Oleh: Roy Waluyo.
Dosen Universitas Ibn Khaldun, Bogor.
Ironis, di negara yang katanya kaya sumber daya alam, seperti syair lagu Koes Plus “tongkat kayu jadi tanaman”, setiap tahun angka penganggurannya terus bertambah. Anehnya, mereka yang nganggur bukan tidak sekolah. Justru dilihat dari tingkat pendidikannya, lulusan SMK masih mendominasi. Lulusan perguruan tinggi pun tidak mau kalah untuk menyumbang daftar panjang pengangguran intelektual. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), menurut pendidikan yang ditamatkan, dari 9,77 juta angka pengangguran terbuka 7,35 persennya adalah lulusan universitas.
Angka penganguran semakin meningkat terutama sebagai dampak pandemi covid-19. Sebagaimana dikatakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada pembukaan ‘Pelatihan Berbasis Kompetensi’ di Balai Latihan Kerja (BLK) Solo, beberapa waktu lalu. Ida mengatakan Angka pengangguran di Indonesia selama pandemi Covid-19 meningkat dari 4,9 persen menjadi 7 persen. atau 9,7 juta.
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja, ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum bisa memperolehnya. Padahal telah berusaha secara maksimal. Dapat juga seseorang dikatakan mengganggur bila di sebuah perusahaan memiliki kelebihan tenaga kerja yang menyebabkan aktivitas perusahaan tersebut tidak efisien (penganguran tersembunyi).
Banyak faktor yang meyebabkan hal ini terjadi. Antara lain tidak sebandingnya ketersediaan lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja yang setiap tahunnya cenderung meningkat. Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi. Banyak perusahaan memilih mengurangi jumlah tenaga kerjanya dengan PHK atau merumahkan sebagian karyawawannya sebagai bentuk effisiensi dan menjaga stabilitas perusahaan.
Minimnya jiwa kewirausahaan (entrepneurship) pada lulusan, menjadikan bekerja sebagai orientasi utama. Selanjutnya, pekerjaan atau profesi yang mensyaratkan kualifikasi tertentu, telah mengeser tujuan para pencari ilmu menjadi pencari ijazah. Ada kesalahan penalaran pada prinsip kausalitas. Pekerjaan yang sejatinya adalah akibat, malah menjadi sebab. Disorientasi ini mengakibatkan peserta didik menuntut ilmu dengan cara yang berbeda.
Masalah lain adalah, cara pandang kebanyakan masyarakat yang telah berlangsung sejak lama, yang beranggapan semakin seseorang bisa bekerja tanpa harus berkeringat. Bekerja dengan pakaian rapih, bersih dan wangi, maka akan dipandang sebagai orang yang sukses. Mentalitas priyayi semacam ini merupakan warisan feodal. Sehingga menjadi pegawai tetap jadi pilihan. Orang tua rela menjual berpetak-petak sawah demi untuk membiayai kuliah anaknya, dengan tujuan agar si anak dapat bekerja ditempat bonafide. Karena menjadi petani dianggaptidak menjajikan kekayaan.
Hal ini menjadi PR kita semua. Bagaimana agar para fresh graduate maupun pekerja yang terdampak, dengan ilmu dan keterampilan yang dimilikinya mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru. Bagaimana merubah pola pikir, baik siswa atau mahasiswa agar tidak selalu berorientasi sebagai pencari kerja, melainkan menciptakan lapangan kerja.
Beberapa perguruan tinggi telah menyadari pentingnya jiwa entrepneur. Respon konkritnya mejadikan entrepneur sebagai profil lulusan. Entrepneurship dijadikan kurikulum wajib. Harapannya dengan menanamkan jiwa Entrepneurship sejak masih dibangku kuliah, pada saat mereka lulus nanti mereka sudah bisa mandiri. Menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri bahkan bagi orang lain.
Jiwa entrepneurship ini penting, karena kesuksesan seseorang memang bukan perkara tinggi atau rendahnya pendidikan. Bukan juga karena gelar yang panjang. Di Negeri ini terlalu banyak contoh orang sukses, yang tidak sempat menamatkan perguruan tinggi. Bahkan hanya lulusan sekolah dasar. Sebut saja Andri Wongso, motivator kondang asal Malang yang udah menyabet penghargaan “The Best Motivator Indonesia versi Kompas”. Atau bos Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja yang sukses menduduki peringkat kedua sebagai orang terkaya di Indonesia.
Dengan jiwa entrepneurship seseorang akan fokus pada karya atau produk. Apa manfaatnya karya kita untuk orang lain. seberapa besar kontribusi karya kita dalam membantu menyelasaikan masalah orang lain. Senantiasa berpikir untuk menemukan produk-pruduk kreatif untuk menjawab kebutuhan pasar. Dengan begitu karya mudah menemukan tempat. Karena selalu ada ruang kesuksesan bagi siapa saja yang memiliki karya pola pikir yang berbeda. “Sedikit beda lebih baik daripada sedikit lebih baik” (Pandji Pragiwaksono)
Seseorang yang memiliki jiwa entrepneurship akan senantiasa meng-upgrade diri. Dia sadar belajar merupakan cosmic rule kehidupan agar kita tetap eksis. Belajar dalam hidup ini, diibaratkan seperti kita mengayuh perahu ke arah hulu di sungai yang deras. Sekejap saja kita berhenti belajar maka kita akan jadi bagian dari masa lalu. Seorang penebang pohon, sesekali perlu mengambil jeda dari aktivitas rutin untuk mengasah kapaknya.
Karakter lain dari seseorang yang memiliki jiwa entrepneur adalah tekun. Tekun merupakan kunci sukses dalam hal apapun. Consistency makes the rain drops to create holes in the rock. Ketekunan merupakan ketetapan dan kemantapan dalam bertindak. Seseorang sudah mencapai level tekun bila dia telah secara mantap melakukan sesuatu secara terus menerus. Aktivitas tersebut bukan lagi sekedar hobi, mengisi waktu luang atau kegiatan yang tergantung mood. Namun hal tersebut sudah jadi ‘menu harian’ wajib aktivitas harian, sesibuk apapun dirinya.
Internalisasi nilai-nilai entrepneurship (bertanggung jawab, percaya diri, berani mengambil resiko dan tekun) sejak dini, diharapkan mampu menjawab masalah pengangguran khususnya di Indonesia. Tidak menjadikan bekerja sebagai orientasi utama, diharapkan lahir para entrepneur yang menyediakan lapangan kerja baru. Diperlukan dukungan semua pihak, mulai dari keluarga, institusi pendidikan dan pemerintah. Semua pihak bersinergi bagaimana merubah mindset para peserta didik bahwa wirausaha itu keren. Sampai kebijakan yang menawarkan kemudahan terkait regulasi pendirian usaha.[]