Oleh: Novendra Deje.
Analis Geopolitik di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).
Dua bulan telah berlalu, Jack Ma Yun, atau populer dikenal dengan nama “Jack Ma,” menghilang tanpa diketahui dimana rimbanya. Banyak spekulasi berkembang di tengah publik dunia atas kehilangan Presiden Ant Group, financial technology (fintech) raksasa Tiongkok.
Ada yang mengira Jack Ma telah dihilangkan, atau sedang mendekam di penjara rezim Partai Komunis China. Belum ada informasi terverifikasi terkait keberadaannya. Walau saya mengira mungkin ia sedang mengambil waktu libur dengan bersantai di suatu pantai indah nan tenang. Namun lebih banyak mengaitkan sebab hilangnya pada fakta ia tengah menghadapi masalah dengan pemerintah China. Jack Ma menghilang saat setelah pemanggilan atas dirinya oleh pihak pemegang otoritas tertinggi pengatur keuangan Pemerintah China.
Namun demikian, tulisan ini tidak dalam rangka ikut meramaikan spekulasi terkait kemana dan dimana hilangnya Jack Ma. Tidak juga untuk menduga-duga tentang bagaimana kira-kira nasib sang big boss Alibaba kini. Tulisan ini saya arahkan pada analisis latar masalah yang lebih fundamental, hingga pemicu perselisihan antara Jack Ma dengan pihak otoritas tertinggi keuangan China. Saya ingin ketengahkan alisis masalahnya dalam konteks kontestasi antar kutup kekuatan dunia hari ini, dalam apa yang disebut sebagai upaya merebut pengaruh atas visi masa depan tatanan global. Dimana, Jack Ma dengan bisnis layanan online-nya, selain menjadi starting poin, juga sebagai rujukan kasus dalam melihat konteks budaya ekonomi politik China dan ruang kontestasinya di pentas global.
Jack Ma dipanggil pihak otoritas keungan tertinggi di negaranya, setelah ia melontarkan kritik kontroversialnya saat hadir di KTT Bund, Shanghai, pada Oktober 2020. Kritikan kerasnya terkait cara kerja bank-bank China yang ia sebut masih bermental “pajak gadai.” Dimana hal itu, menurutnya, tidak terlepas dari cara pandang Pemerintah China yang telah usang. Sehingga itu dipandangnya menjadi faktor yang memperlambat inovasi, yang harusnya merupakan motor penggerak ekonomi China.
Tampak yang dituju oleh Jack Ma adalah penerapan platform ekonomi offline yang menurutnya tidak tepat untuk diterapkan pada ekonomi era digital. Ia ingin ada kebebasan lebih luas, sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan dunia Internet Technology (IT) pada skala globalnya. Lontaran isi kritiknya mengindikasikan ia seperti tengah mengeksplisitkan suatu kesadaran dalam dirinya, bahwa konsekuensi era digitalisasi global meniscayakan kesiapan untuk terintegrasi dengan nilai liberalisme.
Namun demikian, ada rasa janggal terkait singgungan Jack Ma, bahwa itu menghambat inovasi, dan pada konsekuensi luasnya menghambat pembangunan. Sisi kejanggalannya adalah ketika kita menyaksikan China hari ini adalah negara dengan penuh inovasi. Mengkreasikan banyak hal yang mengundang banyak kekaguman masyarakat di belahan dunia manapun yang menyaksikannya. Pembangunan dengan berbagai inovasi terus tumbuh disana, dengan berbagai capaian yang spektakuler. Tidak hanya di dalam negerinya, melainkan berperan besar dalam pembangunan inovatif di banyak negara yang menjadi mitra bisnisnya. Dan yang paling signifikan adalah kekuatan ekonominya hari ini, dengan jangkar yang menjangkau luas di hampir tiap negara. Jadi apa yang kini usang dan menghambat pembangunan?
Mari kita lihat kembali sisi kristalisasi friksi yang terjadi antara China dengan (dunia) Barat, terkait arah orientasi proyek infrastruktur digitalisasi China yang luas dan massif. Sebagaimana termuat dalam tulisan saya sebelumnya (baca: Langkah China), bahwa platform digitalisasi China telah bergerak ke arah yang tidak sesuai dengan nilai yang diimpikan Barat, yaitu liberalisasi. China dari itu malah mengartikulasikan budaya ekonomi politiknya sendiri yang bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisme. Ada berbagai pembatasan, disamping kelonggaran dalam platformnya, demi melindungi kepentingan relasi sosial yang lebih setara bagi semua kalangan dan status. Dan itu dapat kita lihat pada apa yang tengah terjadi antara Jack Ma yang mewakili fintech raksasa Ant Group dengan pihak otoritas keuangan tertinggi yang mewakili Pemerintah China.
Sebagai penerima manfaat terbesar dari program ekonomi digital China, Jack Ma tentu diharapkan menjadi role model dari gambaran orientasi etik kebudayaan ekonomi politik China. Dimana hal itu dapat memberi pengaruh efektif pada skala global. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Jack Ma dengan Ant Group-nya malah bergerak terlalu jauh untuk melawan arah orientasi itu. Sebagai pengusaha, dia tampaknya tak kuasa mengendalikan diri, hingga terserap jauh ke dalam hasrat perilaku ekonomi pasar berkarakter kapitalistik.
Untuk diketahui, Jack Ma adalah figur pengusaha Tongkok yang hari ini sangat populer di media. Sehingga namanya begitu akrab dikenal di seluruh penjuru dunia. Bukan hanya soal tingkat kekayaan luar biasa yang kini diraih dari usaha inovatifnya, tetapi juga aktifnya ia melayani kegiatan motivasi berwirausaha itu sendiri. Dan yang tersebut terakhir adalah faktor signifikan yang menarik banyak perhatian publik kepadanya. Bagaimana pun, peluang besar untuk menjadi Jack Ma seperti hari ini, selain sosoknya sendiri yang kreatif dan inovatif, juga ditopang oleh program digitalisasi skala global China, dengan banyaknya kelonggaran platform disana.
Lalu, Jack Ma yang relatif tampak telah terintegrasi dengan nilai (pasar bebas) Barat, kemudian terinterupsi langkanya oleh otoritas pengatur keuangan tertinggi China, ketika ia bergerak lebih jauh untuk menantang arah orientasi ekonomi digital negara itu. Dia berupaya melawan pembatasan-pembatasan yang tersisa, yang menjadi fondasi dasar dan khas dari peradaban ekonomi politik China. Jack Ma tampak seperti figur yang diimpikan Barat, sebagaimana mereka pernah menaruh harapan yang sama pada figur Xi Jinping, Presiden China. Mereka pernah menyangka arah reformasi besar-besaran Xi sebagai petanda bahwa ia sosok pejuang liberalisasi. Dan itu akan mempercepat laju China untuk bergerak ke arah yang terintegrasi dengan nilai Barat.
Jack Ma dipanggil saat sehari sebelum Bursa Saham China mengumumkan penangguhan terhadap peluncuran daftar ganda perusahaan fintech-nya di bursa Shanghai dan Hongkong, direncanakan pada 3 November 2020. Sangat serius, Ia dihadapkan dengan pihak People’s Bank of China (PBC), China Banking and Insurance Regulatory Commission (CSRC) dan lembaga administrasi negara yang menangani soal valuta asing. Disitu dia dingitkan tentang bagaimana Initial Public Offering (IPO) yang akan diluncurkan — dan akan menjadi pemecah rekor di bursa Sanghai dan Hongkong itu — akan dapat melindungi para investor dan juga konsumen dari risiko gagal bayar. Intinya, alasan diumumkannya penangguhan daftar ganda tersebut oleh otoritas keuangan China, adalah untuk tujuan “melindungi kepentingan konsumen dan investor.”
Ant Group telah berespektasi sangat jauh bahwa IPO, terkait bisnis jasa keuangan online-nya, yang ditawarkan lewat bursa saham Shanghai dan Hongkong, secara luas akan menjadi yang terbesar di dunia. Karenanya, Jack Ma bertekat untuk melabrak batas nilai etik ekonomi politik negaranya sendiri. Hal itu tentu demi membuka peluang lebih besar dalam rangka mencapai apa yang telah diespektasikan. Dari itu, jauh hari sebelumnya. Ia pun membangun narasi kritik terhadap pembatasan dalam rangka membangkitkan sentimen dukungan publik. Mengesankan, bahwa dengan adanya batasan-batasan yang disebutnya “bermental pajak gadai” yang menghambat pembangunan dan inovasi dalam bisnis di era digital”.
Setelah munculnya kritik kontroversial dari Jack Ma, bernada ancaman terhadap pengatur otoritas jasa keuangan global China, terjadi banyak diskusi mengenai platfom ekonomi digital China. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah artikel yang diterbitkan satu surat kabar di bawah PBC (bank rakyat China). Tulisan itu membahas tentang potensi risiko dan regulasi perusahaan IT raksasa yang memasuki sektor keuangan. Perusahaan teknologi seperti Alibaba, Tencent, Baidu dan JD.com, seperti yang diurai artikel tersebut, telah berkembang dan menembus industri keuangan. Dimana hal itu juga akan turut mengubah sektor jasa keuangan China. Lalu, artikel tersebut memberi peringatan atas risiko besar yang akan dihadapi, yaitu soal perusahaan-perusahaan itu membawa budaya monopoli. Hal itu dianggap sebagai masalah,karena mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat. Potensi risiko ini terbaca dari fakta bahwa batasan produk dan bisnis mereka sangat kabur.
Tak lama setelah artikel itu dipublikasi, Administrasi Negara untuk Pengaturan Pasar kemudian menerbitkan suatu draf pedoman tentang tindakan yang berkaitan dengan tindakan anti-monopoli. Draf pedoman itu berkaitan langsung dengan ekonomi platform online. Hal itu didekasikan untuk menghindari keterlibatan dalam perilaku yang mengarah kepada persaingan yang dianggap ilegal. Semisal praktik dominasi pasar, atau yang akrab disebut “monopoli”.
Pada titik inilah saya menyebut adanya kristalisasi residu friksi yang terjadi antara China dengan espektasi nilai yang dikehendaki Barat. Bagaimana pun, liberalisme membenarkan tindak monopoli. Bagi seorang pelaku pasar liberal, faktor kepemilikan modal menentukan otoritas kepemilikan dan menggerakkan aturan yang mungkin diarahkan untuk kepentingan ekslusif mereka, yaitu ruang praktik monopoli. Dan tatanan global yang diharapkan Barat makin mengarah pada penerimaan gagasan dan praktik liberalisme, sebagai ideologi pasar bebas yang telah secara luas diberlakukan dengan kekuatan kontrol dan doktrin-doktrin hegemonik pada polaritas tatanan global hari ini.
China sendiri lebih tampak melawan arus serapan nilai tatanan global yang diharapkan Barat. Dengan kekuatan infrastruktur digitalisasinya yang massif dan menjangkau luas, China yang sangat diperhitungkan dalam skala global, justru tidak mengarahkan haluannya ke arah nilai itu. Walaupun dalam beberapa kelonggaran platform IT nya, yang telah memberi kesempatan besar bagi orang-orang inovatif seperti Jack Ma, tetap tidak membiarkan nilai kebebasan bergerak lebih jauh untuk membalikkan fondasi dari visi ekonomi politik China. Dan kasus Ant Group dalam sektor jasa keuangan mereka yang terinterupsi tersebut adalah salah satu bukti kuat bahwa Beijing tetap menjaga arah orientasi dari visi globalnya tidak terserap dalam pusara nilai liberalisme.
Kontrol kebijakan pengetatan aturan dalam bisnis online, terutama terhadap jasa keuangan, itu jelas dalam rangka menertibkan visi global China, melalui digitalisasi, untuk tetap berjalan pada arah yang sesuai dengan misi kebudayaan ideologis mereka yang anti-liberal. Bagi China, platform yang berlaku pada program digitalisasi-nya menegaskan penyelarasan antara aspek yang mendorong pembangunan dan inovasi secara seimbang dalam suatu sistem yang sehat bagi semua pihak dan berbagai lapisan masyarakat. Keselarasan itu tentu tidak akan terjadi ketika praktik monopoli dibiarkan.
Dominasi pasar oleh segelintir kalangan yang memiliki kapital cukup kuat akan cenderung menjalankan dikte, sesuai dengan kepentingan yang semakin menguatkan mereka. Mereka, dengan kekuatan monopolinya, menginginkan untuk mesti dipatuhi oleh berbagai pihak yang dalam matarantai relasinya berada pada posisi tawar lemah. Hal itu dapat kita lihat hari ini, bagaimana masifnya praktik ekonomi yang dikontrol dan berpraktik dengan nilai-nilai pasar bebas sebagai jantung libalisme. Dimana, itu bertolak belakang dengan visi China yang mengupayakan hadirnya suatu polaritas baru di luar mainstream tatanan global monopolar yang menginduk ke Barat.
Preseden raksasa fintech Ant Group yang mengeksplisitkan program inovatifnya di bidang jasa keuangan online ke arah yang memungkinkan terjadinya monopoli dan tekanan tidak fair pada konsumen, telah mendorong China untuk menyiapkan suatu pengetatan platform ekonomi berbasis IT. Untuk itu, draf awal yang telah disiapkan berkaitan dengan hal tersebut masih dalam proses menjaring berbagai masukan dari para pakar yang bersentuhan dengan dunia itu, maupun komentar dari berbagai persepsi publik atasnya.
Ada suatu pertarungan besar yang dijalankan China yang harus dilihat, yaitu dalam dinamika kontestasi merebut pengaruh atas sistem tatanan ekonomi politik global di masa depan. Dan ini lebih penting dari sekedar melihat adanya fakta bahwa China tampak menghalangi proses pembangunan bisnis dan berinovasi melalui sistem digital. Kita memang tidak menginginkan ada pemerintahan menjalankan kuasa dengan tangan besi. Tapi kita juga tidak harus terjerat dalam narasi stigmatis, semacam penghakiman adanya praktik otoritarian oleh pemerintahan suatu negara yang menerapkan aturan dan kedisiplinan nilainya.
Selalu sangat mungkin untuk melihat motif dan tujuan bernegara dalam skala kepentingan yang lebih luas dan dengan visi masa depan yang lebih jauh. Dimana, fungsi negara — dengan otoritas regulasi ditangannya — berperan sangat signifikan menyeimbangkan antara pembangunan di satu sisi, dan menjaga nilai dari tujuan prikehidupan sosial itu sendiri di sisi yang lain. Dan suatu tatanan susial memang seharusnya untuk memberi garansi keadilan dan keseimbangan. Bukan membiarkan antara satu sisi dengan sisi yang lain bergerak ekstrim tanpa terkendali. Disitu lah fungsi pedal gas dan rem dimainkan.
Lalu kemana hilangnya Jack Ma? Saya mengira ia lagi mengambil waktu callingdown sembari memikirkan jalan keluar atas masalah yang dihadapinya. Setelah dengan spektakulernya ia telah menyerap dana hingga $300 Milyar dari para investor secar luas, hingga kemudian kesandung masalah izin untuk melanjutkan bisnis yang diperkirakan akan menjadi kerajaan monopoli bisnis terbesar di dunia online.[]