658Oleh: Satia Zen.
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen-Aceh, dan Mahasiswi Program Doktoral Fakultas Pendidikan dan Budaya, Universitas Tampere, Finlandia.
Menjelang sore di musim gugur ketika dedaunan mulai menguning cerah, saya berjalan menuju sekolah Pohjois-Hervannan Koulu yang terletak di sebuah distrik bernama Hervanta. Daerah ini terkenal dengan ragam penduduknya dari berbagai negara dan latar belakang.
Ada salah satu kampus Tampere University disini yang menjadi pemikat banyak pelajar dari berbagai penjuru dunia datang belajar teknik dan IT. Selain itu Hervanta juga ditinggali oleh banyak pendatang dengan beragam kondisi seperti pencari suaka dan pengungsi dari daerah perang seperti Irak, Suriah, Somalia, Afganistan dan daerah lainnya.
Saat saya sampai di sekolah tersebut, istirahat setelah makan siang baru usai, sehingga suasana terlihat ramai dan riuh. Sekolah ini terdiri dari sekolah dasar dan menengah, sehingga lapangan penuh dengan anak-anak beragam usia dan beragam kebangsaan bermain bersama-sama.
Ketika saya masuk kedalam melewati lorong, saya berpapasan dengan para siswa yang sedang berjalan menuju kelas masing-masing. Mereka berkelompok dan terlihat berbicara dengan bahasa Finlandia yang sangat fasih. Beberapa gadis berjilbab menyapa saya dengan mengucapkan ’salam’ dan tersenyum hangat. Mereka, layaknya anak-anak dimanapun, terlihat ceria dan bercanda dengan teman-teman mereka.
Tujuan saya ke sekolah Pohjois-Hervannan Koulu, hari itu untuk menemui pak Sakari, guru glah (kelas) transisi. Pada saat saya sampai di depan kelas, saya melihat Pak Sakari masih berbicara dengan seorang murid dengan latar belakang imigran. Sembari menunggu, saya perhatikan dari luar kelas anak itu mengangguk dan mengucapkan sesuatu, kemudian membereskan bukunya dan beranjak pergi sambil mengucapkan kata selamat tinggal khas Finlandia ’heippa’. Pak Sakari membalas ’heippa’ dan tersenyum lebar.
Setelah itu Pak Sakari mempersilakah saya masuk ke kelasnya dengan ramah. Beliau mengajak saya duduk di salah satu tempat duduk yang tersedia. Ruangan kelas Pak Sakari tidak luas, saya melihat ada sekitar 8 meja dan kursi yang disusun berjajar menghadap ke papan tulis dan satu meja untuk kerja kelompok dengan 6 kursi.
Kami pun mulai berbincang mengenai glah transisi, yang diampunya selama beberapa tahun terakhir. Kelas ini diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak bisa berbahasa Suomi (bahasa Finlandia), berasal dari negara lain serta memiliki kemungkinan untuk tinggal secara jangka panjang di Finlandia.
Pak Sakari memiliki sekitar 8 murid dari beragam negara seperti Irak, Suriah, Thailand dan Turki. Selama beberapa tahun mengajar di glah transisi, Pak Sakari sudah mengajar siswa yang datang dari lebih 20 negara. Beliau menunjuk salah satu peta di dinding kelasnya dimana nama anak-anak ditulis dan ditempelkan pada negara darimana mereka datang. Menurut Pak Sakari, ini penting untuk mengingatkan dirinya dan anak-anak bahwa mereka berasal dari budaya dan tempat yang berbeda. Jadi mereka perlu saling sabar dan belajar dari satu sama lain.
Selain asal negara, murid di kelas ini juga umurnya berbeda-beda karena mereka memulai sekolah pada waktu yang berbeda-beda pula, tergantung waktu kepindahan mereka ke Finlandia. Dan ketika mereka memulai, mereka tidak bisa berbahasa Suomi, sedikit yang bisa berbahasa Inggris, namun fasih dalam bahasa ibu masing-masing.
Jadi bagaimana berkomunikasi dan mengajari anak-anak ini? tanya saya kebingungan. Pak Sakari tertawa dan mengatakan bahwa anak-anak dari manapun pada dasarnya sangat ingin tahu, mereka akan mencoba berkomunikasi dengan cara apapun, untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Pak Sakari menjelaskan, ia menggunakan banyak metode seperti bahasa isyarat, gambar dan mimik untuk berkomunikasi, sambil pelan-pelan mengenalkan kosa kata dasar, melalui rangkaian kegiatan sederhana namun menggugah rasa ingin tahu siswa di kelas. Demikian juga anak-anak, kata Pak Sakari, mereka melakukan hal yang sama untuk memberitahu keinginan mereka di kelas. Di dinding sekolah, saya melihat banyak sekali karya anak-anak dipajang, yang isinya mengandung kosakata bahasa Suomi sederhana.
Jika anak-anak menyelesaikan tugas mereka lebih cepat, sambung Pak Sakari, mereka dapat bermain ataupun membaca. Pak Sakari juga memberikan waktu yang cukup untuk anak-anak bermain bersama ketika waktu istirahat tiba. Menurutnya, bermain itu cara paling cepat untuk anak-anak belajar apapun, termasuk belajar bahasa. Pak Sakari juga mengajak anak-anak belajar lagu-lagu Suomi sederhana untuk belajar bahasa dan budaya. Di kelas tersebut, saya melihat berbagai permainan serta buku-buku cerita dan gitar.
Menurutnya lagi, anak-anak tidak memerlukan waktu lama untuk belajar bahasa baru, dan beliaupun ingin anak-anak dapat bertransisi (pindah) ke kelas regular jika mereka sudah siap. Untuk itu, secara berangsur-angsur anak-anak yang mulai fasih bahasa Suomi akan mengikuti satu atau dua pelajaran di kelas reguler sesuai dengan jenjang umur mereka. Hingga pada suatu saat nanti, anak-anak ini akan pindah ke kelas reguler sepenuhnya dan tidak lagi belajar di glah transisi.
Saat itulah menurut Pak Sakari beliau merasa betul-betul berhasil membantu anak-anak ini untuk melanjutkan kehidupan mereka. Ini penting agar anak-anak tersebut memiliki harapan baru terutama untuk mereka yang datang dari negara-negara yang dikoyak peperangan.
Namun, bukan berarti anak-anak tidak dapat lagi menggunakan bahasa ibu mereka. Kota Tampere menyediakan guru bahasa ibu sesuai dengan permintaan dan jika jumlah siswa mencukupi. Di sekolah Hervannan Koulun tersedia kelas Bahasa Mandarin yang diadakan setiap minggunya. Saya juga mendengar ada Kelas Bahasa Parsi, Bahasa Arab, Bahasa Thailand dan Bahasa Vietnam, yang diadakan di sekolah-sekolah berbeda untuk anak-anak yang ingin belajar bahasa ibu mereka.
Kelihatanya, keragaman budaya dan identitas bukan menjadi ancaman, tapi justru kekayaan yang perlu dilestarikan. Menurut Pak Sakari, ketika anak-anak pindah ke Finlandia, mereka tidak berhenti menjadi orang Turki, Irak, Somalia, Afganistan ataupun Suriah. Namun mereka punya sisi lain sebagai orang Finlandia yang datang dari negara berbeda.
Hal ini mengingatkan saya akan pengungsi Rohingya yang terdampar dan telah diterima dengan tangan terbuka di Aceh. Saya melihat Aceh punya kesempatan bagus untuk membantu pengungsi dan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak melalui glah transisi atau apapun namanya.[]