Oleh: Amalia Khaira
Mahasiswa UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
amelkhaira86@gmail.com
Dalam kehidupan, kita terbiasa melihat kemenangan dan kekalahan sebagai dua hal yang bertentangan. Kita sering menganggap bahwa hanya kemenanganlah yang patut dibanggakan, sementara kekalahan adalah sesuatu yang harus dihindari, bahkan disembunyikan. Namun jika kita menilik lebih dalam, sejatinya kemenangan dan kekalahan bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sisi dari satu perjalanan yang utuh.
Di tengah budaya kompetitif yang semakin mengakar, kita seolah dituntut untuk selalu unggul. Dari bangku sekolah, kita diajarkan bahwa nilai tertinggi adalah lambang kecerdasan, dan juara adalah simbol keberhasilan. Akibatnya, kekalahan sering dianggap sebagai kegagalan mutlak, bukan sebagai pengalaman berharga.
Padahal, dalam perspektif Islam, baik kemenangan maupun kekalahan merupakan bagian dari sunatullah—aturan Allah yang berlaku dalam kehidupan manusia.
Dalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran ayat 140, Allah berfirman: “Jika kamu mendapat luka (dalam Perang Uhud), maka sesungguhnya kaum (kafir) pun telah mendapat luka yang serupa (dalam Perang Badar). Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia, agar mereka mendapat pelajaran…”
Dalam tulisan ini, saya mengutip penjelasan dari Tafsir al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab, sebuah karya yang dikenal dengan pendekatannya yang kontekstual dan sosiologis. Tafsir ini menyoroti makna ayat-ayat Al-Qur’an dalam kaitannya dengan realitas kehidupan modern dan sosial, serta menekankan pentingnya hikmah dan nilai-nilai moral, seperti semangat hidup, optimisme, dan kepercayaan diri.
Gaya bahasa yang digunakan cenderung populer dan naratif, sehingga mudah dicerna oleh masyarakat luas, termasuk oleh mereka yang bukan berlatar belakang keilmuan agama. Tafsir ini menyentuh dimensi emosional dan spiritual, mengajak pembacanya untuk tidak patah semangat ketika menghadapi kegagalan, dan selalu melihat setiap peristiwa dalam hidup sebagai bagian dari ketetapan ilahi yang sarat hikmah.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini mengandung pelajaran tentang dinamika kehidupan, bahwa kemenangan dan kekalahan merupakan dua sisi dari sunnatullah yang silih berganti. Peristiwa Perang Uhud dijadikan sebagai contoh konkret: kekalahan bukanlah pertanda keburukan, melainkan kesempatan untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Dalam ayat tersebut, Allah ingin menguji siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya berpura-pura dalam keimanan. Oleh karena itu, umat Islam diajak untuk tetap tegar dan tidak larut dalam kesedihan, sebab setiap peristiwa memiliki tujuan dan pelajaran yang dikehendaki Allah.
Sebagaimana potongan firman-Nya: “Hari-hari (kejayaan dan keterpurukan) itu Kami pergilirkan di antara manusia.”
Ini merupakan bagian dari sunnatullah, hukum kehidupan yang berlaku atas semua manusia. Ayat ini tidak menyebut pergiliran itu terjadi antara orang mukmin dan kafir, melainkan antar sesama manusia. Maka kemenangan orang kafir bukanlah karena kekufuran mereka, melainkan karena mereka menjalankan sunnatullah—mengikuti hukum-hukum kehidupan yang Allah tetapkan untuk meraih kemenangan.
Artinya, jika ingin meraih kemenangan, berpihaklah kepada Allah, yaitu dengan memihak pada nilai-nilai dan aturan-Nya. Allah tidak memberikan kemenangan kepada siapa pun karena status atau label agamanya semata, melainkan kepada siapa yang berusaha sesuai dengan hukum-hukum yang Dia tetapkan.
Sebagaimana lanjutan potongan firman-Nya: “Dan agar Allah mengetahui siapa di antara kalian yang benar-benar beriman…”
Mengandung makna bahwa ujian berupa kemenangan dan kekalahan perlu terjadi. Sebab, jika orang-orang beriman selalu berada di pihak yang menang, maka semua orang akan berlomba-lomba memihak mereka. Dalam kondisi seperti itu, tidak akan terlihat perbedaan yang jelas antara yang benar-benar beriman dan yang hanya berpura-pura. Bahkan tidak dapat diketahui siapa yang memiliki keteguhan hati dan pendirian yang kuat, serta siapa yang lemah dan mudah goyah.
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup tidak selamanya di atas, dan tidak selamanya di bawah. Allah secara sengaja menggilirkan masa kejayaan dan keterpurukan, agar manusia dapat mengambil pelajaran. Ini adalah siklus hidup yang dirancang bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menguatkan keimanan dan membentuk karakter.
Sebagaimana firman-Nya: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. asy-Syarh [94]: 5-6).
Dalam kehidupan nyata menang bukan hanya soal menjadi yang terbaik, tapi tentang bagaimana kita menjaga diri dari kesombongan. Kalah bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari proses pembelajaran yang lebih dalam. Sayangnya, banyak dari kita justru terbalik dalam memaknai keduanya. Saat menang, kita merasa lebih tinggi dari yang lain. Saat kalah, kita merasa rendah dan malu. Padahal, keduanya bisa menjadi alat untuk mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri.
Mereka yang menang sejati bukanlah mereka yang tak pernah kalah, tapi mereka yang mau belajar dari setiap kegagalan, bangkit, dan terus melangkah. Sebab dalam hidup, kita tidak hanya diuji dengan kekalahan, tapi juga dengan kemenangan. Justru terkadang, ujian terbesar bukan saat kita gagal, tapi ketika kita berhasil—apakah kita mampu tetap rendah hati dan adil?
Menariknya, jika kita mampu melihat kekalahan dengan cara pandang yang lebih luas, kita akan menyadari bahwa justru di sanalah tempat banyak nilai kehidupan dipelajari: keikhlasan, kesabaran, keteguhan hati, dan harapan.
Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai mahasiswa dan generasi muda untuk membentuk pola pikir yang lebih seimbang. Kita harus mulai melepaskan anggapan bahwa kalah bukan berarti tidak layak, dan menang bukan berarti paling hebat. Keduanya adalah bagian dari perjalanan yang mendewasakan.
Kemenangan dan kekalahan adalah guru kehidupan. Yang satu mengajarkan kita semangat dan optimisme, yang satu lagi mengajarkan kita keikhlasan dan keteguhan. Kita butuh keduanya untuk menjadi pribadi yang utuh.
Akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang selalu menang, tetapi tentang siapa yang mampu terus bertahan dan tumbuh, meski pernah jatuh. Karena hidup adalah narasi yang ditulis oleh Tuhan, lengkap dengan suka dan duka, tawa dan tangis, naik dan turun. Tugas kita bukan memilih ingin menang saja atau kalah saja. Tapi belajar dari keduanya, menerima keduanya, dan menjadikannya bekal untuk terus melangkah.
Ada sebuah quotes yang relate dari Ryu Kintaro: “Kalau aku gagal, aku harus bangkit lagi. Dua kali gagal, tiga kali aku harus bangkit. Tiga kali gagal, empat kali aku harus bangkit. Karena bagiku, lebih baik kehilangan masa kecilku daripada kehilangan masa depanku.” []



















