Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Muhammad Jusuf Kalla, guna membahas revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Revisi ini diarahkan untuk memperkuat kewenangan otonomi khusus Aceh, menyesuaikan dengan regulasi nasional, sekaligus memastikan semangat perdamaian MoU Helsinki tetap terjaga.
Membuka rapat tersebut, Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menjelaskan bahwa revisi UU Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sejumlah pasal, serta penyelarasan dengan berbagai regulasi nasional seperti UU Pemerintahan Daerah, UU Pemilu, dan UU Desa.
“Pemerintahan Aceh merupakan bentuk otonomi khusus sebagai wujud pengakuan atas kekhususan sejarah, budaya, dan aspirasi politik masyarakat Aceh. Revisi ini mencerminkan komitmen negara dalam melindungi dan memajukan kesejahteraan masyarakat Aceh, serta menjaga perdamaian yang telah dicapai melalui MoU Helsinki,” jelas Bob Hasan di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Bob menekankan bahwa revisi UU harus mampu memperkuat kewenangan Pemerintahan Aceh dan mencerminkan butir-butir penting dalam MoU Helsinki.
“Poin-poin MoU mencakup pengakuan kekhususan Aceh, pembentukan pemerintahan Aceh, partai politik lokal, pemilu dan demokrasi, pengelolaan sumber daya alam, hak asasi manusia, amnesti dan reintegrasi, serta dana otonomi khusus,” papar Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
Menurut Bob, revisi ini diharapkan dapat menjadi instrumen hukum yang memastikan implementasi penuh semangat perdamaian dan keadilan.
“Kami memerlukan masukan pandangan dari Bapak Haji Muhammad Jusuf Kalla terhadap substansi pengaturan agar RUU ini benar-benar mencerminkan semangat perdamaian MoU Helsinki dan kebutuhan masyarakat Aceh secara adil dan konstitusional,” tegasnya.
Bob Hasan juga menyoroti pentingnya memasukkan aspek filosofis dalam pembahasan revisi.
“Saya ingin hal ini lebih banyak ditarik dalam hal filosofisnya, semangat sebagai abstraksi dan inspirasi, agar betul-betul poin-poin tentang sumber daya alam, otonomi khusus, partai politik, dan penyesuaian kelembagaan dapat tercermin,” ujarnya.
Selain itu, Bob menegaskan bahwa revisi UU harus memberikan kepastian hukum dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam, pembagian dana otonomi khusus, serta peran partai politik lokal dalam sistem demokrasi di Aceh. Penyesuaian kelembagaan dan qanun daerah juga menjadi salah satu fokus agar tetap selaras dengan peraturan perundang-undangan nasional.
“Secara keseluruhan, revisi ini adalah langkah strategis untuk memperkuat otonomi khusus Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan, kepastian hukum, dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal,” ujar Bob Hasan.
Ketua Baleg DPR RI itu menegaskan pentingnya revisi UU Pemerintahan Aceh sebagai langkah pembaruan regulasi setelah lebih dari 20 tahun diberlakukan. “Revisi ini kita lakukan karena sudah saatnya melakukan updating perjalanan-perjalanan, terutama terkait dana Otonomi Khusus (Otsus) yang 20 tahun sekali perlu perbaikan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa RDPU yang digelar Baleg DPR RI tersebut membahas evaluasi pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh sekaligus menggali pengalaman dan pandangan Jusuf Kalla mengenai proses perdamaian Aceh yang menghasilkan Perjanjian Helsinki. Baleg berkomitmen agar revisi UU ini tetap selaras dengan semangat perjanjian damai, sekaligus menjawab kebutuhan aktual di bidang tata kelola pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Kata Bob Hasan, revisi yang akan dilakukan mencakup sejumlah ketentuan penting. “Yang kita revisi itu banyak tentang dana, partai politik, tentang luasan areal, batas zona, dan sebagainya.”
Meski demikian, ia menegaskan revisi UU Pemerintahan Aceh tidak akan disamakan dengan pengaturan otonomi khusus di daerah lain, mengingat perbedaan proses politik dan latar belakang sejarah masing-masing daerah. Ia pun berharap, revisi tersebut mampu memperkuat martabat dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Tentu dignity, prosperity, martabat, dan kesejahteraan,” ujar Bob Hasan. []