Oleh: Risnawati binti Ridwan.
Penulis adalah Alumnus STKS Bandung dan ASN Pemko Banda Aceh.
Korban Covid-19 memunculkan kesedihan yang mendalam bagi kita. Korban berjatuhan, ada yang selamat namun banyak yang meninggalkan kita dan kita semua berbelasungkawa. Tetapi ada korban-korban yang dilupakan, yaitu anggota keluarga korban Covid-19.
Seperti curhatan hati anak seorang dokter yang menangani pasien Covid-19 (Suara.com, 24/03/2020), mengalami kemarahan terhadap situasi yang dialaminya. Merasa bahwa “ketidakpatuhan” orang lain berakibat pada ayahnya sehingga terpapar virus Covid-19 dan akhirnya meninggal dalam kesendiriannya di ruang isolasi tanpa didampingi oleh keluarga.
Tentunya hal ini menimbulkan dampak yang berupa trauma bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. Jika pada kasus tersebut anaknya sudah mencapai usia dewasa, maka bagaimana dengan anak yang masih di bawah umur, sehingga diindikasikan ada trauma yang tertinggal dalam alam bawah sadarnya.
Dampak dari sebuah wabah penyakit yang mengakibatkan orang tertular dengan cepat, meninggal dalam waktu singkat, dan meninggalkan sisa-sisa bagi survivor salah satunya adalah benturan psikososial keluarga yang ditinggalkan. Dan tentunya kesedihan dan trauma yang mendalam sangat dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan.
Dalam peristiwa pandemi ini, dapat dilihat bahwa korban Covid-19 merupakan korban bencana dan menurut undang-undang dapat dikategorikan sebagai bencana non alam. Pandemi menimbulkan korban jiwa, kerugian materi dan adanya “benturan” psikososial bagi korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Selama ini, pemahaman masyarakat bahwa bencana itu hanya berkaitan dengan bencana alam saja, padahal bencana dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Dan penyebaran virus Covid-19 merupakan jenis wabah penyakit.
Disinilah perlunya negara sebagai pihak yang memberikan penanganan yang komprehensif bagi korban bencana. Dimana yang disebut korban bencana adalah korban yang selamat dari peristiwa tersebut dan keluarga yang ditinggalkan.
Penanganan terhadap korban bencana dalam hal ini survivor dan keluarga yang ditinggalkan perlu mendapat perhatian secara menyeluruh, profesional, sistemik dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Negara harus selalu hadir dalam masalah-masalah di masyarakat tapi negara tidak bisa menyelesaikannya sendirian. Maka, diperlukannya sinergi dan dukungan dari semua pihak untuk selalu mendukung, bahu-membahu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul dari peristiwa tersebut.
Berdasarkan pengalaman saya saat terjadi konflik di Aceh, pemerintah menyediakan tempat pengungsian dan memenuhi kebutuhan dasar dari pengungsi korban bencana sosial ini. Kebutuhan dasar yang dimaksud ini adalah kebutuhan tempat tinggal sementara, kebutuhan pangan dan sandang serta kebutuhan pendampingan psikososial bagi korban bencana.
Maka dalam kasus korban Covid-19, saya masih berasumsi bahwa Covid-19 adalah bencana non alam, dan semestinya pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar sebagai bentuk negara hadir bagi warga negaranya yang menjadi korban.
Mungkin saja, penyediaan tempat tinggal sementara dan penyediaan pangan dan sandang tidak diperlukan karena tempat tinggal korban Covid-19 tidak rusak, tetapi kebutuhan pendampingan psikososial sangat dimungkinkan untuk disediakan oleh negara.
Gejala-gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distress dan dapat mempengaruhi kemampuan penyintas bencana untuk menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam kehidupan dengan baik.
Kembali lagi kita ilustrasikan pada kejadian konflik Aceh, anak-anak yang kehilangan orang tua saat konflik terjadi, meninggalkan trauma kebencian kepada pihak-pihak yang menyebabkan kematian keluarganya. Bahkan bagi anak-anak yang kehilangan keluarganya dan tidak mengetahui apakah telah meninggal atau masih hidup, tetap juga membenci peristiwa konflik itu sendiri.
Perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak yang ditinggal paksa seperti ini seringnya adalah perilaku negatif dan akan terus berkembang sampai mereka dewasa. Dan tentunya akan menimbulkan masalah baru lagi bagi masyarakat seperti menjadi “preman”.
Untuk kasus konflik, pemerintah lebih mudah mengidentifikasikan dampak psikososial dari bencana sosial karena berada dalam satu wilayah jangkauan.
Namun untuk korban covid-19, hal ini tidak akan terlihat. Karena keluarga korban bertempat tinggal berbeda-beda lokasi, dan pemerintah juga tidak dapat melihat kehidupan ekonomi sosial dari para keluarga yang ditinggalkan ini.
Jika pada masa lalu, masyarakat tidak mengetahui detil peristiwa selain yang disampaikan oleh pemerintah secara resmi, maka di jaman sekarang yang serba canggih dan cepat, maka informasi berupa berita, foto bahkan video dengan cepat beredar dan dapat diketahui segera oleh khalayak ramai, terlepas berita tersebut valid atau hoax.
Benturan psikososial yang dirasakan oleh survivor dan keluarga yang ditinggalkan dari peristiwa konflik dan pandemi tidak jauh berbeda. Jika sekarang, yang menjadi perbedaan pada proses pemakamannya. Jika pada korban konflik, keluarga yang ditinggalkan tidak dapat melihat jenazah keluarganya, dimana dan bagaimana dimakamkan, untuk korban Covid-19, keluarga hanya dapat melihat dari jauh dan namun tidak dapat memeluk terakhir kali jenazah keluarganya.
Hal ini tentunya akan membangun imajinasi dari keluarga sehingga dapat berdampak pada psikologis keluarga terutama jika yang ditinggalkan adalah anak-anak. Si anak akan membayangkan tubuh orang tuanya “hancur” menjadi serpihan kecil tak bersisa karena virus yang jahat, dan membayangkan juga kesakitan yang dirasakan oleh orang tuanya karena tidak dapat bernafas dan sesak yang dirasakan.
Sedangkan peristiwa dulu, tidak adanya video atau foto, dapat mengurangi asumsi-asumsi yang timbul dalam diri keluarga yang ditinggalkan. Sehingga diharapkan trauma yang ada dapat langsung dikurangi dengan hanya pendampingan keluarga saja.
Dalam kurun waktu beberapa dekade ini, diakui atau tidak, pemerintah telah aware terhadap bencana yang terjadi di Indonesia, baik itu bencana alam dan bencana sosial. Hal ini dtandai dengan dikeluarkannya regulasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana, penanganan bencana saat terjadi dan penanganan dampak bencana dalam jangka panjang.
Dan bisa jadi pemerintah “lupa”, ada jenis peristiwa yang jika dirunutkan maka menjadi bagian dari peristiwa yang berada dalam naungan peraturan itu sendiri. Sudah semestinya pemerintah juga mulai memperhatikan korban yang ditinggalkan dari sebuah peristiwa non alam ini ini. (RbR).[]