Oleh: Mukhtaruddin Yakob
Dengan adanya tradisi rukok linto, bukan tidak mungkin angka perokok anak-anak dan remaja akan terus bertambah, terutama di Aceh.
Tanggal 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia/HTTS, demikian juga dengan tahun 2025. Namun, peringatan HTTS sekadar peringatan tanpa terjadi perubahan besar pada misi pengendalian tembakau untuk mewujudkan masyarakat dunia yang sehat. Lalu, bagaimana dengan Indonesia, khususnya Aceh?
Setelah ada beberapa terobosan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dilahirkan melalui Qanun di provinsi dan sejumlah kabupaten dan kota, persoalan tembakau khususnya rokok tetap jadi masalah besar. Bahkan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan bebas rokok kerap dilanggar, bukan saja oleh warga tapi oleh pengabdi negara atau ASN bahkan penegak hukum sekalipun.
Sudah banyak kasus yang ditimbulkan akibat rokok. Bukan saja munculnya berbagai penyakit, tapi juga kebakaran. Yang paling anyar kebakaran gudang sekolah yang diduga karena puntung rokok yang masih menyala, meskipun masih harus dibuktikan. [Serambi Indonesia, 22 Mei 2022]
Rokok bagi masyarakat Indonesia termasuk Aceh nyaris menjadi kebutuhan wajib sebagian kalangan, terutama kelas menengah ke bawah. Miris, jika ada ungkapan: “lebih baik tidak makan daripada tidak merokok” itulah kenyataan di kalangan masyarakat kita.
Rokok dengan berbagai perniknya telah meracuni semua kalangan di Indonesia termasuk Aceh. Warung kopi dan kafe akan terasa hambar jika tanpa rokok. Demikian juga pergaulan generasi milenial juga dipenuhi dengan rokok.
Pesta perkawinan atau kenduri pun sarat dengan rokok. Tuan rumah terasa aneh jika tidak menyediakan rokok untuk warga terutama yang membantu tugasnya saat kenduri, sampai-sampai ada istilah peng rukok.
Rukok Linto
Istilah peng rukok sudah banyak dikenal masyarakat. Fenomena ini ada di berbagai lini pekerjaan, mulai pekerja kasar hingga bisnis proyek atau sekadar basa-basi sesama teman. Namun, di beberapa daerah mengenal istilah rukok linto, yakni sumbangan rokok bagi pengantin pria yang menikahi gadis sebuah gampong atau desa.
Rukok linto dibebankan sekali setahun untuk mempelai pria yang meminang gadis sebuah desa. Di Kota Banda Aceh juga diberlakukan rukok linto yang dibagikan setiap malam lebaran Idulfitri.
Saat itu, sumbangan rokok dan beberapa pengantin pria dikumpulkan lalu dibagikan kepada warga terutama yang berada di meunasah atau langgar seusai melantunkan takbir lebaran. Maka, maaf jika yang jarang berjemaah di meunasah pun ikut hadir menanti rukok linto. Mirisnya yang mendapatkan rukok linto kebanyakan remaja bahkan anak-anak. Mirisnya lagi, mereka lalu menjual rukok linto ke kios atau perokok lainnya.
Fenomena rukok linto terjadi di Banda Aceh yang notabenenya kota terpelajar. Seharusnya, jika banyak orang yang berpendidikan, paparan rokok justru berkurang. Apalagi Kota Banda Aceh menjadi daerah tingkat dua atau kota yang melahirkan Qanun KTR setelah ditelikung Aceh Barat melalui Peraturan Bupati (Perbup) yang kemudian dijadikan dasar Qanun KTR.
Sebenarnya telah banyak gebrakan untuk menyukseskan KTR dan mengawasi penerapan KTR. Selain merangkul berbagai pihak termasuk remaja, Pemko Banda Aceh pernah beberapa kali menggelar sidang di tempat bagi pelanggar KTR, terutama yang merokok dalam KTR.
Prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat, baik dari jumlah perokok maupun sisi usia perokok. Data Riskesdas (2023) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah perokok generasi muda. Perokok usia 10-18 tahun mencapai 9.1%, atau naik 0,3% dari tahun 2016. Prevalensi merokok sesuai jenis kelamin adalah prevalensi jenis kelamin laki-laki lebih besar sekitar 62,9% daripada perempuan sekitar 4,8%. Tentu angka kenaikan ini tidak kecil karena terkait dengan masalah kesehatan yang harus dialami oleh anak remaja tersebut ke depannya. Kondisi ini sungguh tidak baik bagi masa depan mereka.
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sementara itu, data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%). [sehatnegeriku.kemkes.go.id, 29 Mei 2024]
Dengan adanya tradisi rukok linto, bukan tidak mungkin angka perokok anak-anak dan remaja akan terus bertambah, terutama di Aceh. Oleh karenanya, perlu tanggung jawab semua pihak mengurangi kebiasaan yang tidak baik yang tidak mendatangkan manfaat, tapi justru menghadirkan muzarat. []
Penulis adalah jurnalis dan anggota komunitas Center for Tobacco Control Studies (CTCS) Banda Aceh