Oleh: Satia Zen.
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di Tampere University, Finlandia.
Pada bulan Maret 2021 lalu, lembaga yang bernaung di bawah PBB mengeluarkan laporan perangkingan kebahagian negara di dunia dan Finlandia kembali dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia selama empat tahun berturut-turut.
Banyak pihak mempertanyakan bagaimana kebahagiaan masih dapat dirasakan dan diukur pada saat dunia mengalami bencana pandemi yang tidak hanya mengancam kesehatan namun juga menjadi stimulus untuk krisis multidimensional di berbagai negara.
Tidak bisa dipungkiri Finlandia sendiri tidak luput dari dampak pandemi dalam berbagai bidang. Sehingga timbul pertanyaan: bagaimana warga Finlandia bisa tetap bahagia dalam kondisi pandemi ini?
Jawabannya bisa sangat beragam, namun ada dua faktor yang digarisbawahi oleh laporan tersebut. Pertama, negara-negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi memiliki apa yang disebut kepercayaan dengan sesama warga dan kepada negara. Kedua, kepercayaan tersebut berdasarkan kepada keyakinan bahwa negara akan melindungi hidup dan kehidupan warga negaranya (lives and livelihood).
Ketika pandemi menerpa, beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah Finlandia bisa jadi mencerminkan hal ini. Dan warga juga merespon kebijakan pemerintah berdasarkan kepercayaan dan keyakinan mereka terhadap pemerintahnya.
Sangat mungkin kepercayaan dan keyakinan ini tidak muncul serta merta namun merupakan bagian integral dari kehidupan dan budaya di Finlandia yang kemudian menggarisbawahi kontrak sosial berbasis kepada konsep ‘welfare state’ yang dianut oleh Finlandia saat ini. Hal ini juga senantiasa dijaga sedemikian rupa oleh proses politik yang demokratis.
Sebagai negara berbasis kesejahteraan (welfare state) seperti Finlandia, pemerintah menjamin pemenuhan hak-hak mendasar seperti kesehatan, pendidikan dan pelayanan dasar sosial lainnya dibiayai oleh pemungutan dan pengelolaan pajak yang efektif, efisien dan transparan.
Oleh karena itu pelayanan pendidikan, kesehatan dan layanan sosial lainnya dapat diberikan secara cuma-cuma bagi seluruh warga negara. Tapi apakah pemenuhan hak-hak dasar tersebut akan serta merta menjamin kebahagiaan warga negara?
Disini saya mungkin akan mengaitkan tingkat kebahagiaan dengan konsep spesifik yaitu keterdidikan warga (educatedness) yang merupakah hasil dari proses pendidikan yang dijalankan di negara ini.
Keterdidikan sendiri bisa dijabarkan sebagai kualitas yang menandai hasil dari proses pendidikan. Individu yang terdidik dalam hal ini memiliki pemahaman mendalam akan siapa dirinya dan bagaimana ia akan memposisikan dirinya dalam masyarakat diiringi dengan keterampilan soft skills dan kemampuan menjadi pembelajar seumur hidup (Anderson, 2012).
Pendidikan merupakah salah satu pilar utama dari konsep masyarakat sejahtera (welfare society) di Finlandia, dimana warga negara dengan beragam kondisi dan latar belakang memiliki hak yang sama akan pendidikan berkualitas. Sehingga secara cara kasat mata, saya melihat bahwa belajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari disini. Contohnya ketersediaan pendidikan dasar menengah hingga ke pelosok dan pemanfaatan perpustakaan umum yang sangat baik, hingga Finlandia juga menjadi salah satu negara dengan tingkat literasi terbaik di dunia.
Karena akses pendidikan terbuka lebar untuk semua orang dengan kualitas layanan yang sangat baik, maka berujung kepada tercapainya keterdidikan untuk semua warga negara. Dan mereka memiliki kesadaran tinggi untuk senantiasa belajar meskipun telah selesai dari proses pendidikan formal.
Selain itu, penjaminan dan pemenuhan hak akan pendidikan memiliki tempat khusus dalam pengambilan kebijakan di Finlandia.
Saya melihat bagaimana pemerintah Finlandia membuka lebih banyak akses ke pendidikan tinggi dan kejuruan dalam merespon tingginya angka pengangguran karena perlambatan ekonomi saat pandemi. Hal ini dimungkinkan karena warga negara sebagai tenaga kerja mempunyai keleluasaan untuk kembali ke bangku sekolah saat diberhentikan dari pekerjaan mereka.
Warga Finlandia bisa meningkatkan keahlian, menambah keterampilan atau bahkan berganti jurusan ke bidang yang baru. Selama mereka dapat memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh institusi pendidikan tujuan, mereka dapat belajar tanpa perlu memusingkan biaya pendidikan yang perlu dikeluarkan.
Hal ini juga dimungkinkan karena pemerintah, melalui lembaga jaminan sosial dan serikat pekerja, memberikan tunjangan selama mereka belajar. Meskipun jumlahnya tidak sebesar gaji mereka, namun tunjangan ini membantu para warga yang terdampak pandemi untuk dapat menata kembali kehidupan mereka.
Dalam hal ini, kehidupan dan penghidupan (lives and livelihood) tetap terjaga dengan menimbang kemungkinan warganya untuk berkontribusi kembali di masa depan. Kebijakan ini mensyaratkan kepercayaan dan keyakinan timbal balik antara warga negara dan kepada pemerintah yang juga memelihara optimisme dan harapan selama pandemi. Dan bukankah optimisme dan harapan adalah kunci bagi kebahagiaan?[]