SAGOETV | BANDA ACEH – Meskipun kaya akan sumber daya alam, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Aceh, Safuadi, ST., M.Sc., Ph.D, menegaskan bahwa permasalahan utama bukan hanya pada kekayaan alam yang melimpah, melainkan pada tata kelola dan struktur ekonomi yang masih lemah.
Dalam Podcast dengan SagoeTV yang dipandu host Mukhlisuddin Ilyas, Safuadi mengungkapkan hasil observasinya selama lima tahun bertugas di Aceh. Ia menyimpulkan bahwa tanpa perbaikan tata kelola, manajemen ekonomi, dan kebijakan strategis, Aceh akan terus mengalami stagnasi ekonomi meski mendapat alokasi dana yang besar, termasuk dari Dana Otonomi Khusus.
“Tidak bisa hanya mengandalkan kekayaan alam. Yang lebih krusial adalah bagaimana kita mengelola sumber daya tersebut dengan baik. Faktor manajemen, sumber daya manusia, serta kebijakan yang tepat sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi di Aceh,” ujarnya dalam Podcast SagoeTV yang tayang 13 Nov 2024.
Infrastruktur dan Industri
Salah satu persoalan yang diangkat oleh Safuadi adalah kurangnya infrastruktur pendukung serta minimnya industri manufaktur yang bisa mengolah hasil bumi Aceh. Ia menyoroti sektor perikanan sebagai contoh nyata bagaimana potensi besar yang dimiliki Aceh belum termanfaatkan secara maksimal.
“Kualitas ikan tuna dari perairan Aceh, khususnya di sekitar Sabang, sebenarnya sangat tinggi. Namun, tanpa sistem penyimpanan yang baik seperti pendingin (cold storage), kualitas ikan menurun drastis. Akibatnya, harga jualnya anjlok di pasar global,” jelasnya.
Hal serupa juga terjadi pada sektor perkebunan, seperti kopi, nilam, dan kakao. Produk-produk unggulan ini masih dijual dalam bentuk bahan mentah, bukan produk olahan bernilai tambah. Kondisi ini membuat Aceh kehilangan peluang besar dalam meningkatkan nilai ekspor serta membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal.
Kebijakan Berbasis Data
Selain tata kelola yang lebih baik, Safuadi menekankan pentingnya membangun kepercayaan (trust building) bagi para investor. Ia menilai bahwa iklim investasi di Aceh masih belum cukup menarik bagi pelaku usaha karena berbagai kendala birokrasi dan regulasi yang kurang kondusif.
Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya kebijakan yang berbasis data dan riset. “Setiap kebijakan harus didasarkan pada data yang akurat dan analisis yang komprehensif. Tanpa itu, program pembangunan ekonomi hanya akan bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan,” tambahnya.
Sebagai bagian dari upaya mendorong perbaikan tata kelola ekonomi, Safuadi telah menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku setebal 350 halaman. Buku ini diharapkan menjadi pedoman bagi para pemangku kebijakan, pelaku usaha, serta akademisi dalam merumuskan strategi pembangunan Aceh yang lebih efektif.
Dengan meningkatnya alokasi dana otonomi khusus serta peluang investasi yang semakin terbuka, Aceh memiliki kesempatan besar untuk keluar dari jerat kemiskinan. Namun, hal itu hanya bisa terwujud jika ada perbaikan fundamental dalam tata kelola, pembangunan infrastruktur, serta transformasi industri dari berbasis bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi.
“Kita tidak bisa hanya berharap pada kekayaan alam. Aceh harus membangun sistem ekonomi yang kuat, berbasis pada inovasi, efisiensi, dan daya saing,” pungkas Safuadi. [MM]