Oleh: Melinda Rahmawati, S.Pd
Judul Buku : Selayang Pandang Panglima Laot
Penulis : Sulaiman Tripa, Muhammad Adli Abdullah, Teuku Muttaqin Mansyur
Penerbit : Bandar Publishing
Cetakan : 1, April 2019
Tebal : 132 Halaman
ISBN : 987-623-7081-79-1
Peresensi : Melinda Rahmawati, S.Pd.
Sinopsis
Sejak Aceh mendapat otonomi sebagai daerah istimewa melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian pemberlakukan penyelenggaraan pemerintahan khusus yang termaktub dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, daerah ini berkembang menjadi satu kawasan yang kaya dengan keistimewaannya, termasuk struktur pemerintahannya. Pengakuan atas kelembagaan adat telah jelas diberikan dan mengizinkan keberlangsungan lembaga adat dengan tidak bertentangan pada peraturan perundang-undangan. Termasuk lembaga adat laot yang mengatur persoalan kemaritiman dalam masyarakat Aceh. Bersambung pada tahun 2016, pemerintah pusat menggaungkan visi ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’. Buku ini hadir untuk menjawab keterkaitan antara visi poros maritim dunia dan sepenggal implementasinya yang telah dilakukan oleh lembaga adat laot masyarakat Aceh sejak berabad-abad silam.
Resensi Buku
Melalui judul ‘Selayang Pandang Panglima Laot’, buku ini menyuguhkan informasi mengenai salah satu kelembagaan adat milik masyarakat Aceh. Sebagai sebuah etnis yang kental dengan budaya islamnya, masyarakat Aceh menjalani kehidupannya dengan menjalankan adat istiadat serta nilai dan norma yang diwariskan dari nenek moyang (tertulis: Indatu Moyang) mereka. Masyarakat Aceh telah berhasil menata sistem kelembagaan mereka hingga mengakar dan menjadi identitas dari budaya mereka. Kelembagaan dalam masyarakat Aceh memiliki peran vital dalam membangun peradaban, mengatur sendi-sendi kehidupan, dan menciptakan norma kemasyarakatan yang berlaku dan mengikat.
Hal menarik yang dibicarakan dalam buku ini adalah mengenai lembaga adat laot yang tidak ditemukan di wilayah lain. Secara khusus, buku ini membahas pelbagai hal terkait lembaga adat laot. Disetiap kampung (tertulis: Gampong) khususnya di pesisir pantai, mereka memiliki perangkat desa ini. Dipimpin oleh seorang Panglima Laot, lembaga ini secara spesifik mengatur pemungutan cukai atas kapal-kapal yang singgah di pelabuhan dan mengatur mobilitas nelayan dalam kegiatannya. Mulai dari penangkapan ikan, larangan perusakan lingkungan laut, serta peraturan mengenai larangan melaut pada hari-hari tertentu. Dan ternyata punya implikasi juga pada keseimbangan ekosistem laut tersebut. Bahkan, lembaga ini masih ada dan berjalan dengan kolaborasi bersama instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan dalam mengelola dan memberdayakan ekosistem masyarakat pesisir.
Jauh sebelum tahun 2016, saat muncul visi ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’ dengan lima porosnya. Masyarakat Aceh di pesisir sudah menjalankan itu sejak nenek moyang mereka. Bahkan telah diatur dalam kelembagaan adat tersendiri yang membidangi kelautan. Khususnya dalam pengaturan kekuatan pertahanan maritim, penggunaan alat tangkap dan pelbagai pantangan yang harus dihindari dalam aktivitas melaut telah diatur dan dijalankan sejak masa kesultanan terdahulu. Bahkan, dalam buku ini juga disebutkan sejak tahun 1854 M, garis komando Panglima Laot berada dibawah Hukum Laksamana. Sehingga Panglima Laot memiliki wewenang mengatur adat istiadat, praktik kenelayanan, dan kehidupan sosial di masyarakat pesisir.
Contohnya implementasi terkait penjagaan dan pengelolaan sumber daya laut dalam pilar kedua poros maritim dunia. Lembaga Hukom Adat Laot telah memiliki otonominya sendiri yang disebut ‘Leun Pukat’ dan ‘Teupien’. ‘Leun Pukat’ adalah lokasi yang membujur dari tepi pantai hingga laut disesuaikan dengan kebutuan penangkapan ikan dengan pukat darat. Sedangkan ‘Teupin’ adalah tempat nelayan untuk mendaratkan perahunya setelah melaut. Sebagai daerah teritorial khusus, kawasan ‘Leun Pukat’ ini sangat dilindungi oleh hukum adat. Serta penggunaan dan pemanfaatannya harus dengan seizin masyarakat nelayan setempat. Seperti halnya kawasan Zona Ekonomi Ekslusif yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif, dan berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia.
Sebagai penutup, penulis menyampaikan bahwa, “…adanya lembaga Panglima Laot yang bekerja sama dengan DKP dan adanya peraturan yang sangat mendukung, sudah dapat menjadi ‘jalan masuk’ dalam membangun manajemen bersama dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan di Aceh”. Artinya, pengimplementasian pemberdayaan sumber daya kelautan sejatinya telah dilakukan masyarakat Aceh pesisir melalui Hukom Adat Laot ini. Panglima Laot yang memimpin, memantau, dan mengelola pemberdayaan laut di wilayahnya berkoordinasi dengan dinas setempat dalam melaksanakan pengaturan tersebut. Serta jauh sebelum adanya visi ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’, masyarakat Aceh di pesisir telah menyadari dan melaksanakan pengaturan perihal kelautan tersebut dalam kelembagaan adat mereka.
Kepengarangan
Sulaiman Tripa adalah pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Diluar aktivitasnya sebagai pengajar, Sulaiman Tripa aktif mengisi kolom kupiluho.wordpress.com dan berbagai kolom lain di media cetak maupun online, serta berbagai wadah kepenulisan lainnya. Dengan mengelola komunitas Sikola Merangkai Kata, Sulaiman Tripa menyediakan wadah dan saling membantu untuk mereka yang ingin belajar menulis. Bersama Muhammad Adli Abdullah dan Teuku Muttaqin Mansyur, buku ini disusun untuk menghadirkan informasi mengenai kelembagaan adat laot yang menjadi kearifan lokal masyarakat Aceh pesisir dan implementasinya dalam persoalan kelautan.
Kelebihan
Melalui buku ‘Selayang Pandang Panglima Laot’ ini, kita dapat melihat bentuk, peran, hingga operasionalisasi lembaga Adat Laot dalam memberdayakan sumber daya kelautan yang dimiliki masyarakat Aceh pesisir. Bahkan, sebelum hadirnya visi ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’ masyarakat Aceh di pesisir telah mengimplementasikannya dalam kearifan lokal mereka. Bahkan, buku ini juga menyertakan informasi terkait regulasi yang memayungi hukum adat tersebut, sejumlah relevansinya, pelbagai tantangan, dan operasionalisasi lembaga adat laot ini.
Kekurangan
Namun, sangat disayang buku ini memang hanya terfokus pada pembahasan terkait sejarah, regulasi dan bentuk operasional antara lembaga adat laot dengan berbagai pemangku kebijakan terkait. Selain itu, buku ini juga belum memiliki ilustrasi beruba bagan alur koordinasi dan komando antar lembaga tersebut. Termasuk ilustrasi dari aktivitas masyarakat nelayan dan peran Panglima Laot dalam implementasi aturan kelautan diwilayahnya. Serta berbagai ilustrasi lain yang berkaitan dengan ‘Leun Pukat’ dan ‘Teupien’. Sehingga pembaca mudah bosan saat membaca buku ini dan tidak semua kalangan tertarik untuk membacanya.
Kesimpulan
Tidak diragukan bahwa Indonesia kaya dengan sumber daya alam kelautannya. Provinsi Aceh yang berada di ujung Pulau Sumatra, sudah sejak berabad-abad telah melaksanakan hukum laut dan pemberdayaannya sebagai daerah maritim. Melalui Hukom Adat Laot, masyarakat Aceh pesisir telah menjalankan sistem pengaturan kelautan dan telah menjadi kearifan lokal dari masyarakat tersebut. Sehingga ketika kita berbicara mengenai poros maritim dunia termasuk perlindungan ekosistem kelautan, masyarakat Aceh di pesisir telah menjalankannya. Kearifan lokal tersebut menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan.