Oleh: Aida Maslamah Ahmad
Pegiat Kajian Timur Tengah di KSAF Institute
Setiap kali eskalasi konflik di Timur Tengah (Timteng) terjadi, netizen Indonesia selalu heboh menyoal posisi Iran. Untungnya, dari waktu ke waktu masalah ini terlihat makin jernih. Sepuluh tahun lalu, media-media massa berhasil meyakinkan publik tanah air ada konflik mazhab di Timteng, selain konflik Palestina-Israel. Kini, keyakinan itu mulai diragukan.
Dalam perang Iran-Israel terakhir, kampanye konflik Suni-Syiah mulai ditolak mayoritas netizen kita. Semangat persatuan Islam menguat. Bandingkan ketika perang saudara di Suriah dan perang Saudi-Yaman, yang berlangsung sembilan tahun. Sentimen sektarian begitu meledak.
Padahal, perang-perang di Timteng itu tipenya sejenis. Kelihatan terpisah-pisah, hakikatnya sama. Merujuk pernyataan Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin  Abdulrahman  Jassim Al-Thani, inti konflik Timteng berpusat pada Palestina. Semua perang di kawasan itu merupakan pengembangan dari masalah Palestina.
Dimulai dari penggulingan Khadafi di Libya, perang internal Sudan, perang Suriah, perang Hamas-Israel, perang Hizbullah-Israel, perang Houthi-Israel, dan perang Iran-Israel semua masih berpunca dari Palestina.
Israel Hebat
Harus diakui, Israel dan Amerika Serikat (AS) mampu bermain cantik mengamankan agenda mereka dalam perang-perang di Timteng sejauh ini. Agendanya cuma satu, gulingkan pemerintah pembela Palestina dan ganti dengan rezim baru yang tunduk pada Israel.
Khadafi digulingkan, konflik internal dirancang melumpuhkan Libya. Sudan sebelumnya vokal membela Hamas, runtuh dalam perang saudara, akhirnya berdamai dengan Israel. Pemerintahan Ikhwanul Muslimin di Mesir dikudeta, diganti dengan rezim baru yang takut pada Israel.
NATO juga hadir di Suriah menggulingkan Assad yang anti Israel. Awalnya gagal, belakangan sukses di bawah supervisi Turki, negara NATO dengan kekuatan militer terkuat di Timteng. Rezim baru Suriah sudah mengumumkan permusuhan Suriah-Israel yang berusia 50 tahun kini berakhir. Suriah bukan lagi ancaman bagi Israel.
Suriah bergabung dalam poros negara-negara teluk pimpinan Arab Saudi. Bahkan, Suriah digadang-gadang jadi salah satu negara Arab yang akan berdamai (normalisasi hubungan) dengan Israel di bawah arahan Trump dalam skema Perjanjian Abraham.
Satu per satu benteng pembela Palestina runtuh. Dalam bentuk negara, benteng tersisa hanya dua, Aljazair dan Iran. Kedua negara ini terbukti setia puluhan tahun menyediakan logistik, pelatihan, dan perlengkapan militer kepada Palestina.
Di luar entitas negara, Palestina banyak dibantu oleh organisasi gerakan Islam, seperti Houthi (Yaman), Hizbullah (Libanon), Hashad Shakbi (Irak), Ikhawanul Muslimin (Mesir, Tunisia, Qatar, Turki, Suriah), dan jaringan organisasi lainnya. Organisasi-organisasi ini punya sayap militer.
Iran Runtuh?
AS dan Israel ingin Iran runtuh. Pemerintahan Islam Iran di bawah kempimpinan Ayatullah Ali Khamenei hendak dijatuhkan, digantikan dengan boneka mereka. Salah satu tokoh yang dijagokan adalah Muhammad Reza Pahlavi, putra mantan raja Iran yang digulingkan dalam revolusi Islam tahun 1979.
AS, NATO, dan Israel punya dua pola meruntuhkan benteng-benteng pembela Palestina. Pertama, runtuhkan dari dalam. Ini bisa berbentuk kudeta militer seperti di Mesir atau pemberontakan rakyat seperti di Suriah. Bisa juga keduanya, kudeta militer sekaligus pemberontakan rakyat seperti di Sudan. Semua dilakukan atas nama demokrasi atau jihad palsu.
Kedua, jika pemberontakan rakyat dari dalam terlalu berat dan kudeta militer mustahil, maka Israel, AS, dan NATO menyerang dengan kekuatan militer. Seperti dilakukan terhadap Saddam Husein (Irak) dan Khadafi (Libya). Pola kedua ini dipilih untuk meruntuhkan Iran.
Selama lebih 40 tahun, AS dan Israel membangun jaringan dengan kelompok-kelompok oposisi dari dalam Iran sendiri. Sebagian dari kekuatan oposisi Iran di luar negeri telah direkrut menjadi agen mata-mata Israel, AS, dan Inggris. Melakukan operasi-operasi mengacaukan Iran dari dalam.
Diantara jaringan oposisi terkuat adalah kelompok kiri-marxis diwakili Mujahidin-e Khalq (MEK/MKO), separatis Kurdi (Komala/PDKI), dan milisi Bolochistan (Jais al-Adl). Semua kelompok ini punya sayap militer siap tempur. Tapi, gagal melemahkan Iran dari dalam.
Maka, Israel harus menggunakan militernya menyerang Iran langsung pada tanggal 13 Juni lalu. Jendral-jendral Iran memberitahukan publik, operasi ini sudah disiapkan matang sejak November 2024, lebih kurang 8 bulan lalu. Persisnya, setelah benteng Suriah jatuh ke tangan HTS dan Turki.
Agen-agen Mossad di dalam Iran mematikan radar, angkatan udara Israel dengan mudah menerebos pertahanan udara Iran pada serangan pertama. Iran kecolongan. Beberapa komandan militer tingkat tinggi dan ilmuwan nuklir gugur.
Komando militer Iran sempat lumpuh beberapa jam, sebelum akhirnya dipulihkan. Rakyat Iran kaget. Publik dunia terkejut dengan serangan mendadak Israel. Nyaris saja, benteng Iran runtuh seperti benteng-benteng pembela Palestina lainnya.
Perang 12 hari, Israel bermohon gencatan senjata. AS meminta bantuan Qatar memediasi gencatan senjata itu. Iran bukan hanya mampu bertahan dari gempuran Israel dan AS. Negara mullah itu berhasil menghancurkan aset-aset strategis militer Israel. Tel Aviv, Haifa, Beersheba, Ramat Gan dan kota-kota besar zionis lainnya porak poranda.
Daya Tahan
Gencatan senjata ini rapuh. Mungkin tidak bertahan lama. Perang militer Iran-Israel akan dilanjutkan. Sekuat apa pemerintahan Islam Iran bisa bertahan?
Publik dunia mengira, kekuatan utama Iran terletak pada teknologi militernya, dengan rudal-rudal dan drone super canggih. Padahal teknologi militer tidak bisa menyelamatkan sebuah negara. Terbukti, Uni Soviet, pemilik teknologi militer tercanggih di dunia, kalah dan bubar.
Benteng Iran tidak akan mudah runtuh. Iran memiliki beberapa elemen kekuatan inti:
Pertama, Korp Garda Revolusi Islam sangat berpengalaman dalam perang dan setia. Para pemimpin Garda Revolusi di Iran itu dipilih dari anak-anak rakyat jelata yang ditempa ilmu kemiliterannya dalam perang Irak-Iran selama 8 tahun. Setelah itu, mereka ditempa dalam perang Suriah selama 10 tahun dan belajar dari perang Yaman selama 9 tahun. Mereka berpengalaman memenangkan perang.
Kedua, Iran memiliki 10 juta Basij. Ialah relawan rakyat yang sangat ideologis dan semi militer. 10 juta Basij artinya, 1 dari 7 penduduk Iran berusia dewasa adalah milisi, yang terorganisir dengan baik dan mengendalikan kekuatan rakyat secara penuh. Kekuatan Basij ini adalah kunci konsolidasi kekuatan rakyat Iran.
Ketiga, Iran memiliki jaringan poros perlawanan (axis of resistance) di 9 negara tetangganya. Kekuatan Iran harus dilihat menyeluruh di luar negara Iran. Poros perlawanan yang selalu setia membela Iran tersebar luas dari Pakistan hingga Yaman. Seperti milisi Zainabiyon di Pakistan, Fatemiyon di Afghanistan, Huseiniyon di Azerbaijan, Hizbullah di Suriah, Hizbullah di Libanon, Hashad Syakbi di Irak, Houthi di Yaman, dan Brigadir Al-Asytar di Bahrain.
Keempat, Iran memiliki rakyat yang super sabar dan revolusioner. Selama 40 tahun lebih, Iran telah diboikot secara ekonomi oleh AS dan Eropa. Ekonomi Iran guncang, inflasi sangat-sangat tinggi. Rakyat Iran sudah terbiasa dengan penderitaan, mereka berdaya tahan tinggi dalam perang. Ini akan berbanding terbalik dengan kualitas rakyat Israel.
Kelima, Iran punya sekutu kuat dari negara-negara blok Rusia- Cina. Meski sejauh ini Putin mengatakan Iran masih menolak dukungan Rusia menghadapi Israel, ke depan dukungan Rusia dan Cina akan memperkuat benteng Iran. Menhan Iran diberitakan telah berada di Cina satu hari setelah gencatan senjata. Jet tempur Cina dilirik Iran, setelah Rusia menunda pengiriman jet tempur SU 35 yang telah dibayar Iran dua tahun lalu. Ditambah dukungan militer Pakistan, Iran semakin kokoh.
Walhasil, Iran memang mempersiapkan diri jadi martir. Namun, benteng Iran dibangun bukan untuk diruntuhkan musuh. AS dan Israel akan putus asa jika berharap Iran tunduk dan menyerah. Lebih-lebih, menyerah tanpa syarat. Mulut Trump terlalu jorok dan berbau busuk ketika meminta rakyat Iran menyerah.