yang marahnya kepada orang yang suka mencari teroris, yakni apparat keamanan. Tidak mengherankan, generasi baru ini target dari amaliah mereka adalah gedung atau pos polisi, selain juga masih terdapat gereja.
“Dalam kajian bahasa teroris disebut Homegrown Terrorism, mereka terekrut dengan sendiri dari rumah, bukan seperti di lapangan, tapi dari rumah tangga,” tegas KBA.
Teroris generasi baru ini dalam bahasa lainnya disebut tidak menyadari terekrut, sehingga banyak anak-anak yang ikut terekrut yang kemudian memiliki faham intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
“Umumnya anak-anak yang tidak faham, apa yang mereka konsumsi di dunia maya,” lanjut KBA.
KBA menjabarkan dalam perekrutan teroris generasi Baru ini, senjata atau alat yang dipakai adalah media sosial. Seperti misal, hari ini kita marah pada seseorang tanpa alasan, itu dapat menyerang dengan isu kebencian kepada orang tersebut.
“Jadi Medsos itu bisa digunakan sebagai senjata,” katanya.
Namun kondisi sekarang–lanjut Dia–orang terlalu cepat marah karena informasi konspirasi yang beredar di media sosial, seakan pesannya betul namun sebenarnya keliru.