Oleh: Sahlan Hanafiah
Dosen Prodi Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry, Kopelma Banda Aceh.
Tahun 2020 era Jusuf Kalla (JK) dalam kancah politik nasional dapat dikatakan telah berakhir. Karir politiknya berakhir manis diusianya yang beranjak senja. Tidak seperti politisi lain, JK menjalani dan mengakhiri masa jabatannya dengan bersih tanpa desas desus kasus korupsi.
Berakhirnya karir politik JK bagi Aceh adalah sebuah kehilangan besar mengingat selama ini ketergantungan elit politik Aceh, terutama yang berkarir paska konflik, terhadap JK sangat tinggi. JK tidak sekedar mitra politik, tapi lebih dari itu, tempat mengadu dan berkeluh kesah.
Setiap tahun elit politik Aceh bolak balik menemui JK dalam berbagai urusan pembangunan dan perdamaian Aceh. Pertemuan terakhir dilakukan politisi Partai Aceh (PA) menjelang berakhirnya masa jabatan JK sebagai wakil presiden pada Oktober 2019. Pertemuan tersebut terkait pemanggilan Muzakir Manaf oleh Komnas HAM dalam rangka meluruskan kasus pelanggaran HAM masa konflik. Dalam pertemuan itu, JK menenangkan Muzakir Manaf dengan mengatakan bahwa semua mantan pejuang GAM telah mendapat amnesty dari presiden. Jadi menurut JK tidak ada konsekwensi hukum terhadap Muzakir Manaf jika sewaktu waktu ia berurusan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Ketergantungan sekaligus kepercayaan terhadap JK dapat dimaklumi mengingat jasa JK sangat besar dalam mendorong terwujudnya perdamaian Aceh. Barangkali sedikit berlebihan jika menyebut tanpa sosok JK damai Aceh tidak akan terwujud. Namun begitulah faktanya.
Dengan berakhirnya masa jabatan wapres di akhir 2019, pengaruh JK dalam kancah politik nasional bakal memudar. Lalu bagaimana nasib Aceh, nasib elit politik Aceh, lebih spesifik nasib perdamaian Aceh, mengingat mulai 2020 elit politik Aceh akan kehilangan sosok yang benar-benar memahami Aceh.
Ayam kehilangan induk
Jika boleh menggunakan tamsilan, nasib elit politik Aceh seperti ayam kehilangan induk, tersesat, dan dalam proses pencarian induk, terperangkap kedalam induk lain. Ini sebenarnya pernah terjadi ketika JK mengakhiri masa jabatan wapres periode pertama 2009. Ketika itu, antara 2010 hingga 2014, pada saat JK tidak menjabat, elit politik Aceh terperangkap kedalam induk baru yang kemudian menyeret mereka tinggal serumah dengan musuh lama.
Kemungkinan kembali tersesat dan terperangkap paska era JK sangat besar mengingat dalam pemerintahan Jokowi periode kedua tidak ada lagi sosok seperti JK yang memahami proses damai Aceh sekaligus memiliki pengaruh kuat dan mampu mengambil keputusan cepat seperti JK. Memang masih ada Sofyan Djalil putra Aceh yang terlibat dalam proses perundingan damai Helsinki dan Fachrul Razi mantan Wakil Panglima TNI dalam kabinet Jokowi. Akan tetapi keduanya tidak memiliki basis partai yang kuat.
Damai sebagai dagangan politik
Berakhirnya era JK sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan jika agenda damai Aceh telah tuntas. Persoalannya beberapa agenda damai sebagaimana disepakati dalam MoU Helsinki belum sepenuhnya selesai meski fase damai telah berlangsung lebih dari 14 tahun. Belum tuntasnya agenda damai berpeluang dijadikan alasan penghambat pembangunan Aceh. Bahkan lebih ekstrim berpeluang menjadi dagangan politik kelompok tertentu. Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), reintegrasi, bendera dan batas wilayah Aceh dan Sumetara Utara adalah beberapa agenda yang masih menggantung.
Anehnya, dorongan untuk menyelesaikan agenda damai selama ini terlihat sangat lemah dikalangan elit politik Aceh. Bahkan pengadilan HAM sama sekali tidak pernah terdengar gaungnya. Karena itu tidak bisa dihindari jika muncul tudingan adanya praktek politik pragmatis dibalik agenda damai yang tertunda. Sebab, jika melihat kembali kebelakang, terutama apa yang terjadi di dalam perundingan damai di Helsinki, pengadilan HAM dan KKR merupakan “harga mati” yang disodorkan pihak GAM. Namun dalam perjalanannya, dua agenda tersebut terkesan seperti tidak pernah dirundingkan.
Dugaan adanya politik pragmatis juga terbaca dalam kasus tarik ulur bendera sebagai lambang pemerintah Aceh. Muncul kesan persoalan bendera sengaja diulur untuk memancing sentimen identitas sehingga mendapatkan simpati dan popularitas. Kesan ini muncul karena persoalan bendera sebenarnya tidak terlalu rumit diselesaikan berbanding menyelesaikan konflik Aceh 2005. Yang harus dilakukan dalam kasus bendera adalah membangun kesepahaman bersama tentang hakikat dan fungsi bendera sebagai lambing daerah melalui dialog terbuka, bersungguh-sungguh, dengan melibatkan semua elemen masyarakat Aceh dan pemerintah pusat. Namun upaya seperti itu belum pernah dilakukan.
Reintegrasi adalah masalah lain yang belum selesai. Keberadaan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menunjukkan bahwa masih ada masalah dengan proses reintegrasi mantan kombatan selama ini. Reintegrasi adalah elemen kunci dalam proses bina damai paska konflik yang menjadi tolak ukur sukses tidaknya sebuah proses transisi dari konflik ke damai. Keberadaan BRA yang bertahan lebih dari 14 tahun setelah perjanjian damai mengundang tanda tanya banyak pihak karena setiap tahun pemerintah Aceh harus menyediakan dana baik untuk operasional maupun program yang jumlahnya tidak sedikit. Siapa selama ini penerima manfaat program reintegrasi dan sampai kapan BRA akan bertahan sulit menemukan jawabannya karena visi pemerintah Aceh tentang reintegrasi juga tidak pernah jelas.
Dukungan elit politik Aceh lemah
Apa sesungguhnya yang membuat dukungan elit politik Aceh sangat lemah terhadap agenda damai sebagaimana digambarkan di atas? Paling tidak ada dua faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama karena sikap politik yang dibangun cenderung pragmatis. Kedua, kuatnya ego sektoral dikalangan elit politik Aceh, baik di internal partai lokal maupun antara partai lokal dan nasional. Dua faktor ini membuat elit politik Aceh, baik yang berlatar belakang partai lokal dan nasional, tidak solid dari awal sehingga tidak terbangun visi bersama dalam membangun Aceh paska konflik. Ini bisa dilihat dari beberapa agenda damai yang seolah-olah hanya tanggung jawab kelompok atau partai tertentu.
Sikap politik pragmatis adalah sebuah sikap politik yang cenderung mengedepankan hasil dibanding proses, lebih mementingkan capaian jangka pendek dibanding capaian jangka menengah dan panjang. Sebaliknya, politik pragmatis cenderung melupakan pengkaderan, penguatan manajemen partai, pembelaan terhadap hak-hak kelompok terpinggirkan seperti korban konflik, perjuangan terhadap keadilan dan kesetaraan, perluasan partisipasi politik tanpa memandang latar belakang sosial dan agama.
Harga yang harus dibayar terhadap pilihan politik pragmatis sangat mahal. Dari segi internal, performa partai merosot karena manajemen keropos, kader partai keluar masuk sehingga tidak memiliki ideologi yang kuat, simpatisan dan pemilih menjauh bahkan pindah ke partai lain. Sementara dari segi ekternal, sejumlah agenda penting seperti agenda damai yang tidak popular terlewatkan begitus saja. Padahal dampak untuk jangka panjang sangat besar.
Karena itu sangat disayangkan jika sikap politik pragmatis tidak dirubah, minimal direfleksikan ulang sebelum terlambat, terutama dikalangan partai lokal. Sebab, kehadiran partai lokal di Aceh sangat istimewa dalam konteks politik Indonesia bahkan dunia.
Penghambat lainnya adalag ego partisan atau ego sektoral, yaitu sikap eklusif merasa lebih berhak dan lebih Aceh dari yang lain. Sikap ini menutup peluang partisipasi individu, kelompok, etnis atau partai lain membangun Aceh. Fenomena ini bisa dilihat dari munculnya frasa “orang kita” atau sejenisnya dalam percakapan politik sehari-hari. Karena itu bisa dipahami mengapa keterlibatan komunitas sosial dan politik lain terhadap upaya mendorong penyelesaian kasus HAM, reintegrasi dan penguatan KKR sangat lemah.
Munculnya ego sektoral menunjukkan ketidaksiapan sekaligus ketidakdewasaan dalam berpolitik praktis. Sebab politik demokratis adalah sebuah arena terbuka untuk memperjuangkan kepentingan publik, dalam hal ini kepentingan masyarakat Aceh. Prinsip ini tidak berbeda dari nilai dalam Islam, yaitu berlomba-lomba berbuat kebaikan. Jika semua pihak secara terbuka memiliki kesempatan yang sama berbuat kebaikan untuk Aceh, maka apa yang diimpikan selama ini, Aceh damai, aman dan sejahtera akan lebih cepat dicapai berbanding dilakukan oleh satu kelompok.
Apakah terlalu terlambat untuk mengubah sikap politik dan membuang ego sektoral? Disini prinsip lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali relevan dipakai. Dengan kata lain, momentum melakukan perubahan dapat diciptakan setiap saat jika kesadaran dan keinginan politik untuk berubah ke arah lebih baik masih ada. Pertanyaannya, apakah elit politik Aceh mau berubah. Kelihatannya tidak. Jika demikian, maka tidak ada lagi tempat menggantungkan harapan setelah era JK berakhir. Satu-satunya pilihan adalah menyerahkan beban masa lalu, berupa agenda damai yang tertunda kepada generasi baru Aceh. Sebuah generasi yang terputus dari narasi konflik dan damai. [Sumber: Buku “Aceh 2020″]