Oleh: Dr. Amri, SE, M.Si.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Dalam dialog publik yang bertema “16 Tahun MoU Helsinki dan Kesejahteraan Rakyat Aceh” yang diselenggarakan oleh Hurriah Foundation, Rabu (11/8) di Banda Aceh. Saya menekankan bahwa perencanaan pembangunan ekonomi Aceh telah gagal dilakukan dengan baik, yang direncanakan dengan yang dikerjakan sering sekali tidak sinkron dalam implimentasinya. Buktinya yang direncanakan sesuai qanun RPJM “Aceh Hebat” tapi yang dikerjakan “Aceh Bereh.
Indikator lain yang dapat dilihat dari kegagalan perencanaan Aceh bisa dikaji dari silpa setiap tahunnya, pada tahun 2020 saja silpa APBA sebesar Rp3,96 Trilyun. Ini bukti bahwa perencanaan pembangunan Aceh gagal.
Padahal MoU Helsinki dan UUPA bagus sekali. Dan harus di ingat, UU Nomor 11 Tahun 2006 itu adalah undang-undangn Republik Indonesia tentang Pemerintah Aceh. Saya membuka-buka UUPA itu. Kesimpulan UUPA itu, menekankan pada 4 aspek. Pertama pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil dan korban konflik. Kedua, Pemberdayaan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, Pemberdayaan Politik dan keempat pemberdayaan sosial dan budaya. Jadi Aceh punya kekhususan dan keistimewaan sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA. Sementara realitasnya kesejahteraan masyarakat Aceh tidak tercapai.
Pertumbuhan ekonomi Aceh terendah di sumatera. kondisi ekonomi masyarakat Aceh dilihat secara indikator makro ekonomi. Provinsi Aceh sangat menyedihkan. Antara lain, pertumbuhan ekonomi 2.6 persen. Terendah di sumatera. Tingkat kemiskinan 15,43 persen, dan di perdesaan 17,96 persen. Ini angka yang cukup parah tingkat kemiskinan di perdesaan Aceh. Begitu juga halnya dengan tingkat pengangguran, juga nomor 1 di sumatera, dengan angka gini rasio 0,319, yang menyejutkan tidak terjadi pemerataan ekonomi di 23 kabu kota, 286 kecamatan dan 6459 gampong.
Pada umumnya, 5,5 juta masyarakat Aceh hidup di sektor pertanian, masyarakat dipinggir laut hidup di sektor perikanan baik tambak maupun laut. Ditengah-tengah masyarkatnya hidup di sektor perkebunan. Sementara anggaran perencanaan tidak berfokus kepada bidang ini. Sehingga masyadakat Aceh terus dalam hidup kemiskinan. Tidak mungkin sejahtera.
Sementara dana yang masuk ke Aceh sangat besar. Misalnya dana otonomi khusus Aceh (DOKA) sejak 2018 sampai 2021 lebih kurang telah diberikan sebesar Rp 90 Trilyun. Belum lagi dana DAU, DAK dan pendapat asli Aceh dan dana transfer MIGAS. Setiap tahun dana APBA di dominasi oleh dana otsus. Hal ini tidak berbanding lurus dengan jumlah uang masuk ke Aceh dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap situasi Aceh ini? Mengapa bisa begini, dimana letak kesalahannya dan siapa yang paling bertanggungwab tentang persoalan ini. Sementara pemerintah pusat telah memperhatikan Aceh berarti kesalahannya terletak pada pemerintah Aceh yang salah mengurus manajemen anggaran. Khususnya kebijakan perencananaan pembangunan dan kebijakan penganggaran uang negera (pengelolaan APBA). Kegagalan perencanaan dan pengelolaan uang negara (planning and budgeting). Direncanakan lain, yang dikerjakan lain. Makanya sulit ekonomi Aceh bangkit. Indikator lain bisa dilihat dari silpa setiap tahunnya, pada tahun 2020 silpa APBA sebesar Rp3,96 Trilyun. Ini bukti bahwa perencanaan pembangunan Aceh gagal.