SAGOETV | BANDA ACEH – Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Adli Abdullah, baru-baru ini kembali dari sebuah forum internasional yang membahas perikanan skala kecil (small-scale fisheries) di Srilangka,. Forum tersebut diselenggarakan oleh International Collective Support Office Worker, bekerja sama dengan Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO).
Forum ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai negara, termasuk Eropa, Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Mereka membahas penyusunan Guidelines for Small-Scale Fisheries, yaitu pedoman global yang bertujuan melindungi dan memperkuat posisi nelayan kecil di seluruh dunia. Diketahui bahwa lebih dari 90 persen sumber daya perikanan dunia dikelola oleh nelayan skala kecil.
Dalam forum tersebut, Adli hadir sebagai ilmuwan dari USK dan juga sebagai penasihat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ia dikenal aktif dalam isu-isu kelautan sejak bergabung dengan organisasi Panglima Laut. Bersama sejumlah tokoh seperti Khalid Muhammad (WALHI), Riza Adamik, dan Zen Bazeber, Adli ikut menyuarakan kepentingan nelayan kecil di Indonesia.
“Nelayan skala kecil ini bukan semata-mata mencari untung, tetapi untuk penghidupan keluarga mereka. Karena itu, kebijakan negara harus pro terhadap kelompok ini,” ujar Adli dalam Podcast Sagoetv ditayangkan, Rabu, (09/04/2025).
Ia turut menyampaikan berbagai isu aktual yang dihadapi nelayan kecil Indonesia, mulai dari minimnya jaminan sosial, sulitnya akses pendidikan, hingga penangkapan nelayan di wilayah perbatasan. Salah satu isu yang diangkat adalah permasalahan nelayan Aceh yang tertangkap di wilayah perairan India, khususnya di sekitar Kepulauan Andaman dan Nikobar.
Dalam sesi khusus mengenai trans-border fisheries, Adli menyoroti pentingnya pendekatan kemanusiaan terhadap nelayan Aceh yang memasuki wilayah India, bukan semata diperlakukan sebagai pelanggar hukum.
“Wilayah Aceh sangat dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar. Nelayan kita ke sana hanya butuh sehari perjalanan laut, sementara mereka ke daratan India butuh tiga hari. Kedekatan geografis dan sejarah budaya seharusnya menjadi dasar pendekatan kemanusiaan,” jelas Adli.
Dalam diskusi, Adli mendorong agar Pemerintah Aceh proaktif menjalin komunikasi diplomatik dengan otoritas India. Ia mengusulkan pendekatan people to people, kerja sama antara organisasi nelayan Aceh dan masyarakat nelayan di Andaman. Selain itu, pendekatan state to state (provinsi dengan provinsi), serta inisiasi bilateral antar negara juga perlu dilakukan.
“Pemerintah Aceh bisa mendekati Dubes India di Jakarta, lalu difasilitasi ke Kementerian Dalam Negeri India. Karena wilayah Andaman dan Nikobar adalah wilayah persatuan India yang langsung berada di bawah pemerintah pusat, bukan negara bagian seperti Tamil Nadu atau Kerala,” ujarnya.
Adli berharap inisiatif ini bisa mengurangi kasus penangkapan nelayan Aceh di wilayah India dan mencegah mereka harus mendekam di penjara bertahun-tahun hanya karena pelanggaran batas laut yang tidak disengaja.
“Jangan baru ramai-ramai di bandara ketika memulangkan nelayan setelah ditahan bertahun-tahun. Kita harus mulai bergerak sekarang, sebelum masalah terjadi. Mari lindungi nelayan kecil kita,” pungkasnya. []