• Tentang Kami
Tuesday, September 16, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Krisis Apresiasi di Era Klik: Ketika Akal Budi Terseret Algoritma

SAGOE TV by SAGOE TV
May 22, 2025
in Analisis
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Krisis Apresiasi di Era Klik Ketika Akal Budi Terseret Algoritma

Ilustrasi. (AI)

Share on FacebookShare on Twitter
Oleh: Ari J. Palawi

Di era ketika layar gawai lebih sering disentuh daripada kulit manusia, sebuah pertanyaan pelan namun penting bergema di tengah riuh klik dan scroll. Ke mana perginya apresiasi yang tulus, yang lahir dari perenungan, bukan pancingan algoritma?

Budaya digital hari ini membentuk lanskap interaksi yang seolah aktif, partisipatif, dan terbuka. Kita mengenal ajakan yang nyaris menjadi mantra: “like, comment, subscribe, and share.” Frasa ini menggema setiap kali sebuah video diunggah ke YouTube, bahkan meluber ke platform lain yang struktur interaksinya berbeda, seperti TikTok dan Instagram, walau tidak secara eksplisit mengulang formula yang sama. Di balik keramaian digital itu, ada satu realitas yang justru kian sunyi, yakini: kehadiran kritis atas karya, baik itu seni, ilmu pengetahuan, maupun ekspresi budaya, yang nyaris lenyap digantikan reaksi cepat dan seragam.

BACA JUGA

Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh

Membaca Ulang Arah Pendidikan Tinggi di Aceh

Saya mengalami langsung paradoks ini. Dalam ruang kuliah yang sebagian telah menjadi daring, saya meminta mahasiswa untuk menanggapi karya – bisa seni pertunjukan, musik dokumenter, atau artikel reflektif. Saya tidak meminta ulasan panjang atau analisis akademik. Hanya komentar jujur, secuil reaksi personal. Tapi banyak dari mereka tak menjawab. Diam. Seolah tak melihat, atau lebih tepatnya, tak merasa perlu hadir.

Mengapa? Sebab hadir secara utuh dengan pikiran, perasaan, dan kesadaran—memerlukan usaha. Dan usaha itu kini dianggap boros, tidak praktis, tidak worth it jika tidak viral, tidak menarik, atau tidak dapat “cuan”. Apresiasi kini seolah menjadi tindakan yang kalah pamor dibanding sekadar klik jempol atau emoji api.

Baca Juga:  Di Antara Mesin dan Jiwa: Menyiapkan Fondasi Kreatif di Era AI

Tentu kita tak sedang meromantisasi masa lalu atau mengutuk internet. Tapi kita perlu waspada. Ketika apresiasi direduksi menjadi angka views, ketika kritik dikira serangan pribadi, dan ketika karya dilihat sebagai konten semata, kita tengah memasuki fase baru: kemunduran daya tangkap intelektual dan empati kultural.

Ini bukan kekhawatiran kosong. Di luar sana, banyak karya jurnalistik, artistik, dan ilmiah yang lahir dari riset mendalam, dari proses penciptaan panjang, dari narasi-narasi marginal yang ditulis dengan prinsip kejujuran, akurasi, dan konteks yang kaya. Karya-karya ini bisa kita sebut sebagai produk dengan standar HDR tinggi – honesty, data, relevansi. Namun karena tidak bombastis, tidak clickbait, dan tidak menampilkan sensasi visual, mereka tercecer, tenggelam di antara banjir konten hiburan instan.

Bandingkanlah dengan video dangkal yang viral karena menampilkan prank tidak etis atau gosip selebritas. Lihatlah algoritma yang merangkul kegaduhan, bukan kebijaksanaan. Apa yang viral bukan selalu yang bernilai. Apa yang dibagikan berkali-kali bukan selalu yang layak dibaca.

Dalam konteks ini, media sosial bukan lagi ruang demokratis pengetahuan. Ia telah menjadi arena survival of the noisiest. Siapa yang paling keras, paling heboh, dialah yang terlihat. Sementara itu, karya yang jujur, yang memuat pengetahuan lintas generasi dan lintas budaya, kehilangan tempat dalam kesadaran kolektif.

Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa krisis apresiasi bukan sekadar soal “tidak suka membaca”, “tidak paham seni”, atau “generasi rebahan”. Krisis ini lebih dalam. Ia berakar pada struktur sosial dan warisan sejarah yang belum selesai. Kita masih hidup dalam bayang-bayang inferioritas postkolonial, yang menganggap apa yang berasal dari luar lebih hebat, lebih modern, dan lebih layak dipuja. Sementara karya lokal yang ditulis atau diproduksi dengan sangat hati-hati, dengan metode, konteks budaya, dan nilai, sering dianggap kurang menarik karena tidak bercita rasa global atau tidak populer.

Baca Juga:  Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh

Bahkan, dalam dunia akademik sekalipun, kita sering terjebak dalam dikotomi semu antara “seni tinggi” dan “karya biasa.” Karya yang menyentuh akar masyarakat, yang menolak format formalistik, seringkali tersingkir dalam penilaian karena tidak sesuai standar publikasi atau tidak bisa dinilai dengan sistem angka dan indeks.

Padahal, di banyak karya-karya tak viral itu, terdapat refleksi mendalam atas realitas bangsa. Lihatlah dokumentasi tari-tarian langka di pedalaman Sumatra, dengarkan suara minoritas yang direkam dalam riset musik etnik, bacalah esai-esai kritis dari pengamat budaya yang menulis tanpa embel-embel gelar besar. Semuanya menyimpan potensi pendidikan publik yang luar biasa. Tapi siapa yang peduli jika semua harus tunduk pada logika algoritma?

Di sinilah pentingnya kita membangun kesadaran apresiatif. Apresiasi bukan berarti memuji secara membabi buta. Bukan pula artinya semua karya harus disukai. Apresiasi adalah bentuk pengakuan atas kerja budi dan rasa, atas upaya menghadirkan makna di tengah dunia yang kian mekanis. Menghargai karya adalah juga menghargai keberadaan manusia di baliknya.

Bahkan kritik, jika dilakukan dengan tanggung jawab dan empati, adalah bagian penting dari apresiasi. Ia membantu karya tumbuh. Ia membuka ruang dialog. Tapi hari ini, kritik justru ditakuti, disalahpahami, atau disalahgunakan. Kita hidup di zaman ketika kritik bisa dianggap benci, dan pujian jadi komoditas. Ketika kedalaman jadi kesalahan, dan ketepatan dikalahkan kecepatan.

Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, mari mulai dari diri kita sendiri. Jadilah pembaca yang tidak hanya cepat, tapi juga cermat. Jangan hanya tonton, tapi renungkan. Jangan hanya bagikan, tapi bicarakan. Tumbuhkan budaya berdiskusi, bukan sekadar debat reaktif. Hadirkan kembali semangat literasi yang menyentuh akal dan batin.

Baca Juga:  Seni yang Menyapa Langit: Spiritualitas dalam Krisis Representasi

Kedua, peran pendidik dan lembaga pendidikan tidak bisa diremehkan. Pendidikan seni dan budaya harus berani membongkar metode lama yang kering, dan menggantinya dengan pendekatan yang menumbuhkan kepekaan, imajinasi, dan daya kritik. Mahasiswa perlu dilatih untuk bertanya, untuk tidak takut salah, untuk menuliskan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atas karya orang lain. Bukan untuk nilai, tapi untuk martabat intelektual mereka sendiri.

Ketiga, negara dan para pengambil kebijakan harus sadar bahwa keberlangsungan bangsa tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada ekosistem apresiasi budaya yang sehat. Karya yang baik – baik seni, jurnalistik, maupun pengetahuan – perlu dilindungi dan diangkat, bukan diabaikan karena tidak menghasilkan rating atau sponsor.

Suatu saat nanti, mungkin kita semua akan berada dalam senja usia. Jemari kita masih menyentuh layar, mata kita masih menatap sorot video. Tapi di benak kita, mungkin akan muncul penyesalan kecil, “Andai dulu aku lebih hadir, lebih menghargai, lebih mengerti.”

Sebelum saat itu datang, mari kita belajar kembali menjadi manusia yang tidak hanya hidup dari klik, tapi juga dari perenungan. Sebab yang membuat manusia tetap manusia bukan seberapa cepat ia bereaksi, tapi seberapa dalam ia mengapresiasi. []

Penulis adalah dosen seni pertunjukan di Universitas Syiah Kuala. Ia menulis, meneliti, dan mencipta karya yang menghubungkan penciptaan artistik, pengabdian budaya, dan kebijakan publik. Fokusnya banyak pada wilayah-wilayah non-sentral dan suara komunitas.

Tags: AlgoritmaAnalisisApresiasiArtikelEra DigitalKrisisLiterasiSeni Budaya
ShareTweetPinSend
Seedbacklink
SAGOE TV

SAGOE TV

SAGOETV.com adalah platform media digital yang memberi sudut pandang mencerahkan di Indonesia, berbasis di Banda Aceh. SAGOETV.com fokus pada berita, video, dan analisis dengan berbagai sudut pandang moderat.

Related Posts

Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh
Analisis

Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh

by SAGOE TV
September 15, 2025
Membaca Ulang Arah Pendidikan Tinggi di Aceh
Analisis

Membaca Ulang Arah Pendidikan Tinggi di Aceh

by SAGOE TV
September 1, 2025
Mendidik untuk Tidak Lupa Hak Aceh Menentukan Arah Pendidikan dan Masa Depannya Sendiri
Analisis

Mendidik untuk Tidak Lupa: Hak Aceh Menentukan Arah Pendidikan dan Masa Depannya Sendiri

by SAGOE TV
July 22, 2025
Menilai Benteng Iran
Analisis

Menilai Benteng Iran

by SAGOE TV
July 1, 2025
Wilayah Aceh
Analisis

Wilayah Aceh

by SAGOE TV
June 7, 2025
Load More

POPULAR PEKAN INI

Rp2,6 Triliun Dana Bank Aceh Syariah: Simpanan Aman atau Peluang Terlewatkan?

Rp2,6 Triliun Dana Bank Aceh Syariah: Simpanan Aman atau Peluang Terlewatkan?

September 15, 2025
Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh

Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh

September 15, 2025
Muniru (Kehangatan dan Keakraban) Masyarakat Gayo

Muniru (Kehangatan dan Keakraban) Masyarakat Gayo

September 12, 2025
Komisi XII DPR RI Dorong Pengelolaan Migas Aceh Profesional, Transparan, dan Berkelanjutan

Komisi XII DPR RI Dorong Pengelolaan Migas Aceh Profesional, Transparan, dan Berkelanjutan

September 14, 2025
RSIA Cempaka Az-Zahra Sukses Operasi Kasus Langka Agenesis Vagina dan Anomali Anogenital

RSIA Cempaka Az-Zahra Sukses Operasi Kasus Langka Agenesis Vagina dan Anomali Anogenital

September 13, 2025
Penyuka Musik Metal Cenderung "Setia"

Penyuka Musik Metal Cenderung “Setia”

August 30, 2025
Mualem Usulkan Pembangunan Terowongan Geurutee ke Bappenas demi Keselamatan dan Ekonomi Aceh

Mualem Usulkan Pembangunan Terowongan Geurutee ke Bappenas demi Keselamatan dan Ekonomi Aceh

September 14, 2025
Monolog ‘Tubuh yang Tak Pernah Takluk’ Hidupkan Semangat Cut Nyak Dhien di Rumah Sejarahnya

Monolog ‘Tubuh yang Tak Pernah Takluk’ Hidupkan Semangat Cut Nyak Dhien di Rumah Sejarahnya

September 7, 2025
Persiraja Umumkan Penjualan Tiket Laga Perdana Lawan Adhyaksa FC, VVIP Sudah Habis Terjual

Persiraja Umumkan Penjualan Tiket Laga Perdana Lawan Adhyaksa FC, VVIP Sudah Habis Terjual

September 10, 2025

EDITOR'S PICK

UIN Ar-Raniry Banda Aceh Peringati Hari Guru Nasional 2024

UIN Ar-Raniry Banda Aceh Peringati Hari Guru Nasional 2024

November 25, 2024
Pj Bupati Aceh Besar Bersilaturahmi dengan Bupati Terpilih Muharram Idris

Pj Bupati Aceh Besar Bersilaturahmi dengan Bupati Terpilih Muharram Idris

February 7, 2025
Seni yang Menyapa Langit: Spiritualitas dalam Krisis Representasi (Tutup Polemik Industri Kreatif di Aceh)

Seni yang Menyapa Langit: Spiritualitas dalam Krisis Representasi

May 30, 2025
gempa

Gempa Magnitudo 4,0 Dirasakan di Nagan Raya

March 8, 2025
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis
  • Kirim Tulisan

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.