Oleh: Satia Zen
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen-Aceh, dan mahasiswi Program Doktoral Fakultas Pendidikan dan Budaya, Universitas Tampere, Finlandia.
Pagi itu salju masih menumpuk di pinggir jalan menuju Vuoreksen Koulu, Sekolah Dasar dan Menengah di daerah Vuores, Tampere, Finlandia. Saya berjalan beriringan dengan dua orang teman Finlandia yang akan menjadi relawan di sekolah tersebut. Namanya Soili dan Irene. Keduanya berjalan sangat cepat dan gesit meskipun usia mereka tidak muda lagi.
Soili dulunya bekerja sebagai wartawan di koran lokal namun sekarang menjadi guru les bahasa Inggris paruh waktu sambil menikmati waktu senggang bersama cucunya. Irene, sebelumnya bekerja sebagai perawat dan setelah pensiun dia membagi waktunya antara beragam kursus.
Mereka berdua adalah relawan ’Reading with Grandparents’ (membaca bersama abusyik-misyik), sebuah program yang melibatkan pensiunan di Kota Tampere. Program ini bertujuan membantu siswa yang memerlukan pendampingan tambahan di sekolah.
Saya sangat tertarik dan ingin melihat langsung bagaimana program tersebut dijalankan, karena itulah saya mengikuti Irene dan Soili pagi itu ke sekolah Vuoreksen Koulu. Dimana mereka bertugas selama beberapa tahun terakhir sebagai relawan “reading with grandparents”.
Ketika sampai di pintu masuk, kami bertemu dengan dua orang relawan lain, seorang abusyik dan misyik yang tampak sudah bersiap menuju ruangan masing-masing. Setelah bertegur sapa, lalu Soili mengenalkan saya dan mengatakan kepada mereka bahwa kunjungan saya kesana untuk melakukan pengamatan (observasi) lapangan.
Saya tersenyum dan bertanya apakah saya boleh datang untuk melihat. Sambil menganggukkan kepala dan tersenyum ramah, mereka mengatakan sangat senang jika saya mau datang ke kelas mereka.
Abusyik dan misyik masing-masing mereka mendapatkan satu ruangan, kemudian siswa yang akan mendapatkan bimbingan datang ke ruangan mereka. Saya pun berkeliling ke ruangan tersebut untuk melihat bagaimana para abusyik dan misyik beraksi.
Pada awalnya, siswa terlihat agak malu ketika melihat saya, namun setelah dijelaskan oleh relawan Abusyik dan misyik mengenai siapa saya, mereka melanjutkan bimbingan mereka. Siswa membaca buku pilihan mereka kemudian bincang-bincang dengan para relawan Abusyik dan misyik. Saya mengamati para relawan Abusyik dan misyik tidak mengajari siswa, melainkan hanya memberikan semangat dan sedikit petunjuk jika diperlukan.
Namun yang menarik adalah obrolan setelah membaca, ada siswa yang antusias berdiskusi mengenai apa yang dibacanya, ada juga yang perlu diberi pertanyaan umpan sebagai pancingan.
Tidak jarang mereka terlihat bercanda dan bermain di dalam ruangan. Kadang siswa bersembunyi di balik sofa dan abusyik–misyik terlihat kebingungan mencarinya. Sepertinya siswa tersebut seperti sedang bermain petak umpet.
Setelah membaca dan ngobrol, bagian yang paling ditunggu adalah memilih stiker bergambar untuk ditempelkan di kartu membaca mereka. Pilihan stiker yang beragam membuat para siswa bingung menentukan pilihan. Saya lihat para abusyik dan misyik sangat sabar. Mereka sedikit geli melihat betapa seriusnya siswa dalam memilih stiker. Irene mengatakan bahwa stiker hewan seperti kucing dan anjing selalu menjadi dilema bagi siswa karena dua binatang peliharaan ini menjadi idola anak-anak di Finlandia.
Setelah saya berkeliling ke empat ruangan, bel-pun berbunyi menandakan para guru dan relawan dapat beranjak ke ruang istirahat. Disana mereka minum kopi dan makan makanan ringan sambil berbincang-bincang. Disinilah saya mendapatkan cerita lebih lengkap mengenai mengapa abusyik dan misyik dilibatkan disini.
Program ini diinisiasi oleh sebuah organisasi nirlaba yang telah menjalankan program serupa di sekolah-sekolah yang berada di kota lain. Tujuannya membantu siswa yang memerlukan bimbingan khusus membaca. Relawan yang direkrut tidak disyaratkan memiliki keahlian khusus.
Meski demikian, mereka tetap diseleksi dan mendapatkan pelatihan untuk peran mereka. Peran abusyik dan misyik ini adalah menjadi pendengar yang baik dan memberikan komentar-komentar positif bagi siswa. Mereka tidak mengajari teknik membaca secara khusus, namun bahan bacaan yang disediakan memang telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.
Sekolah dan pengelola program menyediakan bermacam-macam buku dengan tingkat kesulitan dan topik yang beragam sehingga abusyik dan misyik hanya memberikan siswa sedikit dorongan dan perhatian layaknya cucu mereka sendiri. Meskipun suasana belajar terlihat santai, tapi program ini dirancang berdasarkan penelitian khusus.
Koordinator program menjelaskan lebih jauh bahwa terkadang siswa memerlukan perhatian khusus namun bukan perhatian yang klinis. Karena belajar membaca merupakan pengalaman yang memiliki tekanan tersendiri, sedangkan masing-masing siswa memiliki tantangan dan kecepatan masing-masing.
Harapan yang terlalu tinggi agar anak bisa segera membaca, kadang justru menjadi penghalang serta beban tambahan dalam belajar membaca bagi siswa. Sehingga tidak jarang, anak jadi mogok belajar membaca.
Tampaknya abusyik dan misyik merupakan orang yang sesuai untuk memberikan perhatian, tanpa beban tersebut dan anak dapat belajar dengan lebih leluasa.
Bagi Irene dan Soili, kedatangan mereka setiap dua minggu sekali ke sekolah Vuoreksen Koulu menjadi ajang yang selalu dinantikan. Mereka terlihat antusias seperti mengunjungi cucu mereka sendiri di sekolah.
Obrolan pada saat bimbingan pun terdengar seperti obrolan khas antara abusyik dan misyik dengan cucu-cucu mereka. Anak-anak terlihat gembira dan rileks, bahkan mereka senang bercerita mengenai hal-hal lain diluar dari bahan bacaan mereka, seperti hewan peliharaan atau teman mereka di rumah. Hal ini menjadikan momen belajar membaca tidak seram dan tegang, tapi justru menjadi yang seru dan asyik.
Saya melihat program ini merupakan solusi sosial yang melibatkan sumber daya di luar sekolah. Saya berpikir, jangan-jangan kita di Aceh juga bisa melakukan hal yang kurang lebih sama dengan melibatkan abusyik dan misyik dalam membantu anak-anak yang mengalami kesulitan membaca dan lainnya.