Oleh: Arizul Suwar
Alumnus S2 Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarahnya, Aceh telah melewati berbagai periode dengan dinamika yang begitu kompleks. Mulai dari konflik bersenjata yang mencabik-cabik kehidupan sosial, hingga bencana tsunami yang memakan banyak korban. Setelah itu, pembangunan perdamaian dan rekonstruksi pun dilakukan. Di tengah dinamika ini, CSO muncul sebagai aktor nonnegara yang berkontribusi dalam berbagai sektor kehi-dupan masyarakat. Secara khusus, CSO bergerak untuk merespons kebutuhan masyarakat, terutama bagi mereka yang rentan dan marginal, dengan harapan dapat merawat kembali harapan masyarakat yang nyaris pudar.
CSO merupakan organisasi yang didirikan oleh individu atau kelompok secara sukarela dengan tujuan mendukung serta menopang kepentingan publik tanpa mengambil keuntungan finansial (Harja, Ramdlaningrum, Ningrum, & Aidha, 2021). Di Indonesia, CSO memiliki keragaman fokus dan area kerja berdasarkan tingkatan, seperti nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa/kelurahan. Sebagian besar CSO berfokus pada masalah-masalah sosial dan ekonomi.
Di Aceh, peran CSO tidak hanya sekadar menjadi peleng-kap dalam proses pembangunan pascakonflik dan tsunami, namun juga telah berkembang menjadi agen perubahan. Mereka berhasil memperkenalkan isu-isu mendasar kepada publik, seperti pemberdayaan ekonomi, pemantauan pelang-garan HAM, advokasi untuk perdamaian dan keadilan, serta pelestarian alam. Lebih dari itu, CSO juga berperan penting dalam menjembatani aspirasi masyarakat kepada pemerintah, sehingga kebijakan yang diambil dapat lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selama dan setelah konflik di Aceh, CSO terlibat dalam pemberdayaan masyarakat, pemantauan pelanggaran hak asasi manusia, serta advokasi perdamaian. CSO juga membantu membangun kapasitas komunitas dan mendukung berbagai inisiatif untuk menjaga kestabilan sosial.
CSO di Aceh pascabencana tsunami berfokus pada isu-isu kemanusian dan perdamaian (Tjoetra & Askandar, n.d.). Aktivitas utamanya ialah melibatkan diri ke dalam proses-proses rehabilitasi, rekonstruksi dan reintegrasi. Peranan lain yang tidak kalah penting ialah mengurangi faktor-faktor yang dapat menciptakan konflik baru dalam masyarakat. Peranan ini terimplementasi dalam kegiatan dialog-dialog dengan isu yang dipandang sensitif, semisal penanganan korban konflik dan pemenuhan hak asasi manusia bagi korban konflik.
Tulisan ini bertujuan mengetengahkan beberapa peran dan kontribusi yang dilakukan CSO di Aceh serta menyertakan juga beberapa catatan penting sebagai antisipasi untuk menghadapi perubahan sosial yang semakin kompleks di Aceh.
Pembahasan
CSO adalah aktor nonnegara yang tujuannya bukan untuk menghasilkan keuntungan atau mencari kekuasaan dalam pemerintahan. CSO menyatukan orang-orang untuk memajukan tujuan dan kepentingan bersama. Mereka memi-liki kehadiran dalam kehidupan publik, mengekspresikan kepentingan dan nilai-nilai dari para anggotanya atau pihak lainnya, dan didasarkan pada pertimbangan etis, budaya, ilmiah, agama, atau filantropi (Bank, 2008).
CSO mencakup NGO, asosiasi profesional, yayasan, lembaga penelitian independen, organisasi berbasis komunitas, organisasi berbasis agama, organisasi rakyat, gerakan sosial, dan serikat pekerja. CSO memainkan peran penting dalam mendorong perubahan sosial dengan mewakili kepentingan beragam kelompok masyarakat. Melalui berbagai bentuknya, mulai dari NGO hingga serikat pekerja, CSO berfungsi sebagai wadah untuk memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam isu-isu sosial, budaya, dan politik yang relevan. Organisasi-organisasi ini juga sering kali menjadi penyeimbang kekuasaan negara dan sektor swasta, dengan fokus pada kepentingan publik serta nilai-nilai kemanusiaan.
Pemberdayaan Ekonomi
CSO berperan penting dalam meningkatkan taraf hidup masayakar melalui perberdayaan ekonomi di Aceh. Terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan seperti perempuan dan petani. Dalam hal memperjuangkan hak-hak perempuan, Flower Aceh yang merupakan salah satu organisasi CSO, menjalankan program-program berfokus pada pemberdayaan perempuan khususnya di pedesaan (F. Aceh, 2021). Program-program tersebut meliputi pemberdayaan perempuan, pening-katan kesetaraan gender, dan pemberantasan kekerasan berbasis gender. Organisasi ini juga aktif dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal serta mendorong kemandirian ekonomi perempuan melalui pelatihan dan pendampingan.
Program-program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi ini menjadi pendukung utama untuk merawat perdamaian. Melalui program-program tersebut, CSO membantu masyarakat untuk mengakses sumber daya, memfasilitasi pelatihan keterampilan, serta mendorong partisipasi dalam program-program ekonomi lokal (Swadaya, 2024). CSO berkontribusi untuk meraih ketahanan pangan masyarakat melalui pemberdayaan petani dan peternak. CSO juga berperan dalam mendampingi pengembangan ekonomi kerakyatan dengan memperkuat organisasi, produksi, pemasaran, hingga permodalan (Swadaya, 2024).
Dalam hal pemberdayaan ekonomi ini, ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Pertama, program-program yang telah berhasil meningkatkan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat ini terkadang bersifat jangka pendek. Semisal memberikan pelatihan keterampilan tertentu, namun tidak selalu diiringi dengan akses yang berkelanjutan, sehingga setelah program selesai, peserta kembali menghadapi tantangan dalam mempertahankan usaha mereka. Tanpa dukungan yang berkelanjutan, program-program ini hanya akan menjadi sebatas intervensi jangka pendek yang tidak mampu mengatasi akar permasalah ekonomi secara sistemik. Kedua, penting bagi CSO untuk mengkaji sejauh mana partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program tersebut. Partisipasi ini tentu berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, sehingga program tersebut dapat tepat sasaran. Agar program ini dapat benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat, maka sejak awal masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Hal ini tidak hanya memperkuat rasa kepemilikan terhadap program pada masyarakat, namun juga membantu mengidentifikasi potensi lokal yan dapat dikembangkan secara optimal. Ketiga, dalam usaha untuk meraih manfaat jangka panjang dari program-program tersebut, CSO perlu memperluas pendekatan mereka dari sekedar memberikan pelatihan ketarampilan ke arah pengembangan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan. Ini meliputi usaha memperkuat jejaring usaha dan memberikan akses ke pasar.
Advokasi HAM
Advokasi HAM menjadi salah satu fokus utama dari CSO di Aceh. Khususnya dalam konteks keadilan pascakonflik (Aswidah, Djafar, & Zakaria, 2019). Organisasi masyarakat sipil ini berupaya memperjuangkan keadilan bagi korban konflik, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, seperti kasus kekerasan terhadap perempuan, penghilangan paksa, dan kekerasan lainnya. Melalui pendekatan advokasi dan pendampingan hukum, CSO di Aceh berperan semaksimal mungkin untuk memastikan adanya pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM dan memperjuangkan pemulihan hak-hak korban serta mendorong reformasi kebijakan yang lebih adil.
CSO di Aceh melalui berbagai program melakukan aktivitas utamanya berkenaan dengan penanganan pengungsi dan pemenuhan hak-hak korban bencana dengan dukungan dari berbagai institusi (Tjoetra, 2016). Di samping itu, organisasi seperti Koalisi NGO HAM Aceh juga berperan penting dalam mengadvokasi hak asasi manusia. Organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah, lembaga lokal, dan internasional untuk memastikan penegakan HAM, mempro-mosikan perdamaian, dan melibatkan masyarakat dalam proses pelindungan hak.
CSO lain seperti KKR Aceh dan YARA merupakan dua lembaga yang berperan penting dalam mengadvokasi HAM di Aceh. KKR Aceh, yang dibentuk pascakonflik merupakan bagian dari upaya rekonsiliasi, bertujuan untuk mengungkap kebenaran atas pelanggaran HAM yang terjadi selama masa konflik (K. Aceh, 2024). Dengan mandatnya, KKR Aceh mendokumentasikan kesaksian para korban dan keluarganya, serta mendorong proses rekonsiliasi berbasis keadilan. Tujuan yang ingin dicapai ialah mendapatkan pengakuan dan keadilan bagi korban yang selama ini terpinggirnya.
Sementara itu, YARA aktif dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat Aceh yang hak-haknya dilanggar, apakah itu oleh pemerintah maupun pihak swasta (YARA), 2022). YARA juga berperan dalam memperkuat advokasi terhadap kasus-kasus HAM yang masih berlarut-larut, seperti konflik agraria dan pelanggaran terhadap kelompok minoritas. Dengan kegiatan advokasi yang konsisten, YARA memperluas kesadaran masyarakat tentang hak-hak dasar mereka, serta mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan dan menegakkan keadilan bagi semua rakyat Aceh.
Ada beberapa catatan penting terhadap peran CSO dalam advokasi HAM di Aceh. Pertama, advokasi HAM di Aceh menghadapi kendala struktural yang signifikan, terutama dalam hal pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM masa lalu, khususnya pada masa konflik. Meskipun KKR Aceh telah memainkan peran penting dalam mendokumentasikan pelanggaran dan memberikan ruang bagi korban untuk bersuara, keberhasilan dalam mencapai keadilan masih terbatas. Ini menunjukkan perlunya dukungan yang lebih kuat dari pemerintah. Di samping itu, ketidaktegasan pemerintah dalam menangani pelanggaran HAM masa lalu sering kali menjadi penghalang bagi proses rekonsiliasi yang berkelan-jutan.
Kedua, meski KKR dan organisasi lain seperti YARA telah berupaya untuk memperjuangkan hak-hak korban, mekanisme implementasi advokasi HAM di lapangan sering kali tersandung oleh birokrasi dan kekuatan politik. Banyak kasus, terutama terkait pelanggaran terhadap kelompok minoritas dan konflik agraria, yang masih berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memadai. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara upaya advokasi yang dilakukan CSO dan tindakan nyata yang diambil oleh institusi negara untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.
Ketiga, keberlanjutan advokasi HAM di Aceh juga bergantung pada dukungan dari masyarakat lokal. Walaupun CSO telah aktif mengedukasi masyarakat tentang hak-hak dasar mereka, tantangan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat tetap ada. Beberapa masyarakat mungkin merasa apatis atau tidak percaya pada proses hukum, terutama jika melihat banyak kasus yang tidak kunjung terselesaikan. Oleh karena itu, CSO perlu lebih fokus pada pendekatan yang memberdayakan masyarakat secara menyeluruh, tidak hanya sebagai penerima bantuan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka sendiri. Keempat, kerja sama antara CSO dengan pemerintah dan institusi internasional sangat diperlukan untuk memperkuat advokasi HAM. Namun, kerja sama ini harus berbasis pada prinsip keadilan yang inklusif, karena terkadang banyak advokasi yang terjebak dalam agenda politik jangka pendek atau terbatas pada proyek-proyek bantuan tertentu. Untuk itu, penting bagi CSO di Aceh untuk terus mengupayakan pengembangan strategi advokasi yang lebih mandiri dan berkelanjutan, tidak hanya bergantung pada bantuan eksternal, tetapi juga mendorong perubahan struktural dalam kebijakan HAM di tingkat lokal dan nasional.
Pelestarian Lingkungan
CSO juga memainkan peran yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan, terutama di tengah maraknya eksploitasi alam yang mengancam keseimbangan ekosistem. Di Indonesia, salah satu CSO yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah WALHI. Sebagai organisasi lingkungan hidup yang telah berdiri sejak tahun 1980, WALHI berfokus pada advokasi kebijakan dan perlindungan hak-hak lingkungan di berbagai daerah, termasuk Aceh (ACEH, 2023).
WALHI hadir sebagai perwakilan suara masyarakat yang terdampak oleh berbagai proyek pembangunan yang tidak berkelanjutan. Melalui kampanye, penelitian, dan aksi langsung, WALHI berupaya untuk menekan kebijakan yang merusak lingkungan, seperti deforestasi, tambang yang tidak bertanggungjawab, dan konversi lahan untuk perkebunan skala besar. Selain itu, WALHI juga terlibat dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, memperkuat kapasitas masyarakat lokal dalam melindungi sumber daya alam mereka, serta mendesak pemerintah dan perusahaan untuk bertindak sesuai prinsip keberlanjutan.
Di Aceh, WALHI memiliki kontribusi besar dalam menjaga kelestarian hutan dan kawasan ekosistem Leuser, yang merupakan salah satu paru-paru dunia. Mereka aktif memantau aktivitas-aktivitas yang mengancam kelestarian kawasan ini, seperti pembukaan lahan ilegal dan perburuan satwa liar. Dengan menempuh jalur advokasi hukum, WALHI tak jarang membawa kasus-kasus pelanggaran lingkungan ini ke meja hijau, serta menggalang dukungan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian alam. Melalui kerja keras dan dedikasi, WALHI dan CSO lainnya membantu memastikan bahwa alam tidak hanya diperlakukan sebagai sumber daya ekonomi semata, tetapi juga sebagai warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Selain WALHI, ada juga PPL yang juga merupakan CSO yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam melestarikan lingkungan, khususnya ekosistem Leuser (Leuser, 2024). PPL menjalankan berbagai program yang melibatkan edukasi masyarakat, konservasi hutan, penghijauan, serta kampanye pengurangan sampah plastik. Organisasi ini juga mengangkat peran perempuan sebagai agen perubahan dalam perlindungan alam, memberdayakan perempuan di komunitas lokal untuk menjadi pemimpin dalam gerakan peduli lingkungan.
Peran CSO seperti WALHI dan PPL sangat signifikan dalam menjaga kelestarian lingkungan di tengah ancaman eksploitasi alam yang semakin marak. Namun, untuk mencapai dampak yang lebih luas, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, efektivitas advokasi lingkungan sering kali terhambat oleh kuatnya kepentingan ekonomi dan politik yang mendukung eksploitasi sumber daya alam. Banyak proyek pembangunan besar, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan atau tambang, memiliki dukungan dari pihak-pihak berpengaruh yang memandang lingkungan semata sebagai sumber daya ekonomi. Dalam konteks ini, CSO sering kali mengalami tekanan politik, bahkan kriminalisasi, yang mempersempit ruang gerak mereka untuk melakukan advokasi dan aksi langsung. Kedua, walaupun upaya edukasi yang dilakukan oleh CSO seperti PPL sangat penting dalam memberdayakan masyarakat lokal, perubahan perilaku tentu tidak selalu terjadi dalam waktu singkat. Edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, terutama dalam komunitas yang telah lama bergantung pada eksploitasi alam untuk kehidupan ekonomi, memerlukan strategi jangka panjang yang berkesinambungan. Ini mengindikasikan perlunya peningkatan kolaborasi antara CSO, pemerintah, dan sektor swasta. Ketiga, meskipun kampanye konservasi dan advokasi hukum yang dilakukan oleh WALHI di Aceh dan di berbagai wilayah lainnya berhasil membawa beberapa kasus ke pengadilan, keberhasilan dalam menegakkan hukum lingkungan masih terbatas. Oleh karena itu, meskipun CSO seperti WALHI dan PPL memiliki kontribusi yang besar dalam upaya pelestarian lingkungan, tantangan struktural yang ada mengharuskan adanya pendekatan yang lebih holistik. Dukungan dari masyarakat, pemerintah yang tegas dalam melindungi lingkungan, dan perubahan paradigma pem-bangunan yang lebih berkelanjutan adalah elemen-elemen penting yang harus terus diperjuangkan untuk memastikan bahwa upaya pelestarian alam tidak berhenti pada level advokasi, tetapi juga tercermin dalam kebijakan dan praktik nyata.
Mengawal Aspirasi Masyarakat dalam Kebijakan Pemerintah
Salah satu peran penting CSO bagi pembangunan dan kebijakan suatu daerah ialah menjadi gerakan penyeimbang pemerintah dalam menjalankan program pembangunan yang berkelanjutan (Mahardhani, Sulton, & Sumarto, 2020). CSO ikut serta menciptakan penegakan hukum yang efektif demi melindungi kepentingan masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah (Harja et al., 2021). Dalam hal ini, CSO merepresentasikan kepentingan masyarakat sipil untuk meraih Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Sustainabe Development Goals (SDGs) (Nauval, 2023). Salah satu usaha yang dilakukan CSO di Aceh untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs ialah melalui koordinasi antar CSO dengan Bappeda Aceh. Melalui koordinasi ini, diharapkan memingkatkan beberapa dampak positif seperti peningkatan dokumentasi dan pelaporan, sinergi program, meningkatnya partisipasi masyarakat dan advokasi untuk kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas (Nauval, 2023).
CSO memiliki potensi besar untuk mengawal perbaikan mekanisme akuntabilitas pemerintahan (Setiyono, 2010). Dalam konteks ini, CSO dapat berperan untuk mengawasi setiap penyelewengan di sektor pemerintahan, serta menjadi pendukung kelancaran bagi terbentuknya pemerintahan yang baik. Hal ini dilakukan CSO melalui kerja sama dengan jurnalis untuk mengawal transparansi pemerintahan di Aceh, termasuk usaha untuk mengungkap skandal korupsi melalu laporan investigatif dan kampanye publik (Fajri, 2024).
Berdasarkan uraian sebelumnya, peran CSO dalam pembangunan daerah dan kebijakan publik, khususnya di Aceh, memang sangat signifikan. Mereka tidak hanya bertin-dak sebagai penjaga moral dan hukum dalam memastikan akuntabilitas pemerintah, tetapi juga sebagai penggerak dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang lebih besar, seperti SDGs. Namun, peran penting ini tidak terlepas dari tantangan yang dihadapi. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana CSO di Aceh mampu benar-benar mengimbangi kekuasaan pemerintah tanpa tergelincir dalam permainan politik praktis. Meskipun mereka mengad-vokasi kepentingan masyarakat, CSO juga perlu menjaga independensi agar tidak menjadi alat bagi kepentingan tertentu, baik politik maupun ekonomi.
Selain itu, efektivitas CSO sering kali bergantung pada sinergi dengan berbagai pihak, seperti Bappeda dan media. Namun, kolaborasi ini tidak selalu berjalan mulus. Tantangan seperti keterbatasan dana, sumber daya manusia yang mumpuni, dan resistensi dari pihak pemerintah atau aktor-aktor lain yang terlibat dalam korupsi menjadi hambatan besar. Di sisi lain, koordinasi antar-CSO juga perlu lebih intensif dan terarah agar mereka tidak saling tumpang tindih dalam menjalankan program-programnya. Perlu ada kejelasan dalam pembagian peran dan misi agar dampaknya dapat dirasakan secara lebih maksimal oleh masyarakat, terutama bagi kelompok rentan yang sering kali terpinggirkan.
Simpulan
Peran dan kontribusi CSO di Aceh sangatlah penting dalam berbagai sektor, mulai dari pemberdayaan ekonomi, advokasi hak asasi manusia, pelestarian lingkungan, hingga mengawal aspirasi masyarakat dalam kebijakan pemerintah. Meski demikian, tantangan yang dihadapi oleh CSO tidaklah mudah. Mereka harus berhadapan dengan kendala politik, birokrasi, dan struktural yang sering kali menghambat efektivitas program dan advokasi yang mereka jalankan.
Namun, di tengah segala tantangan tersebut, CSO tetap menjadi agen perubahan yang terus berupaya menciptakan dampak positif bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan sinergi antara CSO, pemerintah, dan masyarakat guna memperkuat peran CSO dalam merespons dinamika sosial yang terus berkembang di Aceh. Keberlanjutan peran CSO ini juga bergantung pada dukungan yang lebih luas, baik dalam hal sumber daya, kebijakan, maupun kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik.
Redaksi; Artikel ini telah publis pertama sekali dalam buku “Aceh 20205; Tantangan Masyarakat Sipil” Terbitan Bandar Publishing di Aceh. Anda bisa mendapatkannya melalui tautan; https://bandarpublishing.com/produk/aceh-2025-tantangan-masyarakat-sipil/
Daftar Pustaka
(YARA), Y. A. M. A. (2022). Profil Yayasan Advokasi Rakyat Aceh. Retrieved from yara.or.id website: https://yara.or.id/profil/
Aceh, F. (2021). Profil Flower Aceh. Retrieved from Flower Aceh website: https://www.floweraceh.or.id/profil/
Aceh, K. (2024). Visi & Misi. Retrieved from KKR Aceh website: https://kkr.acehprov.go.id/halaman/visi-misi
ACEH, W. (2023). Profil WALHI Aceh. Retrieved from walhiaceh.or.id website: https://walhiaceh.or.id/blog/
Aswidah, R., Djafar, W., & Zakaria, S. (2019). Pengembangan Kelembagaan KKR Aceh: Dari Langkah Taktis Menuju Langkah Strategis. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Retrieved from https://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=fstream-pdf&fid=703&bid=15383
Bank, A. D. (2008). Civil Society Organization. Mandaluyong City: Asian Development Bank. Retrieved from https://www.adb.org/sites/default/files/institutional-document/32629/files/cso-staff-guide.pdf#page=6.10
Fajri, R. (2024). Kolaborasi Jurnalis-CSO Penting untuk Berantas Korupsi di Aceh. Retrieved from antaranews.com website: https://kalbar.antaranews.com/berita/598159/kolaborasi-jurnalis-cso-penting-untuk-berantas-korupsi-di-aceh
Harja, I. T., Ramdlaningrum, H., Ningrum, D. R., & Aidha, C. N. (2021). Tata Kelola Civil Society Organization (CSOs) dan Demokrasi Substantif di Indonesia. Jakarta Selatan. Retrieved from https://theprakarsa.org/tata-kelola-civil-society-organizations-csos-dan-demokrasi-substansif-di-indonesia/
Leuser, P. P. (2024). Kenal Kami Lebih Dekat. Retrieved from perempuanleuser.com website: https://perempuanleuser.com/siapa-kami/
Mahardhani, A. J., Sulton, & Sumarto. (2020). peran civil society organization (CSO) dalam perumusan kebijakan publik (kajian di kabupaten ponorogo). Journal of Public Society Sector Innovation, 4(2), 59–62.
Nauval, C. (2023). peran CSO di aceh dalam pencapaian SDGs perlu terdokumentasi optimal. Retrieved from WaspadaAceh.com website: https://waspadaaceh.com/peran-cso-di-aceh-dalam-pencapaian-sdgs-perlu-terdokumentasikan-optimal/
Setiyono, B. (2010). korupsi, transisi demokrasi & peran organisasi civil society (CSO): Sebuah Tinjauan teoritis. Politika, 1(1), 5–16.
Swadaya, Bi. (2024). Peran CSO dalam Meperkuat Ekonomi Kerakyatan. Retrieved from binaswadaya.org website: https://binaswadaya.org/peran-cso-dalam-memperkuat-ekonomi-kerakyatan/
Tjoetra, A. (2016). Tranformasi Organisasi Masyarakat Sipil Aceh Pasca MOU Helsinki. Community, 2(3), 270–285.
Tjoetra, A., & Askandar, K. (n.d.). Peran OMS dalam Pembangunan Perdamaian Aceh. Retrieved from academia.edu website: https://www.academia.edu/31888864/Peran_OMS_dalam_Pembangunan_Perdamaian_Aceh_Afrizal_Tjoetra1_dan_Kamarulzaman_Askandar2
Arizul Suwar. Lahir di Paya Luah, 18 Juni 1998, merupakan Alumnus S2 Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh prodi Pendidikan Agama Islam, meminati studi dan penelitian tentang pendidikan dan kemanusiaan (humanities), dan aktif sebagai penulis lepas. Penulis beralamat di Desa Paya Luah Kec. Woyla, Kab. Aceh Barat. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: arizulmbo@gmail.com