Oleh: Risnawati binti Ridwan.
Penulis adalah Alumnus STKS Bandung dan ASN Pemko Banda Aceh.
Seorang ibu penerima bantuan sosial mendatangi kantor Dinas Sosial untuk melaporkan bahwa tidak dapat mencairkan bantuannya. Setelah ditelusuri permasalahan yang muncul adalah kartu ATM sebagai alat pencairan bantuannya tidak dapat digunakan. Saat dikonfirmasi kepada pihak bank. Jawaban dari pihak bank adalah sedang mengalami proses peralihan dari perbankan sistem konvensional menjadi sistem bank syariah.
Seperti diketahui bahwa Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun (peraturan daerah) tentang Lembaga Keuangan Syariah Nomor 11 Tahun 2018. Tahun 2020, peralihan bank konvensional menjadi bank syariah telah dilakukan oleh bank yang ada di Provinsi Aceh secara bertahap.
Pada 1 Februari 2021, pemerintah juga telah meresmikan pembentukan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan merger 3 BUMN yaitu Bank BRI Syariah, Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri. Dan sesuai dengan arahan dari Kemenko PMK, selanjutnya seluruh bantuan pemerintah di Propinsi Aceh tidak akan disalurkan oleh bank konvensional (BRI,BNI,Mandiri). Bantuan tersebut akan disalurkan melalui Bank Syariah Indonesia (BSI) dan PT. POS (Detik.com, 14/04/2021)
Kartu ATM disable, rusak, terblokir, hilang, belum menerima kartu ATM tetapi sudah menerima buku tabungan, tidak bisa menarik uang melalui agen bank, tidak bisa menggunakan mesin EDC (Electronic Data Capture) untuk mencairkan bantuan non tunai, telah masuk dalam daftar penerima bantuan tetapi belum ada nomor rekening dan lainnya adalah daftar permasalahan penerima bantuan sosial/Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang dilaporkan oleh pendamping sosial lapangan kepada Dinas Sosial beberapa waktu yang lalu. Permasalahan ini muncul saat adanya perubahan bank konvensional menjadi bank syariah yang berlaku di Provinsi Aceh. Bank konvensional yang ditunjuk merupakan bank penyalur bantuan sosial pemerintah dan terhimpun dalam HIMBARA yaitu BRI, BNI, Mandiri dan BTN.
Permasalahan-permasalahan ini semakin melengkapi kesulitan penerima bansos dalam mencairkan bantuannya karena harus melakukan dua kali pekerjaan yang sama. Dimana pada tahun 2020 proses perubahan dari bank konvensional menjadi bank syariah, dan kedua pada tahun 2021 dari bank syariah (BRIS dan BNIS) menjadi Bank Syariah Indonesia. Sehingga waktu yang dibutuhkan semakin lama dalam proses migrasi data nasabah penerima bantuan.
Jika pada tahun lalu KPM masih bisa melakukan penarikan uang melalui ATM Bersama dan buku tabungan bank konvensional di cabang tertentu dan melakukan transaksi non tunai melalui mesin EDC pada agen bank yang telah ditunjuk untuk mencairkan bantuan sembako (beras dan lain-lain). Namun sejak tahun 2021 dan dibukanya Bank Syariah Indonesia, KPM sama sekali tidak dapat lagi mencairkan dana bantuan mereka.
Laporan yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Aceh menyebutkan dari jumlah penerima bansos conditional cash transfer atau yang lebih dikenal Program Keluarga Harapan sebanyak 254.297 KPM dan yang bermasalah dengan belum cair bansosnya sebanyak 2.174 KPM. Artinya hampir satu persen yang mengalami permasalahan dalam mencairkan dana bantuan sosial mereka di seluruh Aceh.
Banyaknya pengaduan yang diterima Dinas Sosial berkaitan dengan permasalahan-permasalahan selama peralihan dari konvensional menjadi syariah menunjukkan bahwa belum adanya kesiapan pemerintah untuk menyediakan fasilitas perbankan sebagai partner pemerintah dalam menyalurkan bantuan kepada masyarakat.
Penerima bansos atau KPM mengalami kesulitan mencairkan dana bansosnya disebabkan beberapa hal seperti diblokirnya kartu ATM atau rusak bahkan hilang. Tidak adanya lagi bank konvensional yang beroperasi di Aceh menuntut KPM harus melakukan pengaduan ke provinsi tetangga yaitu Provinsi Sumatera Utara karena tidak adanya lagi layanan konvensional di tempat mereka. Bahkan untuk proses pencairan melalui buku tabungan juga harus ke provinsi tetangga.
Kesulitan lainnya adalah bagi KPM yang juga mendapatkan Bansos Program Sembako. Prosedur mendapatkan bansos sembako ini adalah KPM harus melakukan transaksi non tunai melalui mesin EDC dari agen bank yang telah ditunjuk. Salah satu program komplementer Kemensos RI juga menyediakan “E-Waroeng” sebagai partner yang menyediakan sembako sehingga KPM bisa langsung mencairkan bansos sembako melalui E-Waroeng dengan mesin EDC nya. Berhubung mesin EDC yang digunakan adalah milik Bank Penyalur yang telah hengkang dari Aceh mengakibatkan KPM tidak dapat mencairkan bantuan sembako mereka.
Belum lagi bagi pengurus E-Waroeng yang juga KPM menjadi kesulitan dalam memproses penyediaan sembako karena persediaan uang berada dalam tabungan tidak dapat dicairkan. Solusi yang diberikan oleh petugas bank adalah menggunakan mobile banking dalam bertransaksi bagi nasabah bank konvensional. Namun solusi ini tidak dapat dijalankan karena KPM ini merupakan orang-orang marjinal yang tidak menggunakan android dan mereka agak gagap dengan teknologi perbankan.
Pendamping sosial juga siaga mendampingi KPM dalam proses ini, namun karena permasalahan perbankan mereka tidak dapat terlibat secara mendalam. Dan pada akhirnya KPM harus melakukan sendiri tetapi mereka tidak percaya diri jika banyak pertanyaan dari pihak bank.
Dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh KPM berkaitan dengan proses pencairan dana pada bank konvensional, alangkah lebih bijak jika pemerintah memberikan solusi agar memudahkan proses pencairan bansos KPM.
Solusi yang bisa dilakukan untuk mempercepat proses penyelesaian penyaluran bansos bagi KPM Aceh ditujukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Untuk pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Sosial RI mempercepat proses penyusunan Memorandum of Understanding atau Perjanjian Kerja Sama dengan Bank Syariah Indonesia yang berpusat di Jakarta. Pihak Kementerian Sosial dapat mengajukan kebutuhan prosedur penyaluran bantuan sosial kepada Bank Syariah Indonesia seperti halnya pada proses awal bantuan pemerintah menjadi bantuan tunai dan menggunakan jasa perbankan.
Bank Syariah Indonesia Pusat juga diharapkan bisa lebih cepat mempersiapkan fasilitas-fasilitas yang digunakan oleh KPM seperti Kartu ATM khusus yang berlaku sebagai identitas penerima bansos sekaligus sebagai ATM dan mesin EDC yang digunakan sebagai e-Wallet dalam proses pencairan bantunan non tunai.
Dan bagi Pemerintah Daerah, solusinya adalah dengan tetap memfasilitasi kebutuhan KPM tanpa melanggar peraturan yang telah ada yaitu menyediakan “Sudut Layanan Khusus” bagi pengaduan nasabah Bank Konvensional yang notabene adalah KPM bansos. Sudut layanan ini hanya memberikan layanan teknis terhadap permasalahan KPM seperti kartu hilang, rusak, atau perubahan data KPM dan tetap tidak melayani transaksi keuangan nasabah. Dengan adanya sudut layanan ini, petugas menerima pengaduan dan dapat segera memproses segera untuk menyelesaikan permasalahan KPM.
Namun demikian, sudut layanan ini tetap diberikan batasan waktu sampai dengan Bank Syariah Indonesia telah mampu memfasilitasi kebutuhan KPM sebagai penerima bantuan sosial dari pemerintah pusat. Jangan sampai tujuan pemberlakukan Qanun Lembaga Keuangan Syariah menjadikan KPM sebagai penerima bantuan tidak dapat bantuannya karena terhambat dengan proses dan fasilitas yang belum tersedia.
Harapan kita bersama adalah tujuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap terwujud tanpa mengorbankan rakyat kecil sebagai penerima bantuan dan tentunya tujuan akhirnya juga dapat mengurangi angka kemiskinan di Aceh yang masih tertinggi di Pulau Sumatera. []