Oleh: Arfiansyah
Pengajar pada Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry
Sudah seminggu lebih Bank Syariah Indonesia (BSI) tidak beroperasi maksimal akibat serangan terhadap sistem ITnya yang melumpuh semua transaksi melalui bank itu. Provinsi Aceh adalah satu-satunya provinsi yang secara luas paling terdampak dari lumpuhnya pelayanan BSI tersebut. Sementara, nasabah di provinsi lain sepertinya tidak mengalami dampak seperti masyarakat di Aceh. Perbedaan ini terletak pada banyaknya pilihan bank yang berada di Aceh dan di luar Aceh. Semakin banyak pilihan maka semakin banyak tempat menyimpan uang dan melakukan ragam transaksi ekonomi.
Mengapa Aceh bisa sangat berdampak dari lumpuhnya BSI, terlebih media lokal memberitakan kerugian pelaku bisnis mulai dari puluhan, ratusan, hingga miliar rupiah, bukankah di Aceh juga ada beberapa bank syariah lainnya selain BSI?
Bank dan Aktivitas ekonomi di Aceh
Semenjak BSI lumpuh dan menunai protes nasabah di ragam media lokal dan nasional, banyak juga memberi tahu beberapa pilihan bank selain BSI yang ada di Aceh. Selain BSI, di Aceh telah juga ada Maybank Syariah, BCA Syariah, Bukopin Syariah dan bank-bank syariah lain. Tetapi tidak ada bank konvensional seperti Mandiri, BNI, BRI dan lainnya. Ketiga bank konvensional ini sepakat untuk membentuk bank baru, yaitu bank Syariah Indonesia (BSI) yang saat ini sedang lumpuh. Siapa pun yang memiliki rekening di ketiga bank tadi telah disatukan ke bank BSI dengan 3 nomor rekening berbeda di satu bank. Uang mereka, yang sebelum dipisah-pisah, semua dikumpulkan ke BSI.
Selain mereka bersepakat untuk membentuk bank baru (BSI), mereka juga sepakat untuk mengalihkan seluruh aset dan staf mereka di seluruh Aceh kepada BSI. Ketiga bank tadi adalah bank dengan sebaran kantor cabang paling luas di Aceh bahkan, seperti BRI, menjangkau beberapa kecamatan tersibuk di banyak kabupaten. Dengan mengalihkan aset dan stafnya, artinya BSI adalah bank nasional satu-satunya yang memiliki jangkauan paling luas dan jauh selain Bank Aceh Syariah (BAS). Bank-bank syariah selain keduanya, bila dilacak sederhana dengan melalui Google Map, hanya berada di kota dengan geliat ekonomi yang tinggi; Banda Aceh, Bireuen, dan Kota Lhokseumawe. Beberapa di antara bank tersebut telah membuka cabang di Kota Langsa dan Aceh Tamiang. Sebagiannya bahkan telah menutupnya. Selain BSI dan BAS, tidak ada satu pun bank syariah yang membuka cabang di daerah sepanjang pantai barat selatan hingga ke Singkil dan juga di daerah Tengah Aceh hingga ke perbatasan. Sementara BSI dan BAS memiliki cabang di Kutacane, Aceh Tenggara, Kabupaten perbatasan Provinsi Aceh dan Sumut.
Dampak dari minimnya sebaran kantor cabang di daerah selain BSI dan BAS sangat dirasakan oleh pelaku usaha di daerah dan juga pelaku usaha di Banda Aceh yang bertransaksi ke daerah. Ketika bank paling dominan seperti BSI tiba-tiba lumpuh seperti saat ini, maka aktivitas ekonomi akan langsung terhenti. Sebagai ilustrasinya, Setiap hari perusahaan beras Blang Bintang melakukan transaksi miliaran rupiah di daerah-daerah. Mereka mengantarkan beras ratusan ton ke seluruh Kabupaten di pantai Barat Selatan hingga Singkil dan juga ke daerah tengah Aceh. Selama ini, mereka menggunakan pelayanan BSI untuk menerima pembayaran dari pembeli di daerah. Telah seminggu BSI lumpuh, artinya sudah milyaran rupiah perusahaan beras Blang Bintang tidak mendapatkan pembayaran dari beras yang mereka kirimkan.
Karena direktur perusahaan melihat dan memaklumi keadaan dan, karena kepercayaan, bersabar menunggu pembayaran sampai BSI normal kembali. Tetapi, bagaimana dengan petani yang menjual beras kepada perusahaan tersebut, apakah bisa ditunda? Ada ratusan petani yang mengantarkan ratusan kilo beras. Bagaimana harus membayar mereka? Pilihannya membayar tunai dan untuk itu bendahara perusahaan harus mengambil uang dalam jumlah ratusan bahkan milyaran rupiah. Apakah BSI mengizinkan mengambil uang tunai milyaran rupiah? Kalau pun boleh, beranikah perusahaan mengambil risiko dirampok atau kecelakaan yang mengakibatkan uangnya hilang?
Selain petani, perusahaan juga harus membayar gaji sopir truk. Sopir truk perlu cash, selain untuk makan minum di tengah jalan juga untuk mengisi bensin. Selama tidak ada pembayaran dari daerah, artinya perusahaan tidak bisa menggaji mereka. Mungkin saja, direktur mengambil risiko dengan mengeluarkan modal perusahaan untuk membayar gaji. Lagi-lagi, ada puluhan truk perusahaan yang jalan setiap hari, apakah perusahaan tersebut mau berani mengambil risiko seperti risiko mengambil uang untuk petani? Dampak terburuk dari sini adalah perusahaan tutup karena biaya operasional terlalu tinggi sementara tidak ada pemasukan. Kita tidak bisa lagi menikmati lembutnya berat Blang Bintang.
Demikian juga dengan pelaku usaha komoditii export seperti kopi. Selama ini, hanya BSI yang bisa melayani transaksi internasional di daerah tengah Aceh tersebut. apa yang terjadi kepada mereka bila BSI lumpuh seperti saat ini? Dan pada pundak pelaku usaha, ada puluhan bahkan ratusan orang mengantungkan kehidupan mereka. Dan pada sebagian mereka bergantung kehidupan ekonomi keluarga. Rantai dari ekonomi dan dampaknya terhadap kehidupan sangat panjang. Tidak berhenti pada 1 orang pengusaha yang mengeluh.
Itu hanya ilustrasi dari kemungkinan transaksi besar sederhana antara perusahaan di Banda Aceh, yang punya pilihan bank, dengan pelaku bisnis di daerah yang tidak memiliki pilihan selain BSI. Atau pelaku usaha di daerah dengan pasar internasional. Lalu kenapa tidak menyimpan juga di BAS? Pebisnis yang tidak memiliki sejarah bisnis dengan pemerintah Aceh atau mengambil kredit BAS untuk pengembangan bisnis mereka, sering tidak membuka rekening di BAS. Sebelumnya mereka lebih memilih Bank Mandiri, BNI, dan BRI karena jangkauan nasional dan kemudahan transaksi secara nasional dan internasional. Dulu, petani kecil banyak mengakses BRI karena merupakan bank penyalur bantuan pemerintah.
Apa kaitan semua ini dengan LKS?
Pemerintah mengintervensi sistem pasar, di mana bank adalah salah satu unsur terpenting di dalamnya, terlalu dalam dengan membatasi sistem lembaga keuangan ke sistem lembaga keuangan syariah. Akibatnya, semua bank konvensional tidak bisa beroperasi di Aceh hingga mereka mengonversi diri atau membuka anak perusahaan yang mengikuti prinsip lembaga keuangan syariah. Pembatasan ini menguntungkan BSI, yang merupakan anak perusahaan bank besar di Indonesia (Bank Mandiri, BNI dan BRI). Aset dan modal BSI tentu saja meningkat dan dengan itu mereka menjadi bank terbesar satu-satunya di Aceh. Bank nasional lainnya terlambat mengonversi ke Syariah dan masuk ke Aceh sehingga pasar perbankan di Aceh sudah duluan didominasi oleh BSI.
Ketika bank raksasa ini lumpuh, maka aktivitas ekonomi masyarakat akan ikut lumpuh. Ketika ekonomi lumpuh, maka kehidupan kita juga terancam lumpuh yang berdampak ke banyak hal yang tak terkira. Tentu ekonomi bisa berjalan normal bila BSI memberitahu nasabah satu minggu atau beberapa hari sebelumnya kalau BSI akan lumpuh. Nasabah bisa bersiap diri menghadapi kemungkinan buruk. Tetapi pengalaman kita saat ini tidak demikian. BSI tiba-tiba diserang, dan kita juga kena imbas langsung dari serangan tersebut. Di sinilah aspek keamanan sistem ekonomi kita yang sangat rapuh bila hanya bergantung pada satu bank besar nasional.
Keadaan saat ini juga menunjukkan bahwa tidak adanya sistem keamanan bank yang baik yang memberikan perlindungan terhadap aktivitas ekonomi kita. Tentu saja, semua bank dapat menjadi sasaran dan tiba-tiba lumpuh. Dampaknya dapat berkurang bila pilihan bank tersedia lebih dari 2. Saat ini, hanya mereka yang memiliki rekening di BAS yang menopang ekonomi masyarakat secara luas di seluruh Aceh.
Masyarakat Banda Aceh kurang merasakan dampaknya karena memiliki pilihan bank lebih dari 4 buah bank syariah dan karena sebagian mereka adalah mahasiswa yang menerima “gaji” bulanan dari kampung. Mereka merasakan dampaknya bila orang tua mereka di kampong terdampak dari lumpuhnya BSI. Selain mahasiswa, Banda Aceh juga didominasi oleh PNS atau orang-orang yang mendapatkan pendapatan bulanan dari pemerintah. Transaksi ekonomi mereka tidak ribet dan tinggi sehingga ketergantungan mereka pada layanan bank tidaklah tinggi. Apalagi PNS Aceh mendapati gaji mereka ditransfer ke BAS. Kecuali PNS pusat yang mendapati gaji mereka ditransfer ke BSI. Dosen, misalnya, merasakan dampak langsung dari BSI ini.
Permasalahan masyarakat di Aceh dari situasi yang dihadapi oleh BSI saat ini bukanlah tentang apakah bank itu syariah atau bukan. Tetapi tentang dampak dari bank tersebut terhadap keamanan ekonomi di seluruh Aceh. Karenanya merevisi LKS adalah penting. LKS adalah pintu keamanan transaksi ekonomi di Aceh yang selama ini hanya dibuka untuk bank yang menjalankan prinsip Lembaga Keuangan Syariah. Membuka pintu tersebut ke bank konvensional memberikan kita banyak pilihan bank untuk keamanan ekonomi kita.
Tentu saja tidak ada jaminan bila setelah merevisi LKS, maka bank konvensional akan segera masuk ke Aceh. Secara nasional, bank konvensional terbesar adalah Mandiri, BNI, dan BRI. Mereka semua telah sepakat memenuhi permintaan pemerintah Aceh untuk undur diri dan meninggalkan anak kandung mereka, BSI, di Aceh untuk mengatur dan sekaligus mengambil keuntungan dari perputaran ekonomi di Aceh. Kecil sekali kemungkinan mereka mau bersaing merebut pasar anak mereka sendiri. Apalagi mereka bisa mendapatkan keuntungan di Aceh melalui BSI tanpa harus berada di Aceh.
Tapi setidaknya, pintu telah dibuka untuk bank konvensional hadir. Selanjutnya, bergantung pada bank konvensional untuk membaca peluang bisnis dan bersaing dengan BSI di provinsi Aceh. Bank manakah yang paling disukai, tentu adalah bank yang memberikan pelayanan terbaik bagi nasabah. Lagi pula tidak ada jaminan bank syariah benar-benar menjalankan syariah. Sama seperti hotel syariah yang kurang bersih dibandingkan dari hotel tanpa label syariah. Atau makanan berlabel halal tapi membuat sakit kepala dan mual-mual karena terlalu banyak penyedap. Kabarnya, front desk dan teller BCA lebih ramah, sopan dan sangat melayani dibandingkan BSI dan BAS? Ukuran sederhana tentang sikap yang melaksanakan prinsip syari’i. Sedangkan, bunga kredit komsumtif dari seluruh bank ini sama-sama berbunga mekar.
Penutup
Permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh saat ini hingga berdampak pada tuntutan revisi LKS bukan sebatas bank syariah, apalagi syariah. Tetapi tentang peran dan dampak bank terhadap roda perekonomian di Aceh. Ketika bank paling dominan lumpuh, maka akan segera melumpuhkan ekonomi kita, yang berdampak pada kehidupan, hak dan tanggung jawab kita kepada diri sendiri dan orang lain.
Merevisi LKS adalah merevisi ekonomi Aceh. LKS adalah tantangan besar Pemerintah Aceh terhadap pembangunan dan roda ekonomi di Aceh. Semua orang terlibat di dalamnya dan karenanya langsung merasakan dampaknya. Mereka mulai dari bayi usia 1 menit hari hingga nenek renta yang terbaring lama; dari orang yang berhutang banyak sampai orang mendapatkan keuntungan besar setiap hari; dari pengangguran terpuruk sampai pejabat negara paling tinggi di Aceh. Semuanya terlibat dalam putaran roda ekonomi dan mereka semua terdampak langsung dari lancar dan macetnya roda tersebut. Karenanya, pemerintah Aceh dihadapkan pada pilihan apakah mereka ingin mempertahankan sistem keuangan yang mempersempit ruang gerak ekonomi dan pembangunan di Aceh dan tidak memberikan jaminan keamanan terhadap roda ekonomi di Aceh seperti saat ini atau sebaliknya? Apakah membuka peluang untuk hadirnya bank konvensional dianggap bukan keputusan dan tindakan syari’i?