Oleh: Juanda Djamal
Ketua Fraksi PA DPRK Aceh Besar
Dinamika politik nasional telah bergerak pada atmosfir politik yang mendegradasikan nilai-nilai demokrasi. Pilkada Aceh dan sejumlah daerah di Indonesia berhasil ditunda sampai tahun 2024. Saat ini sedang dibangun narasi perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi sampai tahun 2027. Konsentrasi publik semakin bergeser ke perdebatan politik dan isu-isu ekonomi atas langka dan tingginya harga minyak goreng dan kenaikan BBM. dan isu tersebut teredam oleh menguatnya isu politik yang memaksa mahasiswa kembali melakukan demonstrasi.
Namun, sejauh ini kita berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap pada jadwal yang sudah disepakati yaitu 14 Februari 2024. Termasuk di Aceh dan khususnya Aceh Besar, Komisi Pemilihan Independen (KIP) Aceh, berdasarkan informasi dari beberapa komisioner sudah memulai persiapan-persiapan ke tahapan pemilu, kita menunggu persetujuan DPR RI atas Rancangan Peraturan KPU tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024.
Kembali kepada politik Aceh Besar, kita berhadapan dengan 5 (lima) agenda strategis menuju pemilu 2024. Pertama; Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) tahun 2022-2025. Kedua; penentuan Penjabat kepala daerah Aceh Besar, dimana Bupati/Wabup akan berakhir pada 10 Juli 2022. Ketiga; Perubahan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di DPRK. Keempat; Pemilihan komisioner komisi pemilihan Independen (KIP) Kabupaten Aceh Besar. Kelima; Penambahan kursi DPRK Aceh Besar dari 35 kursi menjadi 40 kursi, sehingga berimplikasi pada pembentukan Daerah Pemilihan (Dapil) atas pertimbangan azas pemerataan berdasarkan sebaran pemilih
Namun demikian dalam tulisan ini, penulis coba melihat dua agenda strategis yaitu agenda pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Penambahan kursi DPRK Aceh Besar. Pertimbangannya terhadap kedua agenda tersebut adalah berhubungan dengan dua kelembagaan, yaitu eksekutif dan legislatif. Keberadaannya sangat penting dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan pembangunan Aceh Besar.
Penentuan Penjabat Kepala Daerah Aceh Besar
Beberapa nama mulai menguap ke permukaan sebagaimana perguliran nama ditingkat Provinsi untuk Pj Gubernur Aceh. Mereka dan timnya sudah mulai bekerja melakukan berbagai pendekatan dan lobbi ke Jakarta. Tentunya, komitmen-komitmen politik tidak bisa dikesampingkan dalam lobi-lobi tersebut.
Namun demikian, keberadaan Penjabat memiliki peran strategis untuk mereorientasikan kebijakan pembangunan dalam 2-3 tahun kedepan. Mengingat dan mempertimbangkan posisinya lebih independen, tidak di ganggu oleh timses yang cenderung merusak agenda strategis pembangunan. Penjabat hanya berhadapan dengan legislatif, dimana negosiasi Kebijakan Umum Program dan Anggaran dapat dibangun atas kepentingan politik pembangunan Aceh Besar.
Tentunya, 2-3 tahun kedepan, relasi eksekutif-legislatif, memberikan dampak yang besar atas pembangunan. Maka, peran AKD, Fraksi dan personal DPRK sangat mempengaruhi arah kepemimpinan Penjabat Kepala Daerah kedepan. Namun, kita berharap perilaku politik mereka tetap mengedepankan kepentingan politik pembangunan Aceh Besar. Mengelola semua potensi sumber daya (resources) guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, efektifitas layanan pemerintahan, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Penambahan Penduduk dan Kursi DPRK
DPRK Aceh Besar, sebagai institusi negara yang mengelola perwakilan partai-partai politik seperti PAN (7 kursi), PA (5 kursi, (PKS (5 kursi), PDA (4 kursi), Golkar (3 kursi), Demokrat (3 kursi), Gerindra (3 kursi), PNA (2 kursi), PKB (1 kursi), PBB (1 kursi) dan NasDem (1 kursi), adalah sangat berkepentingan dimulainya tahapan pemilu 2024. Apalagi Kabupaten Aceh Besar, secara jumlah kursi di DPRK bertambah menjadi 40 kursi, karena berdasarkan data dari dinas kependudukan dan catatan sipil, jumlah penduduk Aceh Besar mencapai 416.532 jiwa (semester II 2021).
Kondisi demikian, mengharuskan KIP Aceh Besar melakukan kajian mendalam atas penambahan kursi DPRK Aceh Besar dari 35 kursi menjadi 40 kursi tersebut, tentunya diselaraskan dengan penambahan jumlah penduduk dan sebarannya di 23 kecamatan. Hal ini penting guna memastikan azas pemerataan atas keterwakilan setiap kecamatannya. Maka, terbuka kemungkingan Daerah Pemilihan (Dapil) dapat diatur lebih sesuai dan merata, sehingga komposisi keterwakilan daerah pemilihan lebih terbuka, merata, adil dan tidak banyak suara lebih, karena salah satu dampaknya adalah biaya politik yang tinggi.
Untuk itu, Fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Besar sangat menghendaki peninjauan ulang atas Daerah pemilihan dan dilakukan penyesuaian kembali. Kami mengusulkan seperti ; Dapil I (Lembah Seulawah, Seulimuem, Jantho), Dapil II (Kuta Cot Glie, Indrapuri, Kuta Malaka), Dapil III (Montasik, Sukamakmur, Ingin Jaya), Dapil IV (Simpang Tiga, Darul Kamal, Darul Imarah), Dapil V (Lhoong, Leupung, Lhpknga, Peukan Bada, Pulo Aceh), Dapil VI ( Kuta Baro, Blang Bintang, Krueng Barona Jaya), dan Dapil VII (Darussalam, Baitussalam, Mesjid Raya). Tentunya proposal ini dapat diajukan oleh fraksi manapun, namun KIP tetap berperan dalam merumuskan kerangka ini, karena pengesahannya oleh Komisi Pemilihan Umum di Jakarta.
Manuver Politik Menuju 2024
Tentunya, semua partai politik di Aceh Besar sudah mulai mempersiapkan diri menuju pemilu 2024. Karena hasil pemilu berpengaruh besar terhadap penentuan calon bupati/wakil bupati pada pilkadasung 2024/2025. Namun demikian, setiap partai tersebut memiliki beragam tantangan. Utamanya kontradiksi internal yang selalu saja berimplikasi pada pergerakannya menuju pemilu 2024.
Namun demikian, peran perwakilan parpol yang ada di DPRK menjadi strategis saat ini, upaya memerankan posisi startegis sudah dimulai dengan komunikasi politik antar mereka untuk memiliki peran strategis dalam institusi tersebut. Saat itu dimiliki, maka pergerakan politik yang dilakoni oleh mereka memberikan dampak politik yang lebih besar dalam mempengaruhi kebijakan maupun membangun image politik dihadapan publik. Tentunya, publik menilai, apakah manuver-manuver itu sebagai politik populisme ataukah memiliki nilai-nilai, diskursus, dan menpengaruhi sistem dan agenda politik-ekonomi maupun politik-budaya secara lebih mendasar atas tatanan sosial di Aceh Besar.
Maka, 2-3 tahun kedepan, kiprah DPRK sangat menentukan arah, strategi dan agenda politik pembangunan kesejahteraan Aceh Besar. Tiga fungsi legislatif, jika efektif dikelola dan efektif dijalankan oleh DPRK maka capaian pembangunan ditahun 2024 memiliki dampak positif bagi kemajuan Aceh Besar 5-10 tahun kedepan. Apalagi tahun 2030, kita mendapatkan bonus demograsi yang dapat menjadi lompatan jauh kedepan kesejahteraan rakyat Aceh Besar.
Waktu kita miliki sangat singkat tentunya, hanya sembilan tahun (2022-2030). Dapatkah DPRK dan Pemkab melakukan manuver politik pembangunan guna mengefektifkan penggunaan anggaran yang terbatas menjadi modal untuk mengelola potensi sumber daya (resources) yang kita miliki untuk menumbuhkan ekonomi, meningkatkan PAD, meningkatkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, ataukah kita masih menjebakkan diri dalam kerja rutinitas ? []