SAGOETV | BANDA ACEH – Seorang pemuda teguh mengemban amanah suci, membawa lantunan ayat-ayat Ilahi melintasi lautan hingga ke negeri seberang. Dia adalah Muhammad Sayuti, seorang hafiz yang tak hanya menghafal Al-Qur’an, tetapi juga mengamalkan ilmunya dalam setiap langkah kehidupan.
Lahir di Lhoksukon, Aceh Utara, pada 24 April 1992, Sayuti menapaki perjalanan panjang dalam menuntut ilmu. Langkah kecilnya bermula dari Pesantren Darul Huda Lueng Angen, lalu berlanjut ke Pesantren Nurul Huda Lhoksukon, Pesantren Nurul Islam Peudada Bireuen, hingga Pesantren Ashabul Yamin Paya Bakong, Aceh Utara. Di sana, ia meneguhkan hati dalam menghafal Al-Qur’an, menggali makna yang terkandung di dalamnya.
Pendidikan formalnya pun tak kalah gemilang. Ia menyelesaikan studi di MAN Peudada, Bireuen, sebelum melanjutkan ke Ma’had Khadimul Haramain As-Syarifain (LIPIA) Banda Aceh. Semangat belajarnya yang tak kenal lelah membawanya meraih gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Hasratnya dalam ilmu tak terhenti di situ. Ia sempat menempuh pendidikan pascasarjana di Sudan, sebelum akhirnya kembali ke tanah air dan melanjutkan studi di Pascasarjana Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, jurusan Pendidikan Agama Islam.
Sayuti bukan hanya seorang akademisi, tetapi juga seorang pengemban amanah dakwah. Sejak 2017, ia dipercaya menjadi imam shalat tarawih dan witir di berbagai masjid di Bangkok, Thailand, di antaranya Masjid Jawa, Masjid Indonesia, Masjid Bang O, dan Masjid Kedutaan. Kepercayaan ini merupakan bagian dari program Forum Silaturrahim Kemakmuran Masjid Serantau (Forsimas), yang sejak 2011 telah mengirimkan imam dari Aceh untuk membimbing umat Islam di negeri Gajah Putih. Tahun ini, Forsimas kembali menugaskannya sebagai imam tarawih di Bangkok, melanjutkan jejaknya dalam menyebarkan cahaya Al-Qur’an ke penjuru dunia.
Menurut Sekjen Forsimas Pusat, Dr. Tgk. H. Basri A. Bakar, menyatakan bahwa pengiriman imam tarawih ke Bangkok telah berlangsung sejak 2011 atas undangan Imam Muslimin (Rangsan bin Kamson) dan didukung KBRI. Muhammad Sayuti diundang sejak 2017 dan kembali dipercaya tahun ini untuk keempat kalinya. Ia akan mengimami shalat di Masjid Jawa, Masjid Indonesia, Masjid Bang O, Masjid Kedutaan, dan lainnya. Kepercayaan ini menjadi kebanggaan bagi Aceh. Pada 2017–2018, Forsimas juga mengirim dua imam lainnya dari Aceh, yakni Irhamullah Elmas’udy dan Sulaiman Nurdin dari Krueng Mane, Aceh Utara.
Di tanah kelahirannya, Sayuti tetap berkhidmat sebagai imam rawatib di Masjid Baitussalihin Ulee Kareng dan Masjid Sabilil Jannah, Kampung Doy. Selain itu, ia juga mengabdikan diri sebagai amil relawan di Baitul Mal Aceh dan menjadi pendidik di PTQ Baitussalihin Ulee Kareng. Kiprahnya dalam membimbing umat tak hanya terbatas pada tugas-tugas ritual, tetapi juga dalam membangun kesadaran keagamaan melalui pendidikan dan dakwah.
Kehidupan di perantauan tidak selalu mudah. Di Bangkok, ia harus beradaptasi dengan budaya dan kebiasaan yang berbeda. Shalat tarawih 20 rakaat yang ia pimpin kerap diiringi doa dan shalawat yang panjang, sebuah tradisi yang khas di sana. Suasana masjid pun menjadi titik pertemuan umat Islam dari berbagai negara, menjadikannya saksi atas keberagaman dalam persaudaraan Islam. Setiap waktu berbuka puasa, ratusan jamaah berkumpul, saling berbagi makanan dan keberkahan, menciptakan kebersamaan yang hangat meskipun jauh dari kampung halaman.
Sebagai seorang dai dan imam, Muhammad Sayuti memahami bahwa tugasnya bukan sekadar menghafal dan melantunkan ayat-ayat suci, tetapi juga menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Perjalanannya adalah bukti bahwa ilmu dan keikhlasan dapat menembus batas geografis, menyatukan hati-hati yang rindu pada cahaya Ilahi.
Dari Aceh hingga Bangkok, dari bilik pesantren hingga mimbar-mimbar masjid, Sayuti terus melangkah, membawa lentera yang tak pernah padam. Ia bukan sekadar seorang imam, melainkan seorang pengemban cahaya, yang tak lelah menerangi jalan bagi siapa saja yang mencari-Nya. [NST]