Oleh: Ari J. Palawi
Di era ketika layar gawai lebih sering disentuh daripada kulit manusia, sebuah pertanyaan pelan namun penting bergema di tengah riuh klik dan scroll. Ke mana perginya apresiasi yang tulus, yang lahir dari perenungan, bukan pancingan algoritma?
Budaya digital hari ini membentuk lanskap interaksi yang seolah aktif, partisipatif, dan terbuka. Kita mengenal ajakan yang nyaris menjadi mantra: “like, comment, subscribe, and share.” Frasa ini menggema setiap kali sebuah video diunggah ke YouTube, bahkan meluber ke platform lain yang struktur interaksinya berbeda, seperti TikTok dan Instagram, walau tidak secara eksplisit mengulang formula yang sama. Di balik keramaian digital itu, ada satu realitas yang justru kian sunyi, yakini: kehadiran kritis atas karya, baik itu seni, ilmu pengetahuan, maupun ekspresi budaya, yang nyaris lenyap digantikan reaksi cepat dan seragam.
Saya mengalami langsung paradoks ini. Dalam ruang kuliah yang sebagian telah menjadi daring, saya meminta mahasiswa untuk menanggapi karya – bisa seni pertunjukan, musik dokumenter, atau artikel reflektif. Saya tidak meminta ulasan panjang atau analisis akademik. Hanya komentar jujur, secuil reaksi personal. Tapi banyak dari mereka tak menjawab. Diam. Seolah tak melihat, atau lebih tepatnya, tak merasa perlu hadir.
Mengapa? Sebab hadir secara utuh dengan pikiran, perasaan, dan kesadaran—memerlukan usaha. Dan usaha itu kini dianggap boros, tidak praktis, tidak worth it jika tidak viral, tidak menarik, atau tidak dapat “cuan”. Apresiasi kini seolah menjadi tindakan yang kalah pamor dibanding sekadar klik jempol atau emoji api.
Tentu kita tak sedang meromantisasi masa lalu atau mengutuk internet. Tapi kita perlu waspada. Ketika apresiasi direduksi menjadi angka views, ketika kritik dikira serangan pribadi, dan ketika karya dilihat sebagai konten semata, kita tengah memasuki fase baru: kemunduran daya tangkap intelektual dan empati kultural.
Ini bukan kekhawatiran kosong. Di luar sana, banyak karya jurnalistik, artistik, dan ilmiah yang lahir dari riset mendalam, dari proses penciptaan panjang, dari narasi-narasi marginal yang ditulis dengan prinsip kejujuran, akurasi, dan konteks yang kaya. Karya-karya ini bisa kita sebut sebagai produk dengan standar HDR tinggi – honesty, data, relevansi. Namun karena tidak bombastis, tidak clickbait, dan tidak menampilkan sensasi visual, mereka tercecer, tenggelam di antara banjir konten hiburan instan.
Bandingkanlah dengan video dangkal yang viral karena menampilkan prank tidak etis atau gosip selebritas. Lihatlah algoritma yang merangkul kegaduhan, bukan kebijaksanaan. Apa yang viral bukan selalu yang bernilai. Apa yang dibagikan berkali-kali bukan selalu yang layak dibaca.
Dalam konteks ini, media sosial bukan lagi ruang demokratis pengetahuan. Ia telah menjadi arena survival of the noisiest. Siapa yang paling keras, paling heboh, dialah yang terlihat. Sementara itu, karya yang jujur, yang memuat pengetahuan lintas generasi dan lintas budaya, kehilangan tempat dalam kesadaran kolektif.
Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa krisis apresiasi bukan sekadar soal “tidak suka membaca”, “tidak paham seni”, atau “generasi rebahan”. Krisis ini lebih dalam. Ia berakar pada struktur sosial dan warisan sejarah yang belum selesai. Kita masih hidup dalam bayang-bayang inferioritas postkolonial, yang menganggap apa yang berasal dari luar lebih hebat, lebih modern, dan lebih layak dipuja. Sementara karya lokal yang ditulis atau diproduksi dengan sangat hati-hati, dengan metode, konteks budaya, dan nilai, sering dianggap kurang menarik karena tidak bercita rasa global atau tidak populer.
Bahkan, dalam dunia akademik sekalipun, kita sering terjebak dalam dikotomi semu antara “seni tinggi” dan “karya biasa.” Karya yang menyentuh akar masyarakat, yang menolak format formalistik, seringkali tersingkir dalam penilaian karena tidak sesuai standar publikasi atau tidak bisa dinilai dengan sistem angka dan indeks.
Padahal, di banyak karya-karya tak viral itu, terdapat refleksi mendalam atas realitas bangsa. Lihatlah dokumentasi tari-tarian langka di pedalaman Sumatra, dengarkan suara minoritas yang direkam dalam riset musik etnik, bacalah esai-esai kritis dari pengamat budaya yang menulis tanpa embel-embel gelar besar. Semuanya menyimpan potensi pendidikan publik yang luar biasa. Tapi siapa yang peduli jika semua harus tunduk pada logika algoritma?
Di sinilah pentingnya kita membangun kesadaran apresiatif. Apresiasi bukan berarti memuji secara membabi buta. Bukan pula artinya semua karya harus disukai. Apresiasi adalah bentuk pengakuan atas kerja budi dan rasa, atas upaya menghadirkan makna di tengah dunia yang kian mekanis. Menghargai karya adalah juga menghargai keberadaan manusia di baliknya.
Bahkan kritik, jika dilakukan dengan tanggung jawab dan empati, adalah bagian penting dari apresiasi. Ia membantu karya tumbuh. Ia membuka ruang dialog. Tapi hari ini, kritik justru ditakuti, disalahpahami, atau disalahgunakan. Kita hidup di zaman ketika kritik bisa dianggap benci, dan pujian jadi komoditas. Ketika kedalaman jadi kesalahan, dan ketepatan dikalahkan kecepatan.
Apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, mari mulai dari diri kita sendiri. Jadilah pembaca yang tidak hanya cepat, tapi juga cermat. Jangan hanya tonton, tapi renungkan. Jangan hanya bagikan, tapi bicarakan. Tumbuhkan budaya berdiskusi, bukan sekadar debat reaktif. Hadirkan kembali semangat literasi yang menyentuh akal dan batin.
Kedua, peran pendidik dan lembaga pendidikan tidak bisa diremehkan. Pendidikan seni dan budaya harus berani membongkar metode lama yang kering, dan menggantinya dengan pendekatan yang menumbuhkan kepekaan, imajinasi, dan daya kritik. Mahasiswa perlu dilatih untuk bertanya, untuk tidak takut salah, untuk menuliskan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atas karya orang lain. Bukan untuk nilai, tapi untuk martabat intelektual mereka sendiri.
Ketiga, negara dan para pengambil kebijakan harus sadar bahwa keberlangsungan bangsa tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada ekosistem apresiasi budaya yang sehat. Karya yang baik – baik seni, jurnalistik, maupun pengetahuan – perlu dilindungi dan diangkat, bukan diabaikan karena tidak menghasilkan rating atau sponsor.
Suatu saat nanti, mungkin kita semua akan berada dalam senja usia. Jemari kita masih menyentuh layar, mata kita masih menatap sorot video. Tapi di benak kita, mungkin akan muncul penyesalan kecil, “Andai dulu aku lebih hadir, lebih menghargai, lebih mengerti.”
Sebelum saat itu datang, mari kita belajar kembali menjadi manusia yang tidak hanya hidup dari klik, tapi juga dari perenungan. Sebab yang membuat manusia tetap manusia bukan seberapa cepat ia bereaksi, tapi seberapa dalam ia mengapresiasi. []
Penulis adalah dosen seni pertunjukan di Universitas Syiah Kuala. Ia menulis, meneliti, dan mencipta karya yang menghubungkan penciptaan artistik, pengabdian budaya, dan kebijakan publik. Fokusnya banyak pada wilayah-wilayah non-sentral dan suara komunitas.