Oleh: Resi Waras.
Pengajar Filsafat di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).
Salah satu bahasan dalam ilmu logika (baca: mantiq) terkait hubungan predikat dengan subjeknya, predikasi, adalah materi proposisi.
Hubungan antara subjek dengan predikatnya, predikasi, sangat penting untuk menentukan apakah sebuah kalimat secara hakikatnya disebut proposisi ataukah menyerupai proposisi. Dengan kata lain, tanpa predikasi subjek tidak akan terkait sama sekali dengan predikatnya.
Proposisi secara primer terdiri dari tiga pilar subtansial, yaitu subjek, predikat dan predikasi. Jika salah satunya hilang, maka proposisi tidak lagi disebut sebagai proposisi.
Dalam definisinya, proposisi, adalah berita atau kalimat sempurna yang memiliki kemungkinan benar atau salah secara inheren. Kata “berita” atau “kalimat sempurna” menjelaskan elemen subtansial bagi proposisi. Tanpanya, proposisi tidak lagi disebut sebagai proposisi.
Predikasi.
Sebagaimana tercantum di atas, predikasi merupakan salah satu pilar subtansial dalam terbentuknya proposisi. Bahkan, kaitan subjek dengan predikatnya menjadi bermakna melalui predikasi. Sebagai contoh, gula adalah manis, kata “adalah” baik terucap, tertulis, atau pun tidak, namun terpahami, menjadi penentu hubungan serta kaitan “manis” pada subjeknya. Tanpa “adalah” tidak akan terbentuk satu proposisi yang dapat dipahami. Melainkan, hanya dua kata yang berdekatan, tapi tidak terkait antara satu dengan lainnya.
Dengan ungkapan lain, “adalah” (sebagai predikasi) menjadikan bermakna antara dua kata, gula dengan manis. Tanpa “adalah” kita hanya memiliki dua gagasan terpisah, gula dan manis, yang tidak terkait sama sekali.
Singkat kata, dengan “adalah” kita memiliki gula “dengan” manis. Sedangkan tanpa “adalah” kita memiliki dua kata gula “dan” manis.
Materi proposisi.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi, alangkah baiknya paparan tentang definisi proposisi menjadi gamblang. Dalam definisinya, proposisi, adalah berita atau kalimat sempurna yang memiliki kemungkinan benar atau salah secara inheren. Frasa “memiliki kemungkinan benar atau salah” men-signifikasi-kan bahwa kalimat sempurna ataupun berita tidak semata mencetakkan atau mencitrakan sekumpulan makna dalam mental audiens tanpa merujuk pada realita. Melainkan, pewartaan atas realitas.
Sedangkan kata “inheren” bermaknakan secara kedirian “kalimat sempurna” tanpa melihat siapa yang mewartakannya. Terkadang, seseorang menerima sebuah kebenaran atau kesalahan berita hanya memperhatikan si pewartanya dan mengabaikan sisi realitas dari berita tersebut. Dan hal tersebut, menjadikan sisi benar atau pun salah sebuah kalimat sempurna sangat subjektif. Objektivitas benar atau pun salah pada kalimat sempurna dan berita tidak lain hanya melihat hubungannya dengan realitasnya tanpa memberikan perhatian pada pewartanya.
Setelah menjadi jelas uraian definisi proposisi, akan memudahkan bagi kita untuk memahami “materi proposisi” dan “predikasi”.
Penjelasan di atas terkait frasa “memiliki kemungkinan benar atau salah secara inheren” pada kalimat sempurna dan berita tidak akan pernah terjadi bila “predikasi” tidak terwujud di dalamnya. Dengan artian, prediksi merupakan poros sentral bagi benar atau salahnya sebuah kalimat sempurna dan berita yang menitikberatkan pada realitasnya.
Di sisi lain, predikasi –yang mengaitkan predikat pada subjeknya– juga memiliki makna apakah predikasi yang terjadi adalah “pasti”, ‘tercegah” (baca: mustahil) ataukan “tidak pasti” (baca: mungkin).
Sebagai contoh, berita “Tuhan adalah Kausa Prima”, apakah predikasi “Kausa Prima” (baca: predikat) pada “Tuhan” (baca: subjek) merupakan hubungan kepastian, dimana tidak akan pernah terpisah antara “Kausa Prima” dengan “Tuhan” secara realitasnya, ataukah dimungkin terpisah? Bila dimungkin hubungan –predikasi– predikat dengan subjeknya terpisah, maka bisa dimungkin bahwa “Tuhan” bukanlah “Kausa Prima” secara realitas.
Contoh lainnya, hukum non-kontradiksi. Hukum non-kontradiksi merupakan proposisi aksioma prima, menjelaskan bahwa dua hal yang bertentangan (baca: kontradiksi) adalah mustahil bertemu dalam satu situasi. Mengamati subjek dari proposisi hukum non-kontradiksi –dua hal yang bertentangan– dengan predikatnya –mustahil bertemu dalam satu situasi– menjelaskan bahwa penegasian (baca: penafian) bertemuan kedua hal kontradiksi dengan menggunakan kata “mustahil” yang berartikan “tidak mungkin sama sekali”.
Dengan ungkapan lainnya, proposisi hukum non-kontradiksi menggunakan proposisi afirmatif yang bermaknakan proposisi negasi. Sebagai contoh, “ada” dan “tidak ada” mustahil bertemu dalam satu situasi. Dengar makna lain, “ada” dan “tidak ada” tidak mungkin bertemu dalam satu situasi.
Kemustahilan atau pun ketidakmungkinan bertemunya dua hal kontradiksi dalam satu situasi, yang merupakan materi proposisi, tidak merujuk pada makna mental, melainkan pada ranah realitas. Dengan ungkapan lain, kemustahilan ataupun ketidakmungkinan pada proposisi hukum non-kontradiksi tidak sedang membicarakan predikasi kemustahilan secara gagasan mental, melainkan menyororti predikasi kemustahilan secara realitik. Karena, mental manusia mampu memiliki dua gagasan bertentangan secara bersamaan. Sebagai contoh, “Sastro adalah pintar” dan “Sastro tidak pintar” secara bersama sebagai gagasan mental. Akan tetapi, mental manusia tidak akan bisa memiliki dua penegasan (baca: tasdiq) bersamaan terhadap dua hal kontradiktif.
Dengan demikian, sorotan predikasi pada proposisi hukum non-kontradiksi tidak lai adalah realiatas, bukan mental.
Penegasan dan Predikasi.
Penegasan (baca: tasdiq) dalam ilmu logika disebutkan adalah keteguhan jiwa (idz’ān-nafs) atas ketetapan (baca: afirmasi) atau pun penafian (baca: negasi) hubungan antara predikat dengan subjeknya. Akan tetapi, definisi penegasan dengan memasukkan unsur “keteguhan jiwa” menjadikannya masuk dalam domain ilmu kehadiran (baca: ilmu huduri). Padahal, “penegasan” yang merupakan bagian dari area “pengetahuan konseptual” (baca: ilmu husuli) juga sebagai rivalnya gagasan (baca: tashawwur).
Oleh karena itu, definisi yang tepat bagi “penegasan” adalah keteguhan rasio atas ketetapan ataupun penafian hubungan antara predikat dengan subjeknya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa predikasi pada setiap proposisi tidak lain adalah materi proposisi yang menyoroti hubungan antara predikat dengan subjeknya secara realistik. Sedangkan penegasan terhubung seutuhnya dengan predikasi.
Proposisi → predikasi → penegasan.
Keragaman Jenis Konsep
Para filsuf menterjemahkan konsep logis dengan keberadaan dan penyifatannya berada dalam mental. Sebagai rivalnya, adalah konsep-konsep esensial yang keberadaan dan penyifatannya adalah eksternal, bukan mental. Sedangkan konsep-konsep filosufis adalah keberadaannya di mental dan penyifatannya ekternal.
Sayangnya, pembagian jenis-jenis konsep tersebut menitikberatkan pada konsep itu sendiri, bukan kepada makna atas realitas faktual (baca: misdāq) yang ditangkap oleh mental manusia. Sebagai contoh, gagasan atau konsep tentang gelas.
Salah satu makna gelas adalah sebagai wadah untuk minum. Akan tetapi, gelas yang ada di tangan kita, sebagai contoh, memiliki makna beragam sesuai dengan realiatas faktualnya. Semisal, bila tinjauan dengan tinjauan hukum ruang, maka maknanya adalah yang memiliki panjang, luas dan dalam serta diameter centimeter. Gelas pada aspek ini tidak lain merupakan subjek bagi predikat matematik.
Singkat cerita, aspek dan tinjauan terhadap realitas faktual merupakan ‘kamus’ makna atas realitas tersebut. Sedangkan konsepsi universal atasnya, contoh gelas, adalah eksistensi aksaranya, G-E-L-A-S, dimana maknanya sepenuhnya terkait dengan aspek dan rinjauan terhadapnya.
Di sisi lain, pembagian jenis-jenis konsep di atas sama sekali tidak berjalan mesra dengan teori kesejatian wujud (baca: ashālah wujud) yang digadang-gadang sebagai penemuan terbesar Molla Sadra. Dimana,definisi konsep-konsep esensial adalah keberadaan dan penyifatannya ekstenal. Sedangkan, teori kesejatian wujud menampik keberadaan esensi. Dikarenakan i’tibari (baca: kreasi nalar), bukan hakiki.
Konsep Logis.
Sebagaiman dalam pendefinisiannya di atas, keberadaan dan penyifatannya adalah mental. Maka, proposisi akan kehilangan makna sejatinya, dikarenakan salah satu unsur subtansial bagi proposisi adalah predikasi. Dan bila predikasi –tidak lain adalah meteri proposisi– hanya menyifati mental tanpa meyoroti realiatas, maka seluruh proposisi akan kehilangan nilainya, yaitu benar dan salah secara inheren.
Dengan demikian, mempertahankan prmbagian jenis-jenis konsep: esensial, filosofis dan logis, sebagaimana masyhurnya tidak lain adalah melanggengkan kerancuan.[]