Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Coreng-moreng wajah berhukum dan penegakan hukum kembali terlihat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak menangkap kepala daerah dan anggota legislatif yang terkait suap. Semua pihak sudah pernah ditangkap KPK. Bahkan mereka yang mengadili kasus korupsi sekalipun, termasuk hakim MK pernah bermasalah dan pernah ditangkap KPK.
Penangkapan tersebut menambah kelam hukum Indonesia. Hakim sebagai penegak hukum yang seharusnya menjadi orang-orang yang tangguh dari suap apapun, pada kenyataannya tidak lepas dari kelindan kebobrokan. Dan hakim MK yang jarang terdengar berkasus, ternyata juga tidak luput dari cela.
Dalam ilmu hukum, para penegak hukum mendapat perhatian penting, karena mereka secara langsung terlibat dalam penegakan hukum. Dibandingkan dengan pembentukan hukum, penegakan hukum jauh lebih menyita perhatian publik.
Banyak pihak yang mengingatkan konsep manusia tangguh pada diri penegak hukum mesti selalu ada. Satjipto Rahardjo (2008) misalnya, menganalogikan bahwa kalau dibandingkan dengan peraturan yang baik, maka penegak hukum yang baik jauh lebih penting. Dalam hal ini, penegak hukum sebagai manusia memiliki semangat untuk memperbaiki kualitas dalam menjalankan peraturan.
Perbandingan peraturan dan penegak hukum, memang sama-sama sebagai hal yang seyogianya dimiliki oleh hukum. Soerjono Soekanto (2002) menyebutkan setidaknya empat hal yang berpengaruh dalam berhukum, yakni hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, dan budaya hukum masyarakat. Dengan penangkapan tersebut, keempat hal harus mendapat perhatian ekstra.
Sebagai bagian dari publik, kita ada yang tertegun, sakit hati, heran, atau bahkan biasa-biasa saja. Tertegun, karena ternyata, kita sudah terbiasa melihat banyak orang di sekeliling kita yang tidak mengindahkan nilai kebaikan. Kejahatan dilakukan dengan wajah ramah dengan senyum hangat di depan kamera. Sakit hati, karena semakin hari semakin banyak yang ditangkap, tapi ternyata orang-orang penting terus ketahuan melakukan korupsi. Ada yang heran, ternyata hari-hari yang kita lalui semakin menampakkan wajah miskin keteladanan, dimana khutbah kebaikan selalu dilakukan dan perilaku kejahatan terus terlihat. Sebagian kita malah biasa-biasa saja, karena ketahuan kejahatan sudah lumrah. Setiap hari kita melihat ada saja yang tertangkap melakukan korupsi, sehingga kalau-kalau besok muncul berita serupa, seperti bukan sesuatu yang patut dirisaukan lagi.
Kita boleh bertanya, sedang terjadi apa di negeri kita? Sering kita mungkin merenung, masih adakah orang yang belum tampak keganjilan terjadi dalam kehidupan bangsa ini?
Kita tahu bahwa kata-kata tidak selalu mencerminkan dan berarti jiwa. Makanya dikenal jiwa yang terbelah yang kita dapat melalui ilmu bahasa, ia lahir karena di sekeliling kita memang ada orang-orang yang tidak menampakkan wajah aslinya. Orang-orang santun dan dingin kita saksikan di televisi, tiba-tiba ketahuan seringnya melakukan kejahatan. Orang-orang yang tidak berbudi baik, di hadapan banyak orang bisa menampakkan wajah sebaliknya.
Dunia sampai kampung terus berjejer kegelisahan dan kegundahan. Perilaku kejahatan seperti berusaha menyaingi perilaku kebaikan. Di tengah-tengah orang jahat ada yang dengan gagah mau menyampaikan kebaikan. Pada saat yang sama, di tengah-tengah orang-orang baik, juga ada orang-orang yang bermental sakit.
Maka, masa lalu adalah pemandangan persaingan antara khutbah kebaikan dan realitas keburukan. Berbagai perintah kebaikan sudah disampaikan lewat Kitab Suci. Masalahnya, perilaku yang antikebaikan (lewat kata-kata, pikiran, dan perilaku) terus saja terjadi.
Seperti selalu ada jurang antara harapan kebaikan dengan idealitas kejahatan. Orang yang berkampanye untuk hal yang baik sekalipun, kadangkala juga tidak terhindarkan melakukan hal yang tidak baik.
Di berbagai ruang, terus ada kemiringan, padahal keganjilan adalah jurang. Maka semua itu harus diluruskan, kalau tidak, kita akan berkumpul di lembah yang hitam.
Yang terlihat adalah kegundahan, bila menyampaikan kebaikan tapi diri masih bergelimang ketidakbenaran. Yang tampak adalah kegelisahan, bila kebaikan berada di tengah orang yang berperilaku kebatilan. Yang terlihat adalah kejahatan, bila dalam ilmu putih masih kita permanis dengan ilmu hitam.
Sikap dan perilaku harus mengiringi imaniah kita karena keteladanan tidak hanya berupa kata-kata semata.[]