Oleh: Rahmat Fahlevi.
Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Dewasa kini seiring perkembangan zaman dan masifnya globalisasi telah banyak melahirkan inovasi di berbagai dimensi kehidupan. Dahulu kekuatan dunia hanya terlatak pada bipolar antara blok barat dan blok timur, namun pasca runtuhnya Uni Soviet kekuatan yang dulunya bipolar sekarang menjadi multipolar karena hadirnya banyak aktor dunia baik dari pihak global civil society ataupun perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional.
Hal yang mendongkrak masifnya globalisasi tentu tidak lepas dari teknologi komunikasi yang membuat dunia menjadi tanpa batas atau biasa disebut dengan world without borderless.
Mantan sekjend PBB dari benua Afrika pernah mengatakan bahwa “melawan globalisasi sama halnya seperti melawan hukum fisika” maka oleh karena itu setiap negara dituntut untuk bisa beradaptasi di era globalisasi, kaum Neoliberal menyebut ini dengan adagium “Golden strait jacket”
Banyak yang kita lihat di era globalisasi ini sangat banyak muncul manfaat terutama di bidang teknologi.
Teknologi membuat waktu terasa sangat singkat untuk menyampaikan pesan kepada komunikan dengan segala instrumen yang dimilikinya Haiden menyebut ini dengan idiom The Annihilation of space throught time atau upaya memanipulasi waktu tempuh.
Dengan adanya teknologi komunikasi terasa mudah dan efektif untuk disampaikan, namun sisi negatif dari teknologi ini juga tidak kalah berbahayanya terhadap integrasi suatu negara.
Ancaman terhadap integrasi bangsa tidak lagi mandek pada hal yang sifatnya tradisional seperti keamanan akan tetapi di era modern ini ancaman terletak pada drugs and human trafficking dan juga Terorisme.
Terorisme menjadi ancaman yang nyata bagi kehidupan masyarakat, mari kita alihkan perhatian sejenak terhadap pengeboman yang terjadi dimana-mana. Saya sebagai penulis sangat mengkhawatirkan masa depan para Mahasiswa yang terkontaminasi dengan doktrin-doktrin radikalisme, memang radikalisme dapat berkonotasi negatif dan juga positif namun disisi negatif ia dapat menebarkan kebencian hingga disintegrasi bangsa.
Teknologi dapat menyampaikan pesan dengan mudah kepada khalayak ramai, misalnya sebuah kelompok membuat video-video atau film pendek yang mengungkapkan keadilan dari rezim dan penindasan sehingga media massa mereka gunakan untuk menyampaikan pesan menyerukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dengan cara mendelegitimasi pemerintahan tersebut dengan menggunakan berbagai macam dalil terutama agama.
Agama tak jarang dijadikan alat legitimasi untuk gerakan mereka. Misalnya mereka menarik para Mahasiswa-mahasiswa yang euforia dengan simbol-simbol agama seperti kalimat tauhid dan yang lainnya untuk mengadakan diskusi atau tarbiyah hingga membedah buku yang mendelegitimasi pemerintah yang sah. Dalam beberapa kesempatan ketua PBNU KH. Said aqil siradj mengungkapkan motif dari para Mahasiswa yang melakukan diskusi-diskusi seperti membedah buku karya Said qutb yang berjudul Ma’alim fii ath-thariq yaitu buku yang mendeskripsikan kejahilan manusia.
Said qutb mengatakan bahwa jahil itu bukan dari segi kelakuan ataupun tindakan manusia seperti mencuri, merampok, bebal dan lain-lainnya. Akan tetapi jahil dalam paradigma beliau adalah secara struktural. Pemerintahan Demokrasi, Komunis, atau sistem perekonomian Kapitalis, Sosialisme itu adalah jahil. Said qutb mendeskripsikan jahil secara struktrual bukan secara fenomenal.
Sehingga dari ini memupuk distrust para Mahasiswa terhadap pemerintah. Dan apabila hal ini dilakukan secara simultan dan kontinu maka ini akan menjadi ancaman yang nyata bagi pemerintah mana pun. Maka oleh karena itu para Mahasiswa jika ingin belajar agama sebaiknya datanglah ke pondok-pondok pesantren yang sudah jelas sanad keilmuannya dan lurus akidahnya sesuai pemahaman Ahlussunnah wal-jama’ah.
Belajar agama melalui diskusi-diskusi atau tarbiyah yang diadakan oleh sesama Mahasiswa yang notabene-nya tidak memiliki kapabilitas di bidangnya ini akan berujung kepada kesesatan berpikir, apa yang dipelajari menjadi subjek falasi dalam berpikir karena tidak ada guru yang ahli dibidangnya.
Salah seorang Filsuf Bertrand william Russell asal Britania raya pernah mengatakan “Filsafat adalah lahan kosong yang diperebutkan oleh Agama dan Ilmu pengetahuan”. Dari kutipan itu saya mengambil sebuah preseden untuk melihat era globalisasi ini Teknologi juga lahan kosong yang diperebutkan oleh kebaikan dan oleh mereka untuk melancarkan aksi jahatnya.
Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya bahwa di era globalisasi ini teknologi komunikasi melakukan yang namanya manipulasi waktu tempuh “The Annihilation of space throught time” yang membuat komunikator dengan mudah dan efisien dalam menyampaikan pesan kepada komunikan. Jika pesan yang disampaikan bermuatan negatif seperti perlawanan terhadap negara, usaha melakukan subversif maupun separatisme maka ini akan sangat berbahaya jika terjadi secara kontitu.
Banyak masyarakat yang akan terpengaruh dengan pesan-pesan singkat via video yang dilayangkan pesan tersebut bisa bermuatan substansi seperti mengenang bagaimana kejayaan dinasti-dinasti Islam seperti Umawiyah, Andalusia, Abbasiyah hingga Turki utsmani. Tidak hanya berhenti disitu, dalam video tersebut pemilik channel terkadang juga melakukan komparasi kejayaan Khilafah dan pemerintahan dunia sekarang misalnya menceritakan bagaimana hebatnya Umar bin abdul azis dalam memerintah Umayyah, Abdurrahman ad-dakhil yang merestorasi Andalusia, Hajib mansur bin abi amir dari Andalusia yang membuat kaum Kristiani bertekuk lutut, Harun ar-rasyid khalifah terkenal dari Abbasiyah, Mehmed ll dalam merobohkan tembok Konstantinopel dengan meriam basilicanya, Suleyman al-qanuni yang berhasil menang dalam perang Mohacs hanya dalam waktu 2 jam saja dan keadilan seorang Khalifah terakhir dari Sultan abdul hamid ll yang sangat hebat dalam melawan korporatokrasi Barat beserta Fremason.
Saya sebagai penulis telah mengarungi ribuan halaman buku yang menceritakan bagaimana digdayanya Kekhalifahan Islam di masa lalu. Akan tetapi itu hanyalah sebagai recolecting the past bukan untuk disatukan kembali.
Keruntuhan Umawiyah, Abbasiyah, Andalusia hingga yang terakhir Ottoman itu adalah sunnatullah. Sehingga kita yang hidup di era sekarang tidak perlu bersusah payah untuk mewujudkannya kembali. Bahkan tidak ada anjuran dalam Islam untuk mendirikan negara Khilafah, Khilafah itu baru bisa didirikan apabila dari segi geografis dan keadaan umat Islam memungkinkan dan umat Islam menyerukan untuk itu. Akan tetapi di era sekarang bahkan sangat mustahil untuk mendirikan negara Khilafah yang teritorialnya lintas benua itu.
Banyak sekali orang yang mudah terpengaruh dengan channel-channel youtube dengan menggunakan Islam dan kejayaan era Kekhalifahan sebagai legitimasi untuk melancarkan aksinya, jika masyarakat bahkan hingga kaum terpelajar terpengaruh dengan hal ini dan melakukan usaha subversif terhadap negara dan gerakan ini dilakukan secara massal apalagi diwarnai dengan aksi kekerasan maka kita akan tunggu headline koran-koran barat yang melakukan scapegoat terhadap umat Islam dengan idiom “Islamofobia”
Tidak ada salahnya untuk mengenang masa lalu, akan tetapi oknum tersebut melakukan tindakan peyoratif terhadap negara kita Indonesia baik Pancasila sebagai ideologi negara hingga Hukum konstitusi yang kita anut sekarang. Pancasila adalah resultante para pendiri bangsa dan janji umat Islam di dalamnya.
Mereka yang melakukan tindakannya itu untuk mendirikan negara Khilafah dengan legitimasi Islam tapi sayangnya lupa bahwa Islam mengharamkan mengingkari janji.
Para masyarakat dan Mahasiswa terkhususnya bijaklah dalam menggunakan sosial media, jangan mudah menerima begitu saja apa yang dikatakan. Media sosial ibarat hutan rimba yang penuh dengan informasi yang positif dan negatif.
Dalam mencari Ilmu kedepankan skeptisme, jangan mudah terpengaruh dan berusaha untuk mencari jangan terbenam dalam kebenaran nisbi yang nyatanya adalah penyesatan.
Memang semua orang bersuara di sosial media sekarang berdalilkan “semua orang bebas dalam mengemukakan pendapat” sehingga dari ini demokrasi bergerak liar tanpa kontrol. Be wise dalam menyikapi masalah, jangan terburu-buru dalam mengambil konklusi dan tetap aktifkan skeptis agar mencapai kebenaran yang sebenarnya.[]