Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Antropolog dan Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Beberapa tahun yang lalu, saya diundang oleh pemerintah Jepang dalam salah satu acara kebudayaan. Selama beberapa hari, saya diberikan kesempatan untuk berkunjung ke beberapa tempat di negeri Sakura. Salah satu tempat yang diajak untuk berkunjung adalah Iwate. Dalam perjalanan, kami berkesempatan untuk berhenti di salah satu bukit yang menghadap ke negara Amerika Serikat. Tour guide kami mengatakan bahwa arah saya berdiri adalah persis mengadap ke Hawaii.
Saya tidak pernah menginjakkan kaki di Hawaii. Adapun yang saya tahu, di Hawaii ada kampus dan pusat studi yang secara khusus membidangi kawasan Asia. Berbagai pelatihan dan program beasiswa dilaksanakan. Pusat-pusat studi tentang pertahanan dan keamanan pun tidak luput. Ada beberapa kampus atau universitas di pulau tersebut.
Demikian pula dengan pusat kajian keamanannya. Saya hanya menyebut satu pusat studi saja yaitu: Asia-Pasific Center for Security Studies, semacam sekolah militer. Singkat kata, di Hawaii oleh Amerika dijadikan pulau yang cukup strategis, khususnya di dalam mengkaji kawasan Asia Pasifik.
Tampaknya, pemerintah Amerika Serikat menjadikan Hawaii sebagai teropong untuk kawasan Asia Pasifik. Dapat dipastikan, pusat-pusat studi yang membidangi dunia pertahanan dan keamanan untuk kawasan Asia Pasifik, tampaknya “dimasak” di Hawaii.
Salah seorang pengamat intelijen pernah membisikkan kepada saya, bahwa Hawaii itu “radarnya” Amerika Serikat untuk sampai ke kawasan kita. Tentu saja, korelasi dan ambisi Amerika Serikat untuk “menjaga” Laut Cina Selatan tidak dapat dipungkiri ada hubungannya dengan perairan yang sampai ke Hawaii.
Dalam ilmu pertahanan dan keamanan, selain mengontrol udara, mengontrol laut adalah sesuatu yang amat strategis. Saling mengintai, antara satu sama lain dari udara adalah hal yang tidak dapat dipungkiri. Masih segar dibenak kita, ketika tragedi pesawat terbang negara tetangga yang jatuh misterius di kawasan Asia Tenggara dan Samudera Hindia, akhirnya negara tersebut harus merelakan informasi pertahanan udaranya diketahui secara internasional. Intinya, saling intip mengintip dari udara adalah hal yang lumrah dalam kajian intelijen.
Namun, selama ini ada lagi teori yang mengatakan bahwa laut juga harus dikuasai, selain udara. Tiongkok secara terus menerus melakukan provokasi di Laut Cina Selatan. Berbagai upaya dilakukan agar mereka dapat menguasai beberapa kawasan strategis di Laut Cina Selatan. Amerika Serikat pun menempatkan hampir puluhan armada perang di beberapa lautan lepas.
Siapa menduga, bahwa Pulau Diego Garcia di Samudera Hindia yang merupakan pangkalan militer Amerika Serikat, ternyata arah timurnya menuju ke Indonesia, tepatnya provinsi Aceh dan sekitarnya. Tentu saja disini pun ada stasiun pengamatan untuk melihat gerak gerik di kawasan Asia Pasifik. Harus diakui bahwa Amerika Serikat bergabung dalam Five Eyes aliansi intelijen (Kanada, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Inggris) ketika melaksanakan operasi kerja sama intelijen.
Sangat wajar jika kemudian informasi di perairan Selat Melaka selalu didapatkan oleh negara Five Eyes. Bahkan mereka mengetahui, siapa saja di dalam kapal apapun dan dimana pun posisinya di lautan. Upaya untuk menguasai lautan adalah usaha lanjutan setelah menguasai wilayah udara sebuah kawasan. Saat ini, Tiongkok berusaha untuk melawan dominasi Amerika Serikat dan sekutunya di lautan. Kendati ini tentu akan menjadi salah satu isu tentang konflik global di tengah-tengah lautan.
Narasi di atas tentu akan memudar auranya, ketika melihat perilaku pemerintah Republik Indonesia terhadap Aceh. Setiap ada perwira yang datang ke Aceh selalu melihat Aceh sebagai ancaman bagi republik Indonesia. Pertanyaannya masih seputar pada kekuatan GAM, kemiskinan, dan pelaksanaan hukum Islam.
Karena melihat Aceh sebagai ancaman, maka pola pikir pemerintah, sampai kapan pun akan melihat Aceh bagian dari NKRI, tetapi tidak mampu meletakkan Aceh dalam posisi geo-strategik dan geo-politik Indonesia. Inilah penjelasan saya kepada para perwira atau analis, jika ingin mengorek pandangan saya tentang posisi Aceh di Indonesia.
Karena tidak melihat Aceh sebagai kawasan yang sangat strategis, maka yang terlibat adalah persoalan simbolik dan ekonomi semata (misalnya seperti bendera, otsus dan hasil bumi). Selain itu, tidak ada diskusi lanjutan mengenai pertahan dan keamanan Indonesia di bibir Selat Melaka dan Samudera Hindia.
Karena itu, sangat wajar, pemerintah pusat sama sekali tidak memiliki program-program strategis di Aceh, khususnya untuk pulau-pulau yang ada di provinsi ini. Dibandingkan dengan Hawaii, maka Sabang sebenarnya merupakan pulau yang paling strategis di Indonesia. Pulau ini menghadap ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pulau ini juga sangat dekat dengan Pulau Diego Garcia.
Menurut informasi, ada beberapa momen penting di Aceh, armada perang Amerika Serikat sudah bersiaga di lautan lepas, jika saat itu, Aceh benar-benar lepas dari Indonesia, seperti pengalaman di Timor Leste. Namun momen tersebut belum terwujud.
Demikian strategis Aceh dan pulau-pulau yang mengitarinya. Namun, kenyataannya, pulau-pulau strategis ini tidak ada dalam radar pertahanan dan keamanan Republik Indonesia. Sabang masih berjibaku dengan keadaannya yang megap-megap dan dihimpit oleh kepentingan salah satu negara di seberang Pulau Batam. Di pulau ini tidak ada kampus-kampus strategis, sekolah militer, pusat-pusat studi, dan pangkalan militer seperti di Pulau Diego Garcia. Adapun yang terjadi adalah beberapa tanah sudah dibeli oleh pihak asing, atas nama warga lokal.
Realitas ini juga dapat juga dilihat di Pulau Simeulue. Ketika saya bertandang ke pulau ini dan pulau terluar lainnya di Samudera Hindia, tidak ada sedikit sentuhan pemerintah Indonesia untuk menjadikan pulau-pulau tersebut sebagai garda terdepan pertahanan dan keamanan negara ini.
Di Simeulue, beberapa kawasan pantai malah tertutup untuk warga lokal, karena tanahnya sudah dikuasai oleh pihak asing. Begitulah cara republik ini menguasai tanah dan airnya di provinsi Aceh. Uniknya, beberapa tempat yang pernah saya masuki malah sinyal handphone menghilang.
Demikianlah perbandingan singkat, dua pulau dan cara pemerintahnya masing-masing menjadikan sebagai wilayah dalam negara masing-masing. Selama pemerintah Indonesia melihat Aceh sebagai ancaman dari sisi simbolik dan ekonomi. Selama itu pula wilayah Aceh tidak akan pernah dapat diurus secara baik oleh pemerintah pusat.
Uniknya, mereka dari pemerintah pusat, kalau datang ke Aceh, selalu ingin menyempatkan diri untuk berwisata ke Sabang, sampai mendapatkan sertifikat di kilometer nol. Tidak ada di kepala mereka, bahwa pulau ini secara kajian intelijen menjadi rebutan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik.
Di sinilah Indonesia menutup mata terhadap halaman rumah sendiri. Mungkin, karena tujuan ke Sabang hanya untuk berenang, bukan menatap angkasa di pulau ini dalam perspektif geo-politik dan geo-strategik.