Oleh: Eka Januar, M.Soc.Sc
Dosen Politik dan Kebijakan Publik UIN Ar-Raniry.
Kasus korupsi di Aceh seperi jamur di musim hujan. Sejak adanya dana otonomi khusus potensi korupsi besar sekali terjadi disini. Belum ada tanda-tanda berakhir. Salah satu sumber potensi kasus korupsi adalah dana pokir anggota DPR Aceh. Dana otonomi khusus lebih 70 Trilyun belum memberi dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Aceh.
Seharusnya dengan adanya Syariat Islam di Aceh, maka kasus-kasus korupsi harusnya tidak ada, tapi yang terjadi ditengah penerapan Syariat Islam, kasus-kasus korupsi dan penyelewangan anggaran negara terus terjadi setiap tahunnya.
Baru-baru ini lagi panas kasus korupsi beasiswa misalnya. Seharusnya aktor yang sudah menjadi tersangka di tuntaskan di pengadilan. Tapi yang terjadi adalah ada upaya menjadikan penerima beasiswa dalam hal ini mahasiswa untuk dijadikan tersangka. Banyak kasus-kasus korupsi di Aceh tidak diselesaikan segera, tapi dibiarkan terjadi tanpa proses dan kepastian hukum.
Keberadaan KPK di Aceh dalam upaya menuntaskan sejumlah kasus korupsi di Aceh juga tidak mendapat kepastian hukum yang jelas. Dari beberapa orang yang dijadikan saksi belum ada tindakan apapun untuk dijadikan tersangka. Padahal sejumlah penyelewengan terus terjadi di Aceh.
Kenapa korupsi itu terus terjadi di Aceh, karena tidak ada kepastian hukum. Dan terkesan adanya pembiaran. Jadi selama kepastian hukum tidak ada, maka sejauh itu pula korupsi terus terjadi di negeri syariat ini. Politik memberikan andil yang cukup besar bagi terjadinya koroupsi. Karena elit politik membutuhkan biaya politik.
Untuk menghentikan potensi korupsi di Aceh, pemimpin di Aceh harus menjadi teladan. Itu yang sangat kurang kita dapatkan sekarang ditengah iklim dunia kepartaian politik seperti saat ini. Pimpinan daerah harus menjadi contoh, untuk melahirkan good dan clear government.
Indek pemberatasan korupsi nasional dan di Aceh cukup lemah. Ketiga datang KPK di Aceh animo masyarakat sangat tinggi, tapi apresiasi itu sirna, tidak ada yang menjadi tersangka. Padahal Aceh bukan daerah pencegahan korupsi, tapi menjadi daerah penindakan. Sejauh ini, penindakannya sangat kurang.
Memberantas korupsi harus dimulai dari proses pemilihan Gubernur dan DPR Aceh yang baik. Ini masalah, karena budaya politik kita yang terpilih menjadi gubernur bukan karena kapasitas tapi karena pembiayaan politik. Korupsi di Aceh menjalar kemana-kemana.
Edukasi tentang bahaya korupsi harus terus dilakukan, mata kuliah anti korupsi hal yang penting di ajarkan untuk mahasiswa. Penting dilakukan sebagai bahan pengawal anti terhadap korupsi. Korupsi terjadi menurut kalompok behavior karena faktor keluarga. Memenuhi gaya hidup keluarga, karena dianggap sukses kalau banyak uang. Akhirnta berani mengambil yang bukan haknya. Korupsi itu perilaku menyimpang, penyimpangan pertama dilakukan oleh Iblis. Kalau kita mau lihat perilaku koruptor hari ini itu, adalah melakukan jejak prilaku Iblis.
Momentum damai Aceh, harusnya masyarakat dapat hidup sejahtera, tapi jatah hidup sejahtera itu di korupsi oleh perilaku elit. Ibu di rumah harus menjadi pengawal suapaya suaminya yang membawa uang besar kerumah harus dipertanyakan sumbernya. Dan kebijakan harus baik, penjalan kebijakan juga harus baik pula. Berbagai regulasi hukum pengawasan korupsi telah ada.
Korupsi di Aceh cukup konyol, misalnya proyek yang belum selesai 100 persen, tapi ASN berani membayarnya 100 persen. Menurut saya, hukuman yang cocok untuk pelaku korupsi adalah hukuman mati. Hukuman cambuk sendiri tidak ada untuk koruptor karena hanya fokus kepada penyalahgunaan maksiat sepereti zina dan lainnya. Di Aceh mungkin saja, qanun potong tangan atau hukum cambuk bisa saja diterapkan kepada koruptor.
Apapun kondisi Aceh hari ini, kedepan korupsi di Aceh harus bisa hilang. Tentu harus melalui kebijakan. Peran staholder harus ditingkatkan, media juga harus berperan untuk mengawal potensi kasus korupsi. Media harus membuka kasus-kasus korupsi di Aceh, supaya Aceh aman dan masyarakatnya sejahtera.