Oleh: Sahlan Hanafiah.
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar Raniry.
Siapa menjabat di mana adalah pertanyaan favorit sebagian besar masyarakat kita. Pertanyaannya memang tidak persis sama, bisa saja bervariasi. Misalnya, masyarakat suka bertanya siapa yang akan diangkat, ditunjuk, dipilih atau dilantik pada posisi tertentu dalam jabatan publik, baik itu di level nasional, provinsi, kabupaten/kota, bahkan kecamatan dan desa.
Masyarakat mampu membahas pertanyaan tersebut berminggu-minggu di warung kopi, tempat-tempat keramaian, dan media sosial, tanpa merasa jenuh dan bosan. Puncak rasa ingin tahu berkurang ketika sosok yang menduduki jabatan tertentu telah dilantik.
Mengapa rasa ingin tahu terhadap siapa yang akan menduduki jabatan publik sangat tinggi dalam masyarakat kita? Jawabannya tentu bukan karena masyarakat ingin memantau kualitas kinerja pejabat selama menduduki jabatan, melainkan hendak memastikan apakah mereka memiliki akses terhadap pejabat tersebut setelah dilantik.
Bagi masyarakat, terutama yang memiliki kepentingan langsung atau sering berurusan dengan lembaga publik, akses adalah kunci jika ingin urusannya lancar. Dengan berasumsi, jika pejabat publik yang menduduki jabatan strategis dikenal dan dapat diakses, maka segala urusan akan menjadi lebih mudah.
Kata akses yang sudah sangat sering diucap dan akrab ditelinga, dalam konteks pelayanan publik, memiliki arti tersendiri, tidak sekedar dapat masuk ke kantor, melainkan lebih dari itu, yaitu dapat berkomunikasi langsung, melakukan lobi, kompromi, membujuk, memohon agar mendapat perlakuan istimewa ketika berurusan.
Selain kata akses, masyarakat sering juga menggunakan kata koneksi, kontak dan jaringan. Tiga kata tersebut lebih kurang memiliki makna yang sama, bertujuan mencari penghubung sehingga dapat terhubung dengan pihak-pihak yang bekerja di dalam lembaga publik tersebut atau disebut awak dalam (orang dalam).
Jika tidak ada satupun yang dikenal, maka masyarakat mengekspresikan kekecewaannya dengan kata-kata seperti; ”hana taturi meusidroe” (tidak ada satupun yang kita kenal), “hana koneksi u dalam” (tidak ada koneksi ke dalam) atau ”hana pat tapeugah hai” (tidak ada orang yang dapat kita kasih tahu).
Fenomena ini lazim terjadi di hampir semua sektor, mulai dari politik, ekonomi, pemerintahan, kesehatan, hingga sektor pendidikan. Gambaran di sektor politik dan ekonomi dapat dibaca dari artikel hasil penelitian Edward Aspinall (2009), Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh.
Dalam artikel tersebut, Aspinall menggambarkan dunia konstruksi yang melibatkan mantan kombatan di Aceh, bagaimana susah senang mantan kombatan mendapatkan pekerjaan konstruksi, yang sekarang lebih popular dengan istilah proyek. Aspinall, dalam artikelnya juga menjelaskan mengapa dunia proyek yang umumnya dipilih oleh mantan kombatan, bukan sektor lain.
Sementara dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada saat pendaftaran siswa atau mahasiswa baru, khususnya di lembaga pendidikan favorit. Saat di mana orang tua sibuk mencari akses, kontak, koneksi, atau jaringan sehingga dapat terhubung dengan penentu kebijakan yang dapat mempengaruhi, membantu meluluskan anak, ponakan atau anak dari saudara dekatnya ke sekolah-sekolah pilihan.
Begitu pula, praktek mencari akses, koneksi, kontak atau jaringan juga terjadi di wilayah kesehatan. “Soena muturi di rumoh saket” (Siapa yang kita kenal di rumah sakit) adalah pertanyaan spontan yang muncul ketika sanak keluarga mengalami masalah kesehatan dan harus di rawat di rumah sakit.
Mengapa praktik-praktik seperti itu terjadi dalam masyarakat kita? Salah satu jawaban umum yang sering diberikan adalah karena kualitas pelayanan publik kita masih sangat rendah.
Namun para ilmuan sosial melihat, memperbaiki kualitas pelayanan publik saja tidak cukup dan tidak akan menjawab persoalan. Mereka melihat, masalahnya terletak pada sistem, struktur, dan budaya patrimonialisme dan klientelisme yang telah mengakar kuat, khususnya dalam politik dan tatanan pemerintahan.
Politik patrimonialisme dan klientelisme yang saat ini dipraktekkan secara massif telah meracuni mentalitas masyarakat secara keseluruhan dalam berinteraksi.
Salah satu ciri politik patrimonial adalah kekuasaan dan keputusan terletak di tangan pejabat, bukan berdasarkan aturan atau sistem yang telah diatur.
Karena itu, masyarakat memandang, kenal atau dekat dengan seorang pejabat di lembaga publik tertentu sangatlah penting dan menentukan kehidupan mereka.
Sementara klientelisme adalah praktis yang dalam tulisan saya sebelumnya diistilahkan dengan ”natulak natarek”. Yaitu praktik mengambil keuntungan ekonomi atau bentuk lain dalam politik elektoral.
Contoh sederhana, politisi memberikan sesesuatu kepala pemilih dengan harapan mendapat suara. Sebaliknya, pemilih memberikan suaranya kepada politisi tertentu dengan harapan mendapat imbalan. Praktik klientelisme saat ini tentu sangat canggih dan beragam.
Situasi semakin akut ketika tingkat literasi dan daya kritis masyarakat sangat rendah. Situasi tersebut membuat masyarakat tidak berdaya menempuh jalur formal, mengikuti aturan yang berlaku.
Masyarakat dengan tingkat literasi rendah lebih memilih jalur-jalur informal, melalui pintu belakang, melakukan kompromi dan deal dengan cara traksaksional. Meskipun harus mengeluarkan biaya, mereka memandang cara tersebut lebih cepat dan tidak rumit.
Barangkali sebagian masyarakat telah terbiasa dan tidak merasa terganggu dengan sistem patrimonial dan klientelisme yang berlaku saat ini. Kalimat seperti, “chit ka lagenyan, soe yang duk di sinan, jih yang mat kuasa” (ya memang seperti itu, siapa yang menjabat, maka dia yang berkuasa). Namun disadari atau tidak, sistem tersebut telah mencederai rasa keadilan masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga publik.
Sistem tersebut juga menguras energi masyarakat, di mana masyarakat selalu dalam posisi harus memastikan memiliki akses ke lembaga publik jika ingin kebutuhan hidupnya terjamin.
Akibatnya, masyarakat menjadi sangat politis dan pragmatis dalam arti negatif. Artinya, sistem tersebut menempatkan masyarakat dalam posisi bertarung satu sama lain dalam mencari pengaruh dan sandaran dalam arena publik. Padahal semua masyarakat memiliki hak mendapatkan pelayanan yang sama tanpa perlu melobi pejabat publik.
Aceh sebenarnya memiliki kesempatan membangun sistem politik yang bersih dari intrik dan transaksi, di luar sistem politik patrimonialisme dan klientelisme. Dengan kewenangan yang luas, pengalaman elit Aceh menetap puluhan tahun di negara maju, dan kehadiran partai politik lokal, kesempatan membangun sistem baru yang tidak bergantung pada sosok siapa yang menjabat sangat terbuka lebar.
Namun sayangnya kesempatan tersebut tidak diambil, terutama pada fase awal paska perjanjian Helsinki, saat spririt perjuangan masih membara, saat Aceh maju bermartabat masih menjadi slogan kampanye. Sekarang kelihatannya sudah agak terlambat, karena sebagian besar telah merasakan nikmatnya demokrasi patrimonial, sebuah sistem yang menempatkan pejabat sebagai panglima.