Oleh: Muhibuddin Hanafiah
Di mana posisi kaum ulama dalam sistem pemerintahan di Aceh? Sebagaimana dipahami bahwa sistem pemerintah di Aceh sejak dahulu hingga hari ini telah mengistimewakan kedudukan ulama secara spesifik. Di mana peran ulama dalam penentuan kebijakan pemerintah Aceh merupakan bagian dari tiga keistimewaan lainnya, yaitu keistimewaan Aceh dalam bidang agama dengan pelaksanaan syariat Islam, keistimewaan dalam menjaga adat dan budaya Aceh yang berdasarkan pada ajaran Islam, keistimewaan dalam aspek penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penentuan kebijakan pemerintah daerah (Pasal 3 ayat 2 UU RI No. 44 Tahun 1999).
Membaca kembali Undang-Undang RI No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Di sana ditemui bagaimana sebenarnya posisi ulama dalam penyelengaraan keistimewaan Aceh. Secara jelas disebutkan bahwa peran ulama adalah sebagai penentu dalam penetapan kebijakan daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah Aceh harus mendapatkan dukungan atau persetujuan dari ulama dalam penetapan kebijakan daerah (Bab III, Pasal 3, ayat 2). Di sini posisi ulama adalah mitra kerja pemerintah daerah Aceh yang kedudukannya sejajar dengan kepala daerah dan dewan legislatif. Siapa sebenarnya ulama yang dimaksud dalam undang-undang ini? Jawabannya adalah ulama yang berada dalam sebuah badan yang independen. Artinya bukan selama sebagai seorang invidual atau perorangan yang berada di luar badan dimaksud. Kemudian apa saja wewenang dan ruang lingkup tugas ulama dalam badan tersebut? Jawabannya adalah memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami (Bab III, Pasal 9, ayat 1-2).
Dalam bagian penjelasan, tentang Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah bersifat terus-menerus sehingga dipandang perlu dilembagakan dalam suatu badan. Di mana badan tersebut dibentuk di tingkat provinsi dan juga di tingkat kabupaten/kota yang diatur lebih jauh dengan peraturan daerah (Qanun No. 2 Tahun 2009). Sementara ayat 2 menjelaskan tentang independensi badan adalah kedudukan badan tidak berada di bawah gubernur dan DPRA tetapi sejajar. Pertimbangan yang diberikan oleh badan dimaksud dapat berbentuk fatwa atau nasehat, baik secara tertulis maupun secara lisan yang dapat dipergunakan dalam pembahasan kebijakan daerah. Badan ulama yang belum ada nama ini kemudian diperjelas dalam Qanun No. 2 Tahun 2009 dengan nama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Uniknya badan ulama ini tidak saja terdiri dari ulama saja di dalamnya, tetapi juga terdapat cendekiawan muslim. Hal ini bisa dibaca dalam konsideran ke-10 dalam qanun tersebut. “Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh atau disingkat dengan MPU Aceh adalah majlis yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
Nah, kemudian siapa yang dimaksudkan dengan ulama di sini? Secara tegas disebutkan bahwa ulama adalah tokoh panutan masyarakat yang memiliki integritas moral dan memahami secara mendalam ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Hadits serta mengamalkannya (konsideran 12). Secara tersurat ada empat kompetensi ulama, yaitu; tokoh di masyarakat, berintegritas secara moral, mendalami ajaran Islam, dan mampu mengamalkannya. Sementara itu yang dimaksud dengan cendekiawan muslim adalah ilmuan muslim yang mempunyai integritas moral dan memiliki keahlian tertentu secara mendalam serta mengamalkan ajaran Islam (konsideran 13). Beda dengan ulama, kompetensi cendekiawan hanyalah tiga saja, yaitu; ia seorang muslim yang ilmuan, berintegritas moral, dan mengamalkan ajaran Islam. Di sini yang membedakan ulama dan cendekiawan adalah pada ketokohan di masyarakat, sementara kompetensi lain nyaris sama. Ulama dan cendekiawan muslim sama-sama memiliki integritas moral yang tinggi dan memahami bidang ilmu masing-masing secara mendalam, hanya saja bedanya ulama memahami ilmu agama sedangkan cendikiawan memahami ilmu di bidang yang sesuai keahliannya.
Dalam struktur badan MPU, di samping diisi oleh ulama dan cendekiawan muslim, ternyata terdapat juga apa yang disebut dengan Majelis Syuyukh, yaitu sejumlah ulama kharismatik yang bukan anggota MPU sebanyak banyaknya sembilan orang yang dipilih berdasarkan keputusan MPU Pasal 8 ayat 2). Majelis Syuyukh ini adalah lembaga kehormatan yang berfungsi memberikan pertimbangan dan nasehat kepada pimpinan MPU. Demikian berat dan terhormat beban kerja MPU sampai-sampai harus dibakc-up kinerjanya oleh sekelompok ulama lain yang lebih berwibawa dan kharismatik dari ketua dan pengurus MPU pada umumnya. Lembaga semacam grand syaikh ini mengayomi dan mendampingi MPU dalam menjalankan amanat dan tugasnya sebagai mitra pemerintah daerah. Dengan demikian posisi ulama di MPU bisa dikatakan sangat kuat dan ampuh untuk mengontrol kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan masyarakat yang sejahtera dan adil. Sejatinya para ulama kharismatik ini, kendati berada di luar struktur MPU, istiqamah beramal atau mengabdi untuk menguatkan kinerja MPU, bukan justru berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Bila ini dilakukan maka kekuatan MPU di hadapan pemerintah daerah powernya menjadi lemah dan tidak berimbang, bisa-bisa berada di bawah kooptasi pemerintah daerah dan DPRA secara substansial.
Ulama atau orang alim (manusia yang berilmu) perannya cukup strategis dan komplek di tengah-tengah kehidupan umat. Ulama sebagai pilar yang kokoh, pewaris para nabi (hadits riwayat Abu Daud dan at-Tirmizy), memiliki tanggungjawab melestarikan, menyebarkan, mengajarkan, dan teladan dalam mengamalkan ajaran Islam. Ulama bagaikan pelita dan penerang di jalan kebenaran, bintang petunjuk arah, nahkoda dalam mengarungi gelombang kehidupan. Demikian juga kedudukannya (darajat), sangat mulia dan terhormat di mata umatnya. Allah SWT sendiri menempatkan satu posisi khusus kepada ulama dengan kedudukan yang tinggi (QS. al-Mujadah:11). Dalam pandangan Allah SWT, ulama memiliki perbedaan yang tidak sama dari orang biasa (QS.al-Zumar:9), ulama adalah tempat orang awam bertanya segala sesuatu yang ia tidak pahami (QS. al-Nahlu:43), dan ulama adalah sekelompok manusia yang paling takut kepada Allah (QS.Fathir:28). Salah seorang ulama salaf, Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah berkata; orang yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ulama dan orang yang berjihad di jalan Allah. Karena para ulama itu membimbing manusia tentang petunjuk yang dibawa para rasul. Sementara orang yang berjihad adalah orang yang membela petunjuk yang dibawa oleh para rasul.
Belajar dari konsideran dan informasi Allah dan rasulnya di atas, ternyata berat dan sulit menjadi seorang ulama yang sejati, khususnya di Aceh. Bukan perkara mudah untuk memenuhi kualifikasi seorang ulama yang dihormati masyarakat dikarenakan ilmu dan amalnya sesuai ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, bukan perkara mudah memiliki akhlakul karimah yang ditunjukkan dengan dedikasinya yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan etika, konon lagi menutur kata yang relevan dengan tindakan nyata. Mereka yang mampu melakoni semua ini disebut sebagai ulama, sekolompok orang panutan dan teladan umat. Tentu saja di zaman yang moralitas manusia yang semakin merosot, kuantitas dan kualitas para ulama semakin langka dan terus tergerus zaman. Apalagi ketika kita bercermin kepada kehidupan Rasulullah SAW, dimana para nabi lebih dekat dan inten bergaul dengan para mustadh’afin ketimbang dengan para elit masyarakat, seperti bersama anak yatim dan fakir miskin serta masyarakat kelas bawah lainnya. Karena memang Islam yang dibawa oleh para nabi mempunyai misi pembebasan umat manusia dari kemusyriakan dan ketidakadilan ekonomi dan sosial, belenggu perbudakan manusia, serta belenggu rezim penguasa yang menindas rakyat (mustakbarin). Islam yang dibawa oleh para nabi bertujuan menghantarkan umat manusia hidup dalam kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan. []
Penulis adalah Akademisi UIN Ar-Raniry