Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Membicarakan hukum, apalagi hukum yang terkait dengan sumberdaya alam, seyogianya tidak berbatas pada peraturan perundang-undangan semata.
Terdapat dua tantangan ketika hukum hanya berhenti pada itu. Pertama, dari segi pembentukannya yang tidak steril dari aroma pengaruh politik. Pembentuk hukum sering berdalih bahwa semuanya berbasis pada jiwa bangsa. Akan tetapi realitasnya, hukum dalam makna demikian dalam pembentukannya melewati berbagai proses traksaksi yang berlangsung di belakang meja, maupun terang-terangan.
Kedua, hukum yang tidak dikaitkan dengan pengaruh ekonomi, sosial, politik, bahkan budaya,tampaknya meningkari realitas yang tidak terbendung. Berbagai faktor nonhukum sepertinya tidak bisa diketam pengaruhnya terhadap hukum. Dengan demikian, apa yang disebut salah satu aliran hukum bahwa hukum sebagai konsep yang steril, masih bisa diperdebatknya dalam konsep apalagi konteksnya.
Dua hal di atas bagi saya sangat penting, untuk melihat bagaimana hukum dan pemaknaannya dibangun. Penegasan ini yang juga penting terkait dengan apa yang tulis ini. Ketika berbicara bagaimana sumberdaya alam harus dikelola secara tepat dan cepat, ia turut ditentukan oleh bagaimana hukum itu dibentuk dengan segenap kontestasi di dalamnya, serta bagaimana hukum itu dimaknakan.
Teks hukum adalah satu hal, kemudian pemaknaan adalah satu hal yang lain lagi. Di dalam kampus hukum, proses pemaknaan juga terfokus pada aliran tertentu saja yang dominan, yakni pemaknaan teks.
Dalam melihat sumberdaya, teks hukum dan pemaknaan mau tidak mau akan terkait. Untuk hal yang tampak saja, misalnya bagaimana jumlah penduduk yang menentukan konteks pengelolaan sumber daya yang ada.
Pada pertengahan tahun 2011, diperkirakan manusia dalam satu bumi yang kita tempati ini, sudah mencapai angka tujuh miliar. Pertumbuhan tinggi penduduk, menyebabkan banyak ahli “memutar” otak berfikir mengenai berbagai potensi yang ditimbulkan sekaligus ancangan solusinya. Karena bagaimanapun, pertambahan penduduk akan berimplikasi kepada banyak hal. Salah satunya adalah bertambahnya jumlah berbagai kebutuhan.
Bila kita ikuti tingkat pertambahan penduduk, kini adalah masa yang terlihat betapa bertambahnya penduduk sedang berlangsung luar biasa. Sudah setengah abad yang lalu mulai diperkirakan bahwa penduduk bumi pada tahun 2025 akan mencapai angka 8,3 miliar. Dengan demikian angka 1,3 miliar jumlah penduduk, bertambah dalam perkiraan waktu 14 tahun saja.
Pertambahan ini sangat tinggi, dibandingkan dengan era sebelumnya. Angka empat miliar terjadi pada tahun 1975. Dengan demikian ada pertambahan sekitar tiga miliar dalam waktu 35 tahun saja. Sementara pada era sebelumnya, pencapaian angka tiga miliar pada tahun 1960 (butuh 15 tahun untuk pertambahan satu miliar). Pada tahun 1930, penduduk bumi hanya dua miliar (bertambah satu miliar dalam waktu setahun). Jumlah ini adalah pelipatgandaan yang luar biasa, berlangsung dalam sejarah kehidupan Marusia. Bila pada tahun 800 SM penduduk bumi hanya lima juga, baru pada tahun 1650 mencapai angka 500 juta. Angka satu miliar diperoleh pada tahun 1830. Angka pertambahan juga terlihat di Indonesia. Bila tahun 1900 jumlah penduduk Indonesia hanya 40 juta, kini 237,6 juta, angka itu diperkirakan mencapai 400 juta pada 2035.
Kondisi tersebut jelas menggambarkan bahwa dunia sedang membutuhkan “dandanan” yang luar biasa. Pertambahan penduduk yang diikuti dengan tingkat pemenuhan kebutuhan, harus dijawab dengan persiapan sedemikian rupa.
Kondisi ini pula yang kemudian mempercepat proses dunia yang berubah makin cepat dari biasanya. Perkembangan dalam berbagai hal membuat pelbagai komponen pendukungnya harus juga dipikirkan.
Logikanya adalah ketersediaan semua kebutuhan untuk manusia dalam satu bumi ini, terus mengalami kemerosotan. Bertambahnya penduduk di satu pihak berlangsung secara signifikan, namun di pihak lain pertambahan penduduk tidak diikuti oleh perluasan lahan. Intinya adalah bumi yang kita pijak ini hanya satu saja. Tidak lebih. Sehingga seberapa pun bertambahnya penduduk, niscaya penduduk tersebut akan ditampung dalam satu bumi ini. Jadi apapun kebutuhan manusia, hanya akan dipenuhi oleh berbagai “fasilitas” yang tersedia dalam satu bumi tersebut.
Kenyataan tersebut lambat laun juga akan ditentukan oleh perubahan yang harus dilakukan dalam hukum. Lapangan ini juga harus mengikuti perkembangan masyarakat yang berubah dengan semakin cepat.
Kondisi di atas tidak bisa kita abaikan, karena secara langsung kondisi tersebut berpengaruh terhadap hukum. Kinilah saatnya hukum harus membuka diri terhadap berbagai perkembangan yang ada.
Ada beberapa konsekuensi yang menuntut agar hukum mengambil peran lebih dalam menyelesaikannya, yakni: Pertama, pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya konsumsi pangan. Tingkat konsumsi akan berpengaruh kepada upaya pemanfaatan alam. Hukum harus mengambil peran dalam hal pengaturan pemanfaatan alam secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Dalam era yang lalu kita bisa merasakan bagaimana alam ini dikontrol oleh beberapa elemen saja. Alam juga diserahkan ”bulat-bulat” untuk swasta dan rakyat hanya mendapat sedikit saja dari hasil alam tersebut. Kemudian juga dilukiskan seolah-olah pemanfaatan alam dengan membabi-buta dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat. Padahal kerusakan alam, sebagian besar eksesnya justru ditanggung oleh mereka yang tidak mengerti apa-apa. Kita bisa menyaksikan bagaimana dalam kasus bencana alam di Aceh, yang kerugian terbesar dialami oleh rakyat.
Kedua, implikasi lahan, untuk berbagai kebutuhan, antara lain untuk tempat tinggal dan bercocok tanam. Beberapa negara maju sudah mengembangkan lokasi bercocok tanam yang terintegrasi dengan tempat tinggal. Di samping itu, mengantisipasi semakin mengecilnya lahan bercocok tanam, pola-pola pemanfaatan ”ruang yang terlantar” harus serius dimanfaatkan.
Dalam hal menyiapkan banyak lahan untuk hutan yang akan berfungsi sebagai ”pengatur” iklim, banyak kota yang mempraktekkan adanya hutan kota dan berhasil. Hal ini berbanding terbalik di tempat kita, yakni gara-gara membangun fasilitas tertentu, pohon-pohon ditumbangkan seenaknya dan itu terus berlangsung. Kini seolah-oleh kita harus mempertanyakan kembali sejauhmnana orang semakin sadar bahwa kerusakan alam menyebabkan berbagai bencana yang kita rasakan.
Ketiga, implikasi kepada meningkatnya sampah, yang sebagiannya justru tidak bisa diolah secara alami. Kemudian perilaku orang-orang yang tidak ramah terhadap lingkungan, telah turut berandil dalam mempercepat kegersangan alam kita. Kondisi semacam ini misalnya bisa dirasakan pada tingkat konsumsi bahan-bahan dari bahan baku yang tidak bisa diolah secara alami tersebut.
Kondisi ini pula yang menyebabkan berbagai kawasan terendam, karena ternyata suhu bumi semakin meningkat akibat pola konsumsi manusia. Kenaikan dalam jumlah tertentu, ternyata berimplikasi kepada mencairnya secuil es di kutub. Gelombang pasang terjadi di mana-mana
Sebenarnya bila kita buka ketentuan perundang-undangan, sudah terdapat ketentuan-ketentuan yang ingin memperlakukan alam sebagaimana mestinya. Hal ini misalnya bisa dilihat dari aspek hukum lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam pada umumnya. Namun pengaturan tersebut, masih belum bisa menjangkau sepenuhnya pada seluruh pola perilaku.
Dalam kaitan ini, hukum harus diproyeksikan bisa mengatur semua perilaku yang saling berhubungan. Misalnya biaya mahal harus diterapkan bagi mereka yang memiliki lebih dari satu kendaraan. Atau pemakai plastik mesti membayar biaya pengelolaan sampah lebih mahal. Contoh lainnya adalah memosisikan perusak lingkungan sama dengan pelaku teror, dan sebagainya.
Semua hal tersebut sangat penting untuk diatur oleh hukum –dalam makna luas dan terbuka. Landasannya tentu saja upaya penyelamatan alam dari kerusakan alam yang lebih besar. Logisnya bahwa pertambahan penduduk setiap tahun bisa diprediksi, namun bagaimana perubahan perilaku manusia sangat sulit untuk diperkirakan.
Hukum yang dilahirkan adalah hukum yang berjiwa sadar akan persoalan lingkungan selalu berelasi dengan banyak arah. Hukum dilahirkan jangan dengan main transaksi di belakang, dengan menyediakan lubang-lubang hukum yang menjadikan manusia sebagai alasan, namun ternyata digunakan untuk merusaknya.
Perilaku pembentuk hukum harus terkontrol secara ketat dalam rangka menjaga satu bumi ini agar bisa berlangsung bagi generasi yang akan datang. Namun demikian mengontrol tersebut bukanlah perkara mudah. Dengan kondisi masyarakat yang berubah dengan sangat cepat, menyebabkan kita semuanya harus mempersiapkan banyak hal.
Tantangan yang tak kalah besar dihadapi saat hukum dijalankan. Kepentingan dalam menafsirkan teks juga sangat terbuka dan semua ingin menjadi pemenang. Hukum adalah salah satu ”piranti” penting dalam menjaga apa yang tersedia di satu bumi ini agar tidak terus mengalami penyusutan. Namun bila hukum berada di tangan struktur yang buruk, hukum akan menghadapi tekanan yang lain lagi.
Saya teringat apa yang diingatkan seorang guru saya, Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa teks hukum yang baik saja masih belum cukup. Ia harus didukung oleh struktur yang baik. Jika salah satunya yang buruk, profesor saya itu lebih memilih struktur hukum yang baik. Dengan itu, peluang untuk memperbaiki teks hukum yang buruk, semakin terbuka peluangnya.[]