• Tentang Kami
Thursday, November 6, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Krisis Apresiasi di Era Klik: Ketika Akal Budi Terseret Algoritma

SAGOE TV by SAGOE TV
May 22, 2025
in Analisis
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Krisis Apresiasi di Era Klik Ketika Akal Budi Terseret Algoritma

Ilustrasi. (AI)

Share on FacebookShare on Twitter
Oleh: Ari J. Palawi

Di era ketika layar gawai lebih sering disentuh daripada kulit manusia, sebuah pertanyaan pelan namun penting bergema di tengah riuh klik dan scroll. Ke mana perginya apresiasi yang tulus, yang lahir dari perenungan, bukan pancingan algoritma?

Budaya digital hari ini membentuk lanskap interaksi yang seolah aktif, partisipatif, dan terbuka. Kita mengenal ajakan yang nyaris menjadi mantra: “like, comment, subscribe, and share.” Frasa ini menggema setiap kali sebuah video diunggah ke YouTube, bahkan meluber ke platform lain yang struktur interaksinya berbeda, seperti TikTok dan Instagram, walau tidak secara eksplisit mengulang formula yang sama. Di balik keramaian digital itu, ada satu realitas yang justru kian sunyi, yakini: kehadiran kritis atas karya, baik itu seni, ilmu pengetahuan, maupun ekspresi budaya, yang nyaris lenyap digantikan reaksi cepat dan seragam.

BACA JUGA

Bicara Sherly, Maluku Utara, dan Mualem

Ancaman Ranjau di Aceh: Catatan 20 Tahun Damai Aceh

Saya mengalami langsung paradoks ini. Dalam ruang kuliah yang sebagian telah menjadi daring, saya meminta mahasiswa untuk menanggapi karya – bisa seni pertunjukan, musik dokumenter, atau artikel reflektif. Saya tidak meminta ulasan panjang atau analisis akademik. Hanya komentar jujur, secuil reaksi personal. Tapi banyak dari mereka tak menjawab. Diam. Seolah tak melihat, atau lebih tepatnya, tak merasa perlu hadir.

Mengapa? Sebab hadir secara utuh dengan pikiran, perasaan, dan kesadaran—memerlukan usaha. Dan usaha itu kini dianggap boros, tidak praktis, tidak worth it jika tidak viral, tidak menarik, atau tidak dapat “cuan”. Apresiasi kini seolah menjadi tindakan yang kalah pamor dibanding sekadar klik jempol atau emoji api.

Baca Juga:  Seni yang Menyapa Langit: Spiritualitas dalam Krisis Representasi

Tentu kita tak sedang meromantisasi masa lalu atau mengutuk internet. Tapi kita perlu waspada. Ketika apresiasi direduksi menjadi angka views, ketika kritik dikira serangan pribadi, dan ketika karya dilihat sebagai konten semata, kita tengah memasuki fase baru: kemunduran daya tangkap intelektual dan empati kultural.

Ini bukan kekhawatiran kosong. Di luar sana, banyak karya jurnalistik, artistik, dan ilmiah yang lahir dari riset mendalam, dari proses penciptaan panjang, dari narasi-narasi marginal yang ditulis dengan prinsip kejujuran, akurasi, dan konteks yang kaya. Karya-karya ini bisa kita sebut sebagai produk dengan standar HDR tinggi – honesty, data, relevansi. Namun karena tidak bombastis, tidak clickbait, dan tidak menampilkan sensasi visual, mereka tercecer, tenggelam di antara banjir konten hiburan instan.

Bandingkanlah dengan video dangkal yang viral karena menampilkan prank tidak etis atau gosip selebritas. Lihatlah algoritma yang merangkul kegaduhan, bukan kebijaksanaan. Apa yang viral bukan selalu yang bernilai. Apa yang dibagikan berkali-kali bukan selalu yang layak dibaca.

Dalam konteks ini, media sosial bukan lagi ruang demokratis pengetahuan. Ia telah menjadi arena survival of the noisiest. Siapa yang paling keras, paling heboh, dialah yang terlihat. Sementara itu, karya yang jujur, yang memuat pengetahuan lintas generasi dan lintas budaya, kehilangan tempat dalam kesadaran kolektif.

Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa krisis apresiasi bukan sekadar soal “tidak suka membaca”, “tidak paham seni”, atau “generasi rebahan”. Krisis ini lebih dalam. Ia berakar pada struktur sosial dan warisan sejarah yang belum selesai. Kita masih hidup dalam bayang-bayang inferioritas postkolonial, yang menganggap apa yang berasal dari luar lebih hebat, lebih modern, dan lebih layak dipuja. Sementara karya lokal yang ditulis atau diproduksi dengan sangat hati-hati, dengan metode, konteks budaya, dan nilai, sering dianggap kurang menarik karena tidak bercita rasa global atau tidak populer.

Baca Juga:  Rubrik Seni Sagoe TV

Bahkan, dalam dunia akademik sekalipun, kita sering terjebak dalam dikotomi semu antara “seni tinggi” dan “karya biasa.” Karya yang menyentuh akar masyarakat, yang menolak format formalistik, seringkali tersingkir dalam penilaian karena tidak sesuai standar publikasi atau tidak bisa dinilai dengan sistem angka dan indeks.

Padahal, di banyak karya-karya tak viral itu, terdapat refleksi mendalam atas realitas bangsa. Lihatlah dokumentasi tari-tarian langka di pedalaman Sumatra, dengarkan suara minoritas yang direkam dalam riset musik etnik, bacalah esai-esai kritis dari pengamat budaya yang menulis tanpa embel-embel gelar besar. Semuanya menyimpan potensi pendidikan publik yang luar biasa. Tapi siapa yang peduli jika semua harus tunduk pada logika algoritma?

Di sinilah pentingnya kita membangun kesadaran apresiatif. Apresiasi bukan berarti memuji secara membabi buta. Bukan pula artinya semua karya harus disukai. Apresiasi adalah bentuk pengakuan atas kerja budi dan rasa, atas upaya menghadirkan makna di tengah dunia yang kian mekanis. Menghargai karya adalah juga menghargai keberadaan manusia di baliknya.

Bahkan kritik, jika dilakukan dengan tanggung jawab dan empati, adalah bagian penting dari apresiasi. Ia membantu karya tumbuh. Ia membuka ruang dialog. Tapi hari ini, kritik justru ditakuti, disalahpahami, atau disalahgunakan. Kita hidup di zaman ketika kritik bisa dianggap benci, dan pujian jadi komoditas. Ketika kedalaman jadi kesalahan, dan ketepatan dikalahkan kecepatan.

Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, mari mulai dari diri kita sendiri. Jadilah pembaca yang tidak hanya cepat, tapi juga cermat. Jangan hanya tonton, tapi renungkan. Jangan hanya bagikan, tapi bicarakan. Tumbuhkan budaya berdiskusi, bukan sekadar debat reaktif. Hadirkan kembali semangat literasi yang menyentuh akal dan batin.

Baca Juga:  Bicara Sherly, Maluku Utara, dan Mualem

Kedua, peran pendidik dan lembaga pendidikan tidak bisa diremehkan. Pendidikan seni dan budaya harus berani membongkar metode lama yang kering, dan menggantinya dengan pendekatan yang menumbuhkan kepekaan, imajinasi, dan daya kritik. Mahasiswa perlu dilatih untuk bertanya, untuk tidak takut salah, untuk menuliskan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atas karya orang lain. Bukan untuk nilai, tapi untuk martabat intelektual mereka sendiri.

Ketiga, negara dan para pengambil kebijakan harus sadar bahwa keberlangsungan bangsa tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada ekosistem apresiasi budaya yang sehat. Karya yang baik – baik seni, jurnalistik, maupun pengetahuan – perlu dilindungi dan diangkat, bukan diabaikan karena tidak menghasilkan rating atau sponsor.

Suatu saat nanti, mungkin kita semua akan berada dalam senja usia. Jemari kita masih menyentuh layar, mata kita masih menatap sorot video. Tapi di benak kita, mungkin akan muncul penyesalan kecil, “Andai dulu aku lebih hadir, lebih menghargai, lebih mengerti.”

Sebelum saat itu datang, mari kita belajar kembali menjadi manusia yang tidak hanya hidup dari klik, tapi juga dari perenungan. Sebab yang membuat manusia tetap manusia bukan seberapa cepat ia bereaksi, tapi seberapa dalam ia mengapresiasi. []

Penulis adalah dosen seni pertunjukan di Universitas Syiah Kuala. Ia menulis, meneliti, dan mencipta karya yang menghubungkan penciptaan artistik, pengabdian budaya, dan kebijakan publik. Fokusnya banyak pada wilayah-wilayah non-sentral dan suara komunitas.

Tags: AlgoritmaAnalisisApresiasiArtikelEra DigitalKrisisLiterasiSeni Budaya
ShareTweetPinSend
Seedbacklink
SAGOE TV

SAGOE TV

SAGOETV.com adalah platform media digital yang memberi sudut pandang mencerahkan di Indonesia, berbasis di Banda Aceh. SAGOETV.com fokus pada berita, video, dan analisis dengan berbagai sudut pandang moderat.

Related Posts

Bicara Sherly, Maluku Utara, dan Mualem
Analisis

Bicara Sherly, Maluku Utara, dan Mualem

by SAGOE TV
October 9, 2025
Ancaman Ranjau di Aceh: Catatan 20 Tahun Damai Aceh
Analisis

Ancaman Ranjau di Aceh: Catatan 20 Tahun Damai Aceh

by SAGOE TV
October 1, 2025
Pengalaman Meliput Perang dan Damai Aceh; Laku Lancung Pemilik Senjata, Kamu Jurnalis Apa?
Analisis

Pengalaman Meliput Perang dan Damai Aceh; Laku Lancung Pemilik Senjata, Kamu Jurnalis Apa?

by SAGOE TV
September 28, 2025
Pandai Merasa Bukan Merasa Pandai
Analisis

Tantangan Berhukum dengan Cinta: dari MoU ke UUPA

by SAGOE TV
September 27, 2025
Strategi Ekonomi Aceh: Optimalisasi Potensi Lokal dan Ekspansi ke Pasar Global (bagian 2)
Analisis

Jalan Baru Menuju Kebangkitan Ekonomi Aceh

by SAGOE TV
September 22, 2025
Load More

POPULAR PEKAN INI

Kisah Haru di Panggung MTQ

Kisah Haru di Panggung MTQ

November 2, 2025
Agam Hana Raba Krèh

Agam Hana Raba Krèh

November 4, 2025
Paradoks Darussalam: Demokrasi yang Bising di Luar, tapi Bisu di Kampus

Paradoks Darussalam: Demokrasi yang Bising di Luar, tapi Bisu di Kampus

November 1, 2025
Persiraja Raih Kemenangan Perdana di Kandang, Gol Penalti Connor Tundukkan Persekat

Persiraja Raih Kemenangan Perdana di Kandang, Gol Penalti Connor Tundukkan Persekat

November 3, 2025
Mualem Tegaskan Identitas Serambi Makkah, Tes Baca Al-Qur’an Bakal Jadi Syarat Wajib di Aceh

Mualem Tegaskan Identitas Serambi Makkah, Tes Baca Al-Qur’an Bakal Jadi Syarat Wajib di Aceh

November 2, 2025
Aceh Negerinya Seribu Satu Warung Kopi

Aceh Negerinya Seribu Satu Warung Kopi

November 2, 2025
Wujudkan Ekonomi Sirkular, Tim FEB Unimal Edukasi Warga Lancang Garam Kelola Sampah Berkelanjutan

Wujudkan Ekonomi Sirkular, Tim FEB Unimal Edukasi Warga Lancang Garam Kelola Sampah Berkelanjutan

November 4, 2025
Harga Tiket Persiraja vs Garudayaksa FC Resmi Dirilis, Mulai Rp30 Ribu

Persiraja vs Persekat: Laskar Rencong Uji Ketangguhan di Kandang Sendiri

November 1, 2025
Putri Aceh dan Putra Jawa Timur Terpilih Jadi Duta DPD RI 2025

Putri Aceh dan Putra Jawa Timur Terpilih Jadi Duta DPD RI 2025

November 4, 2025

EDITOR'S PICK

Abu Tumin, Murid Generasi Ke-3 Abuya Muda Waly Wafat

Abu Tumin, Murid Generasi Ke-3 Abuya Muda Waly Wafat

September 27, 2022
Hari Kebaya Nasional 2025, Ketua Staf Ahli TP PKK Aceh Kenang Nilai Luhur Perempuan Indonesia

Hari Kebaya Nasional 2025, Ketua Staf Ahli TP PKK Aceh Kenang Nilai Luhur Perempuan Indonesia

July 24, 2025
25.767 Peserta Ikut Tes SKD CPNS Kemenag di Aceh, Ujian Digelar di 4 Titik Lokasi

25.767 Peserta Ikut Tes SKD CPNS Kemenag di Aceh, Ujian Digelar di 4 Titik Lokasi

October 20, 2024
Satu Lagi Jemaah Haji Aceh Meninggal di Tanah Suci, 12 Orang Dirawat

Satu Lagi Jemaah Haji Aceh Meninggal di Tanah Suci, 12 Orang Dirawat

June 11, 2025
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.