Ada keinginan untuk melakukan revisi terhadap UUPA yang sekarang sudah memasuki proses di legislatif –program legislasi nasional. Jika ditilik lebih dalam, bahkan belum semua isinya dilaksanakan. Malah sejumlah pasal sudah diajukan yudisial review di Mahkamah Konstitusi dan dicabut (lihat misalnya opini Mawardi Ismail, “Menyelamatkan UUPA, Bagaimana Caranya?” Serambi, 6/10/2016).
Keinginan revisi bukan tanpa risiko. Proses politik di ruang politik gencar dengan tulak-tarek. Jangan sampai saat ingin memasukkan sesuatu yang masih kurang, justru kelebihan di dalamnya yang akan keluar dan tergerus. Ibarat burung dan sangkar, jangan-jangan justru burung di dalam yang banyak keluar sangkar (“Pertaruhan UUPA” (Serambi, 27/02/2020).
Lantas mengapa belum semua peraturan pelaksana tuntas? Pertanyaan ini penting sekaligus strategis. Sejumlah tim advokasi dibentuk, baik oleh legislatif maupun eksekutif. Masing-masing memiliki tim. Pusat dan daerah juga memiliki tim lain lagi. DPR RI secara khusus memiliki unit untuk melihat implementasi UUPA dan otonomi khusus.
Walau dengan banyak tim, pertanyaan mengapa belum tuntas, tidak mudah juga dijawab. Secara politis, mungkin realitas tulak-tarek tidak terhindarkan. Sedangkan secara akademis, proses pemahaman dan pemaknaan menjadi dasar dalam pembentukan regulasi pelaksana.
Dalam hukum, semuanya tidak terlepas dari bagaimana orang membaca teks undang-undang. Berdasar itu akan muncul pemahaman –yang sekali lagi biasanya sangat beragam. Berbasis pada pemahaman, langkah untuk implementasi diambil.
Ada satu catatan saya yang penting, bahwa UUPA itu sebagai undang-undang yang mendapat perhatian khusus. Sejak dari proses pembentukan hingga pelaksanaan. Lantas bagaimana dengan undang-undang yang tidak seseksi dengan UUPA ini?
Ceritanya akan lain dengan proses advokasi yang bisa berbeda. Zaman juga berubah dengan cepat. Respons publik terhadap UUPA di awal, misalnya, setelah tsunami, terkait rasa simpati dan empati. Kondisi ini belum tentu akan didapat dengan keadaan yang sama. Kondisi tersebut harus dipahami oleh para pengambil kebijakan eksekutif dan legislatif di Aceh.
Publikasi artikel ini kolaborasi SAGOETV.com dengan SulaimanTripa.com