Oleh: Betesda Br Tumangger
Tulisan ini lahir dari sebuah presentasi kelas, namun gagasan di dalamnya menyentuh sesuatu yang sering terlewat: anak-anak dalam lanskap industri kreatif. Bethesda tidak menawarkan proyek besar, melainkan perhatian yang jernih pada ruang kecil yang sering dilupakan. Kanal seni edukatif untuk anak bukan sekadar ide teknis, tapi ajakan untuk menata ulang arah distribusi dan keberpihakan kita sebagai pelaku budaya. Sebuah pengingat halus bagi siapa pun yang sibuk mencipta: jangan-jangan masa depan itu sedang menunggu perhatian, diam-diam, di sudut ruangan.
Industri yang Tumbuh, Tapi Tidak untuk Semua
Industri kreatif di Aceh saat ini sedang bertumbuh dengan dinamis. Festival musik lintas genre, pameran seni rupa di kafe, seminar wirausaha budaya, hingga talkshow konten digital semakin rutin menghiasi ruang publik. Banyak komunitas muda mulai berjejaring, membentuk kolaborasi, dan merintis karier kultural mereka dengan penuh semangat. Ini pertanda baik.
Namun dalam euforia itu, muncul satu pertanyaan penting yang jarang terdengar: bagaimana dengan anak-anak? Di mana posisi mereka dalam peta industri kreatif yang sedang kita bangun ini?
Sejak saya mulai memperhatikan dunia industri kreatif di Aceh—terutama setelah terlibat dalam diskusi-diskusi kampus dan komunitas—saya jarang melihat ruang yang sungguh-sungguh terbuka untuk anak-anak. Mereka jarang menjadi prioritas program, bukan titik berangkat gagasan, bahkan tidak menjadi audiens yang diperhitungkan secara serius. Padahal, usia dini adalah masa ketika kepekaan estetik dan imajinatif seseorang mulai tumbuh—dan bisa tumbuh sangat kuat jika diberi ruang.
Dalam tren kreativitas hari ini, dunia anak cenderung hanya menjadi pelengkap. Mereka diajak ikut lomba, diberi tontonan, dibelikan mainan, tetapi jarang dilibatkan sebagai pelaku yang memaknai. Banyak yang masih melihat anak-anak sebagai konsumen kecil, bukan sebagai individu yang sedang membentuk cara pandangnya terhadap dunia.
Saya pernah menyaksikan sendiri acara lomba melukis anak di sebuah pusat perbelanjaan yang lebih banyak mengarahkan anak untuk “meniru” gambar yang disiapkan panitia, bukan berekspresi bebas. Anak-anak terlihat canggung, dan orang tua yang lebih aktif memberi perintah. Ini mencerminkan bagaimana mereka sering diposisikan sebagai objek visual, bukan subjek kreatif.
Sementara itu, kanal digital dengan algoritma yang tak berpihak pada anak-anak terus menyodorkan konten cepat saji. Anak-anak di sekitar saya sering mengakses YouTube tanpa pengawasan, dan mudah sekali berpindah dari video edukatif ke konten hiburan yang kurang sesuai. Ruang-ruang ini bukan tempat aman untuk tumbuh, melainkan medan penuh distraksi dan risiko. Dalam riuhnya kreativitas dewasa, kreativitas anak perlahan tenggelam—dan itu seharusnya menjadi kegelisahan bersama.
Seni, Gawai, dan Gagasan yang Terlupakan
Kita kerap menempatkan seni sebagai pelengkap setelah segala yang “penting” selesai. Dalam sistem pendidikan formal, seni sering kali dijatah seadanya: satu-dua jam dalam seminggu, tanpa pendamping yang betul-betul memahami proses kreatif anak.
Padahal, penelitian psikologi dan pendidikan anak menunjukkan bahwa kegiatan seperti menggambar, mencampur warna, melipat kertas, atau membuat bentuk bukanlah aktivitas kosong. Itu adalah cara anak menyusun dunia, meraba emosi, dan menyampaikan isi pikirannya yang belum dapat diungkapkan dengan kata.
Seni, bagi anak-anak, adalah bahasa pertama mereka—bahasa imajinasi. Ia bukan sekadar hiburan, tetapi fondasi awal tumbuh kembang yang menyentuh aspek kognitif, emosional, sosial, dan spiritual sekaligus. Dalam sudut pandang iman yang saya hayati, seni juga bisa menjadi bentuk syukur, pengenalan diri, dan latihan batin untuk menjadi manusia yang lebih peka.
Dalam sebuah sesi kuliah bertema Ekonomi Industri Kreatif Seni, saya menyampaikan satu gagasan yang mungkin terlalu kecil untuk disebut industri: sebuah kanal seni edukatif di YouTube yang aman dan berbayar untuk anak-anak.
Namun justru karena kecil, gagasan ini terasa dekat dengan kebutuhan nyata. Tidak semua anak bisa mengakses komunitas seni atau sekolah kreatif. Tapi hampir semua anak kini tumbuh bersama gawai. Maka mengisi layar mereka dengan konten yang benar-benar mendidik—bukan sekadar menghibur—menjadi satu usaha yang layak dicoba.
Saya membayangkan kanal ini tidak mengejar viralitas, tetapi menyemai kebiasaan kreatif. Setiap video dapat berisi kegiatan menggambar bebas, eksperimen warna, prakarya dari bahan sederhana, atau permainan bentuk visual yang menyesuaikan usia dan tahap tumbuh kembang anak. Inspirasi kontennya bisa berasal dari aktivitas yang menyentuh pengalaman anak-anak, misalnya membuat kolase dari daun kering, atau menggambar perasaan.
Beberapa kanal YouTube seperti “Art for Kids Hub” memang memberi banyak ide menggambar anak, tapi mayoritas dalam bahasa Inggris. Belum banyak yang benar-benar dirancang sesuai konteks Indonesia, apalagi dengan pendekatan spiritual dan reflektif. Karena itu saya membayangkan kanal ini juga bisa mengundang orang tua untuk terlibat, bukan sekadar membiarkan anak menonton, tapi ikut menemani dan mengerti prosesnya.
Membangun Masa Depan dari Ruang yang Kecil
Selama ini distribusi seni kerap mengikuti pola lama: panggung pertunjukan, galeri, koleksi pribadi, atau unggahan yang mengejar trending. Namun jika kita mau jujur, segmen anak-anak dan keluarga nyaris tak tersentuh secara serius dalam logika distribusi ini.
Bagaimana jika kita memulainya dari segmen yang kerap dianggap “tidak menguntungkan”? Bagaimana jika kanal seni anak ini bukan hanya ruang belajar, tapi juga jalur distribusi baru bagi seniman lokal—yang karyanya bisa hadir di ruang keluarga, bukan hanya dinding pameran?
Saya membayangkan para seniman lokal yang memiliki kepekaan terhadap pendidikan anak—baik yang sudah aktif di komunitas maupun yang baru merintis—bisa turut berbagi karya dan pengalaman. Melalui kerja sama sekolah, komunitas keagamaan, atau sistem langganan keluarga, inisiatif ini bisa membentuk ekosistem mikro yang berkelanjutan. Bukan industri besar, tapi sirkuit kecil yang menjangkau jauh: dari ruang anak-anak ke masa depan budaya kita.
Dari mata kuliah itu saya belajar, industri kreatif bukan hanya tentang produk dan pasar, tetapi tentang keberanian membayangkan kehidupan yang lebih adil dan manusiawi. Dan keberanian itu bisa tumbuh dari ide-ide kecil, yang lahir bukan dari institusi besar, tapi dari kepekaan terhadap kebutuhan yang paling mendasar: tumbuh bersama.
Anak-anak bukan hanya pewaris masa depan. Mereka adalah subjek budaya hari ini. Jika kita percaya bahwa seni punya kekuatan membentuk manusia, maka tidak ada alasan untuk menunda keterlibatan anak-anak dalam ruang kreatif kita.
Saya percaya, menemani anak-anak mencoret warna di atas kertas hari ini bisa jadi awal untuk membangun dunia yang lebih adil esok hari. Dan jika imajinasi adalah bahan bakar utama dari kebudayaan, maka kanal seni edukatif seperti ini bukan hanya proyek—ia adalah investasi dalam infrastruktur sosial kita yang paling awal dan paling penting. []
Tentang Penulis
Betesda Br Tumangger adalah mahasiswa Program Studi Seni Drama, Tari, dan Musik di Universitas Syiah Kuala. Lahir di Aceh Singkil pada 12 April 2004, ia memiliki ketertarikan khusus pada dunia anak, pendidikan seni, dan ruang-ruang ekspresi yang penuh makna. Cita-citanya menjadi guru seni tumbuh dari keyakinan bahwa berkarya dari hati bisa membuka masa depan yang berarti. Lewat tulisan ini, Betesda berharap dapat mengingatkan bahwa industri kreatif juga punya tanggung jawab terhadap imajinasi generasi paling awal.
Kurator Naskah
Ari J. Palawi