Oleh: Risky Almustana Imanullah
Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Pemerintahan, UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Banda Aceh.
Setelah aksi mahasiswa menuntut dicabutnya UU (Undang-Undang) Omnibus Law (Cipta Lapangan Kerja) di gedung DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), beberapa hari yang lalu. Saya terlibat dialog tentang problematika mengenai undang-undang, semakin tumpang tindih di Indonesia.
Rakyat diterjang kebingungan karena keterbatasan kapasitas dalam menginterpretasikan kinerja dewan perwakilan, sebagai representasi aspirasi masyarakat. Ternyata di cekik pelan-pelan untuk meminimalisir rasa sakit yang berlebihan bak malaikat maut yang mencabut nyawa orang beriman. Hutang mencekik negara, pemerintah dan DPR pun amnesia.
Indonesia yang menganut sistem demokrasi, di interpretasikan dengan heterogen sesuai dengan kepentingan masing-masing. Esensi demokrasi yang katanya kebebasan hanya terpaku pada pribadi masing-masing, tidak ada kebebasan yang absolut.
Kalimat yang puluhan tahun lalu diucapkan oleh Sukarno sebagai presiden pertama Indonesia “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri“. Hari ini sudah terbukti. Dewan dan pemerintah sebagai pemantik aksi demonstrasi.
Pengawalan ketat dan rapat (tanpa jaga jarak dimasa pandemi) dari aparat kepolisian saat mahasiswa melakukan aksi mahasiswa. Membuktikan bahwa tidak ada keseriusan pemerintah dalam mengejawantahkan regulasi protokol kesehatan (prokes).
Ratusan, bahkan ribuan massa berkumpul di halaman kantor DPR untuk menyuarakan tolak omnibus law . Timbul pertanyaan, bagaimana perkumpulan itu bisa berlangsung di tengah masa pandemi ? Bukankah pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran untuk mematuhi protokol kesehatan dengan menjaga jarak, menghindari kerumunan, cuci tangan dan menggunakan masker?.
Berapa banyak mahasiswa yang positif corona virus desease (Covid-19) sebab melaksanakan aksi tersebut ?. Penulis tidak bermaksud melakukan provokasi, tetapi teman-teman bisa lihat diluar sana korban yang berjatuhan dalam aksi dari kalangan kepolisian dan juga dari kalangan mahasiswa. Artinya apa ? Kita sedang dibagikan peran sebagai aktor ataupun aktris dalam sebuah skenario yang dibuat untuk merobohkan persatuan.
Ironisnya lagi, menteri ataupun dinas kesehatan terkait sepertinya diam saja, bahkan tidak muncul dihadapan publik saat kondisi genting seperti ini. Disisi lain, fakta di lapangan yang penulis temukan adalah petugas penertiban protokol kesehatan yang tergabung dari elemen Polisi, TNI, dan Satpol-PP mengunjungi pasar dan warung kopi (tempat keramaian) untuk menindaklanjuti masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan (khususnya menggunakan masker dan jaga jarak). Jika itu saja yang di utamakan, tentunya pendidikan tetap bisa berjalan seperti biasanya dengan menjaga jarak dan menggunakan masker.
Sun Tzu, ahli strategi, pernah berkata “Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati“. Mungkin, terlihat bagus sekali pernyataan terkait tujuan Undang-undang cipta kerja yang disampaikan oleh presiden Jokowi.
Sepatutnya seorang pemimpin tertinggi negara yang memiliki kursi di parlemen mampu beradaptasi dan menyentuh hati masyarakat dalam membangun sinergitas dalam memajukan negara.
Seperti yang di ungkapkan oleh John Calvin Maxwel, merupakan seorang pendeta, sekaligus penulis amerika “Seorang pemimpin mampu menyentuh hati orang lain sebelum meminta mereka melakukan sesuatu“.
Setelah aksis, beberapa hari kemudian, Presiden Jokowi tampil ke publik menyampai data bahwa sebanyak 87% dari total penduduk pekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, 39% berpendidikan sekolah dasar di Indonesia. Sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru khususnya di sektor padat karya. Artinya, pendidikan dan peluang kerja di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Indonesia sedang menggagas bagaimana agar masyarakat mendapatkan lapangan kerja, bukan bagaimana masyarakat mampu menempuh pendidikan dan kemudian menciptakan lapangan kerjanya sendiri.
KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah mengatakan “Keberhasilan pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin“. Jika hari ini timbul kontroversial yang begitu besar saat Omnibus Law ini disahkan, bagaimana cara menjelaskan bahwa ini sebuah inovasi yang dapat menyejahterakan masyarakat?
Sektor ekonomi sangat diutamakan. Bahkan, kemiskinan menjadi hal yang signifikan untuk dibahas di dunia. Tapi dibalik itu semua, sangat sulit tanpa mendahulukan pendidikan. Kita semua tahu, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar. Buktinya, rempah-rempah dan kesuburan tanah di Indonesia mampu memantik kolonial Belanda datang ke Indonesia.
Saya sangat menyayangkan bahwa etika seorang pimpinan DPR-RI mematikan mikrofon dalam memimpin paripurna. Ini tidak mencerminkan kepribadian yang berpendidikan. Terdapat harapan bagi pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai garda utama dalam kemajuan Indonesia, baik itu pengetahuan dalam meningkatkan perekonomian dan kesehatan. Jangan merakit perbedaan dalam konteks pendidikan seperti contoh PTKIN tidak mendapatkan subsidi kouta internet seperti PTN dimasa pandemi ini.
Semua masyarakat Indonesia berharap, supaya pemerintah dapat menjelaskan secara bijak setiap regulasi yang dibuat dan harus sesuai realitas, untuk menghindari spekulasi dari masyarakat yang akhirnya mengganggu kestabilan keamanan dan persatuan Indonesia, apalagi ditengah pandemi covid-19. Akhirnya, aksi mahasiswa dan omnibus law, harus menjadi ruang untuk kebaikan aturan dan kebijakan di negeri ini.