Oleh: Abdul Rani Adnan, S.Sos.I, MA
Kepala Seksi Pembinaan Lembaga Keagamaan DSI Aceh
Aceh merupakan daerah yang kental pengamalan nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai hukum adat serta nilai-nilai dinul Islam secara komprehensif dalam segala aspek kehidupan sebagaimana hadih maja “adat ngon hukum lage zat ngon sifeut”.
Pengamalan nilai-nilai dinul Islam diatur dalam Undang Undang Nomor 44 tahun 1999 Tentang penyelengggaraan keistimewaan Aceh, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang (UUPA) Pemerintahan Aceh, Perda Nomor 05 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
Sedangkan pengamalan nilai-nilai adat dan adat istiadat berada dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Lembaga Adat sedangkan apabila suatu adat dilengkapi dengan sanksi adat maka hal tersebut dinamakan dengan Hukum Adat.
Adat merupakan sesuatu yang tertulis ataupun tak tertulis yang menjadi pedoman dalam masyarakat Aceh, dalam masyarakat Aceh adat maupun hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam, sesuatu yang telah diputuskan oleh para pemimpin dan ahli haruslah seirama dengan ketentuan syariat, jika ada yang melanggar maka akan di kenakan sangsi, jika adat ini bertentangan dengan hukum syariat maka hukum adat itu akan dihapuskan, inilah bukti bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Dalam tatanan lembaga adat di Aceh, Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga tertinggi keistimewaan Aceh yang bersifat otonom dan independen serta sebagai mitra Pemerintah dalam penyelenggaraan kehidupan adat dan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Aceh dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Aceh.
Adapun lembaga-lembaga adat dan adat istiadat di Aceh adalah Majelis Adat Aceh(MAA), Imeum Mukim, Imeum Chiek, Tuha Peut, Tuha Lapan, Geuchik, Syahbanda, Keujruen Blang, Panglima Laot, Panglima Uteun, Pawang Glee, Peutuwa Sineubok dan Harian Peukan, semua lembaga-lembaga tersebut mempunyai peran, tugas dan fungsi masing-masing dalam penyelenggaraan adat dan adat istiadat di Aceh sebagai amanah indatu.
Ada dua adat dan hukum adat yang sangat kuat dan kental di Aceh sampai hari ini adalah penyelenggaraan adat dan hukum adat meulaot dan adat meuuteun kesemuanya di atur dalam qanun Aceh nomor 10 Tahun 2008
Pertama Adat Meulaot (Panglima laot) adalah pemuka adat atau orang yang dipilih untuk memimpin atau mengatur adat dan adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan, diantara tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan kawasan pantai dan laut, menyelesaikan perselisihan/persengketaan yang terjadi antara nelayan setempat dengan nelayan luar, mengupayakan bantuan dari luar untuk nelayan di wilayahnya, menegakkan aturan/adat laut yang sudah disepakati bersama-bersama masyarakat.
Dalam tatanan kehidupan adat melaut unsur terpenting adalah sosok pawang laot, pawang laot adalah orang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang kelautan seperti hal-hal berkaitan dengan wilayah batas penangkapan ikan, kondisi cuaca ekstrem dan hari pantang melaut, pawang laot tunduk dan patuh aturan adat istiadat yang telah disahkan Panglima Laot selaku penanggungjawab penuh yang berkaitan dengan hukum adat melaut.
Bagi yang melanggar adat dan hukum adat melaut seperti larangan melaut hari jum’at, larangan melaut hari raya idul fitri dan idul adha, larangan melaut hari kenduri laut, larangan melaut pada hari 17 agustus, larangan melaut pada hari tanggal 26 Desember (hari Tsunami) maka akan dikenakan sanksi adat berupa penahanan bot minimal 3 hari, semua hasil tangkapan di sita oleh panglima laot untuk keperluan lembaga adat laot.
Kedua Adat Meuuteun (Panglima Uteun) merupakan pihak yang memiliki otoritas menegakkan norma-norma adat dalam mengelola hutan, Lebaga Adat Pawang Uteun/Panglima Uteun adalah Lembaga Adat yang mengatur tentang tatapengelolaan dan pelestarian hutan di Aceh panglima uteun merupakan unsur pemerintahan mukim yang bertanggung jawab kepada Imeum mukim, pada saat ini sudah mulai redup dan tidak maksimal dan butuh sosialisasi kembali oleh pemerintah tentang tugas dan fungsinya serta pentingnya keterlibatan panglima uteun terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan di hutan Aceh.
Panglima Uteun adalah lembaga adat yang memimpin adat uteun, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dibidang uteun, tugas panglima uteun adalah menyelenggarakan adat meuteun, memberi nasihat dalam pengelolaan hutan, nasihat berisikan tatanan normative apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat, melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan kawasan uteun, memungut hasil hutan seperti madu, getah rambong, sarang burung, rotan, damar, menjadi hakim dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi antar warga dalam mencari nafkah uteun, menegakkan aturan/adat yang sudah disepakati bersama-bersama masyarakat.
Adapun larangan adat uteun adalah menebang pohon kira kira 500 meter dari tepi danau atau waduk, menebang pohon 200 meter dari tepi mata air pada daerah rawa, membuat jambo/pondok di lintasan binatang buas dan daerah berbahaya, meneutak parang pada tunggul pohon meu’uk-uk (memanggil manggil) sambil menjerit dalam hutan, teumebang wate pade mirah(menebang pohon kayu ketika padi akan di panen), ceumecah lam ujeun tunjal (menebang semak belukan saat hujan), kesemua ini di atur oleh panglima uteun.
Adapun tugas dan fungsi pawang uteun/glee adalah melakukan perlindungan terhadap sumberdaya hutan, pembukaan kebun di kawasan hutan harus ada persetujuan pawang glee, mengatur waktu pemburuan binatang, menjaga kelestarian padang meurabee, melindungi pohon yang menjadi tempat sarang lebah/madu, melarang dan memberikan sangsi terhadap penebangan liar, menata pohon-pohon di sepanjang tali air, mengkoordinir pemanfaaatan hasil hutan, dan menegakkan aturan/adat yang disepakati bersama masyarakat.
Pawang uteun sangat berperan dalam mengeluarkan instruksi kepada masyarakat agar tidak naik ke rimba di waktu-waktu tertentu, bila tidak diindahkan maka resiko fatal akan terjadi pada masyarakat yang naik rimba maupun masyarakat pesisir pergunungan, pawang uteun merupakan pihak yang memililiki otoritas menegakkan norma-norma adat dalam mengelola hutan di Aceh.
Beda halnya dengan kehadiran pawang hujan baru-baru ini terjadi di balapan Sirkuit Mandalika, pawang hujan menjadi perbincangan sengit dunia pecinta balapan, bahkan mendapat bayaran ratusan juta rupiah, pawang hujan mendadak keluar dan berjalan ke tengah lintasan balap, pawang hujan itu membawa sebuah mangkok berwarna emas, ia juga membawa dupa di tangan kirinya, lalu memutar mutar tongkat kecil di atas cawannya sambil membacakan mantra-mantra yang berusaha membuat cuaca di sirkuit mandalika membaik. Konon katanya panitia balapan sirkuit memberikan amanah kepada pawang hujan untuk bisa membantu kesuksesan MotoGP Mandalika.
Penulis menyarankan kepada pemerintah, lembaga pemerhati dan stakeholders untuk memberikan perhatian kepada panglima laot dan panglima uteun beserta jajarannya yang telah bekerja keras untuk menjaga, melestarikan lingkungan,mereka adalah PAHLAWAN bagi kita, dengan harapan menjadi rujukan bagi peneliti dan para akademisi seluruh dunia.