Oleh: Risnawati binti Ridwan.
Penulis adalah Alumnus STKS Bandung dan ASN Pemko Banda Aceh.
Membaca berita tentang kasus korupsi yang dilakukan salah satu mantan Pendamping Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Malang membuat kita geram sekaligus marah. Orang yang seharusnya membantu masyarakat miskin dalam mendapatkan bantuan pemerintah, malahan menilap bantuan tersebut untuk kebutuhan diri sendiri.
Tetapi kita tidak dapat melakukan generalisasi bahwa semua pendamping sosial PKH juga ikut melakukan kesalahan yang sama. Ibarat pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, karena satu pendamping sosial yang melakukan kesalahan rusak reputasi pendamping sosial lainnya.
Selama masa pandemi ini, profesi pendamping sosial atau yang lebih sering disebut pendamping bantuan sosial (bansos) sedang naik daun. Tentunya berkaitan dengan program pemerintah dalam memberikan bantuan sosial kepada masyarakat miskin dan terdampak pandemi. Pada saat pemerintah menerapkan peraturan pembatasan gerak masyarakat, dari Pembatasan Sosial Berskala Besar sampai sekarang Pembatasan Pergerakan Kegiatan Masyarakat berlevel, kebijakan tersebut dianggap telah membuat rakyat semakin kesulitan mencari nafkah, sehingga bantuan pemerintah merupakan satu-satunya jalan bagi masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya. Disinilah peran pendamping bansos yang semakin panjang dan sulit untuk dilaksanakan dibandingkan masa-masa sebelum pandemi.
Dalam beberapa tahun ini, pekerjaan saya menuntut untuk berhubungan erat dengan pendamping bansos. Berdasarkan pengalaman bekerja sama dengan mereka, banyak hal yang tidak diketahui oleh orang banyak. Belum lagi anggapan bahwa pendamping bansos tidak ada kerja, hanya menerima gaji yang sering disebut magabut alias makan gaji buta. Padahal jika dibandingkan dengan pegawai di kantor-kantor pemerintah yang berkaitan dengan bansos, pekerjaan yang dilakukan oleh beberapa orang pegawai dilakukan oleh satu pendamping bansos. Tentunya ini bukan hal yang adil bagi mereka. Tetapi itulah realitanya.
Pendamping bansos ini merupakan orang-orang yang berdiri terlalu kekiri di hajar pemerintah, berdiri terlalu ke kanan di tampol masyarakat. Padahal mereka juga orang-orang yang terdampak dari semua kebijakan. Sejak masa pandemi tahun lalu, pendamping bansos telah bekerja extra keras untuk menyiapkan data masyarakat yang mendapatkan bansos dari pemerintah. Mereka harus bekerja siang dan malam agar data yang dihasilkan adalah data valid sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Bahkan mereka telah bekerja sebelum masa panik ini.
Jika sekarang ini pemerintah telah mengumumkan bahwa akan ada bansos tambahan (lagi) bagi masyarakat miskin, maka pendamping bansos juga harus melaksanakan perannya semaksimal mungkin.
Beberapa peran dan tugas pendamping lapangan bansos di balik layar ini yang jarang diketahui oleh masyarakat ini antara lain, pertama, sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Pendamping bansos merupakan orang-orang yang direkrut oleh pemerintah untuk menjalankan program pemerintah. Mereka ini biasanya adalah orang-orang yang mempunyai jiwa filantropi yaitu seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Pemerintah memberi penghargaan kepada mereka dengan memberikan tali asih atau honor karena mereka telah membantu pemerintah menjalankan program kegiatannya. Secara administrasi, mereka ini hanyalah separuh jiwa dari pemerintah. Sehingga wajar saja jika para pendamping bansos ini tidak dapat mengatasnamakan pemerintah seratus persen.
Tugas utama dari pendamping ini adalah memastikan orang-orang yang terdapat dalam data berhak mendapatkan bansos dari pemerintah. Tugas dan fungsi ini tentunya mengikuti mekanisme peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Jadi bukan tugas mereka untuk memasukkan nama keluarga mereka dalam daftar penerima bansos seperti anggapan masyarakat selama ini.
Idealnya setiap pendamping itu mempunyai program yang menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan tempat dia mendaftar. Misalnya si A melamar menjadi pendamping bansos program A, maka penerima manfaat program A yang menjadi tanggungjawabnya. Tetapi di lapangan, masyarakat tetap memahami bahwa urusan bansos ya menjadi urusan pendamping, terserah programnya A, B, C, bahkan Z. Permasalahan ini menjadi dilema tersendiri bagi si pendamping, tidak dibantu berdampak pada masyarakat, jika dibantu bukan merupakan tanggungjawabnya. Adanya video viral Bu Risma menanyakan penerima bansos dan mengatakan dananya dipotong sebesar lima puluh ribu (KompasTV, 29 Juli 2021) menunjukkan bukti bahwa masyarakat kurang memahami peran pendamping dan jenis bansosnya, sehingga si pendamping membuat video klarifikasi yang menjelaskan bahwa bansos yang diterima bukan dengan pendamping yang disebut oleh penerima. Namun pada ending nya jika dasarnya berjiwa sosial bisa tidak bisa tetap membantu masyarakat.
Kedua, Pendamping bansos ini bisa juga berperan sebagai bamper pemerintah dalam menghadapi masyarakat. Pendamping lapangan bansos adalah garda terdepan untuk urusan pelayanan bansos. Protes masyarakat yang tidak mendapatkan bansos biasanya harus dihadapi oleh pendamping lapangan ini. Pemerintah dalam hal ini institusi yang berkaitan langsung dengan pelayanan bansos akan menginstruksikan kepada pendamping untuk memberikan penjelasan jenis-jenis masyarakat yang bisa dan mendapatkan bansos.
Mereka juga harus menahan badan untuk menerima keluh kesah dari masyarakat sebagai efek dari layanan bansos. Mereka harus menyediakan telinga yang lebar dan hati yang besar jika ada masyarakat yang memaki mereka dengan mengatakan pendamping memilih dan memilah orag-orang kalangan sendiri untuk mendapatkan bansos.
Kasus yang terjadi di salah satu kota di Pulau Jawa, dimana petugas penyalur dibentak oleh penerima bantuan sehingga sampai menangis. Dan petugas tersebut hanya bertugas sebagai penyalur. Artinya hanya menyalurkan bantuan tanpa melihat berhak atau tidak berhak. Tetapi di mata masyarakat semua pihak yang berkaitan dengan bantuan patut diminta pertanggungjawabannya.
Bahkan, saya sendiri pernah didatangi oleh masyarakat yang marah karena bantuannya telah dihentikan. Saya mencari data dan informasi lengkap pada pendamping dalam wilayah yang sama dengan si pengadu, kemudian saya menjelaskan mekanisme penghentian bansosnya. Namun beliau tidak menerima dan menggebrak meja di depan saya. Jujur saja, saat itu saya agak takut, siapa yang tidak takut dengan bapak-bapak yang marah-marah dan menggebrak meja, padahal yang mendapatkan bantuan istrinya. Dan saya diancam akan dilaporkan ke Ombudsman karena telah menghalanginya mendapatkan bansos.
Belum lagi cerita pendamping di lapangan, ancaman dan teror yang diterima jika bansosnya bermasalah bahkan berhenti. Salah satu pendamping dalam wilayah tanggung jawab saya, mengadu kepada saya bahwa dia diancam dengan senjata tajam karena telah menghentikan bansos yang diterima istrinya. Padahal komponen sebagai syarat menerima bansos tidak ada lagi. Secara sistem aplikasi, jika tidak ada lagi syarat yang bisa dipenuhi maka bansosnya akan dihentikan. Sudah diberi penjelasan sejak awal menerima bansos, tetapi masyarakat menganggap bahwa bansos itu bersifat seperti gaji bulanan sehingga selalu ada.
Peran ketiga ini berkaitan dengan poin kedua. Pendamping bansos akan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di wilayah kerjanya. Biasanya masyarakat berduyun-duyun mendatangi rumah pendamping sosial jika sudah ada pengumuman waktunya penyaluran bantuan. Masyarakat akan membanding-bandingkan situasi mereka dengan tetangganya untuk menerima bansos. Walaupun dengan penjelasan sesuai peraturan, sebagian masyarakat tetap tidak suka mendengar penjelasan pendamping. Pendamping bansos bahkan dihubungi saat malam hari di jam-jam istirahat. Tentunya dengan intonasi yang tidak ramah. Seakan-akan uang pendamping lah yang diberikan kepada penerima bansos.
Belum lagi ada pendamping bansos yang disalah-salahkan dalam. Pengalaman ini baru saja terjadi dalam lingkungan kerja saya, saat pendamping melakukan verifikasi dan validasi untuk mendapatkan bantuan tertentu, kemudian bantuan lainnya yang telah diterima sebelumnya menjadi hilang, maka masyarakat tersebut menyalahkan pendamping tadi.
Peran yang terakhir adalah sebagai kotak Doraemon. Setelah penjelasan panjang kali lebar mengenai persyaratan penerima bansos, masyarakat juga menjadikan pendamping bansos sebagai tempat curhat permasalahan keluarga mereka. Baik itu masalah ekonomi bahkan masalah rumah tangga seperti penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga.
Bahkan sering kali, pendamping bansos yang masih single harus menjadi tong sampah masalah rumah tagga. Bagaimana mereka harus memberi saran sedangkan mereka sendiri belum pernah menikah dan tidak mempunyai pengalaman berumah tangga. Tentunya hal ini sangat berkaitan juga dengan kekuatan mental dari si pendamping itu sendiri.
Masyarakat juga menuntut pendamping untuk mengurus semua kebutuhan pribadi dari masyarakat ini seperti kebutuhan administriasi kependudukan dan sejenisnya. Pendamping juga bertindak sebagai penghubung dengan pihak lain seperti perbankan jika bansos yang diterima berbentuk tunai. Atau pendamping berperan sebagai buruh angkut dan kurir karena ikut mengantar bansos ke rumah-rumah.
Memilih profesi menjadi pendamping bansos memang diperuntukkan bagi orang-orang yang mempunyai kekuatan lebih, baik itu dalam berkomunikasi dengan segala jenis masyarakat, masyarakat miskin, pegawai pemerintahan (desa) bahkan pihak lain seperti perbankan bahkan harus mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang lebih. Mungkin profesi ini sudah bisa dipertimbangkan juga oleh para freshgraduate yang katanya lebih kuat mental karena tamat pada masa pandemi ini. Dan yang utama yang perlu kita pahami adalah seperti quote diantara pendamping bahwa “tidak ada yang abadi dalam dunia bansos”. (RbR).[]