Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Bagaimana cara PKI menghantam lawan politik dengan tidak menggunakan kekuatan sendiri. Pinjam kekuatan lain untuk menghantam lawan… – Peter Kasenda.
[J]ika kita ingin melakukan serangan tidak harus kita sendiri yang melakukan. Jika ada pihak ketiga yang lebih tepat, ya, itulah yang harus kita pilih – SBY
Terkadang kita bertemu dengan orang yang ingin menyuplai informasi baik yang bersifat rahasia maupun tidak. Dalam kategori ini, informasi yang membludak di tengah-tengah masyarakat tidaklah benar semua. Karena salah satu tugas dalam operasi intelijen adalah menyesatkan (deception). Akibatnya, terkadang masyarakat dibuat seolah-olah sudah mendapatkan informasi yang akurat. Walaupun informasi yang sebenarnya tidak pernah disampaikan. Disini bidang untuk menyesatkan memang bekerja untuk tidak hanya menyesatkan, tetapi juga harus mampu mengalihkan isu atau masalah. Semua dikerjakan secara organisatoris, mulai dari peran para ilmuwan hingga media massa. Dalam menyesatkan masyarakat, mereka tidak akan berbuat secara serampangan. Karena penyesatan dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti: membuat masyarakat memiliki opini, menyusupkan misi ke dalam satu wacana, membuat masyarakat panik dengan informasi seolah-olah sudah benar, dan terakhir, mengamankan kepentingan negara atau rahasia negara.
Karena itu, lapisan pola penyesatan dilakukan secara komprehensif, bahkan terkadang intel atau agen tidak pernah tahu, kalau mereka juga telah disesatkan melalui deception theory. Inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat atau intel itu sendiri merasakan ada sesuatu yang “kurang” ketika mencoba merasakan atau menganalisa sesuatu kondisi. Ilmu penyesatan ini berfungsi sebagai alat pengaburan informasi yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Semakin tinggi pengaburan yang ingin dilakukan, semakin besar resiko yang harus disesatkan. Negara-negara maju, dalam membuat pengaburan informasi, bisa dilakukan melalui dunia ilmu pengetahuan atau media massa. Dari aspek pertama, penyesatan dilakukan dengan cara “cuci otak.” Disini dilakukan bisa terhadap individu ataupun secara umum untuk masyarakat sekaligus. Sang penyesat ini bisa berbicara mengenai kebenaran atau hak asasi manusia, tetapi itu tidak lain adalah penyesatan, untuk memuluskan kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu, persoalan konspirasi menjadi kawan dekat dari teori penyesatan.
Misalnya, sebuah agensi merekrut anak muda untuk disekolahkan atau diberikan beasiswa ke suatu negara, untuk memuluskan misi mereka di kemudian hari. Anak-anak muda tersebut diberikan fasilitas sedemikian istimewa. Mereka ditempatkan seolah-olah sebagai orang yang akan memimpin suatu komunitas. Disini, tidak ada pemaksaan. Karena sistem mind control sudah diterapkan. Dengan kata lain, anak muda-muda tersebut dijadikan sebagai mesin yang sangat mudah dikontrol dan dikatrol. Pola pendidikan seperti ini kemudian menciptakan manusia mesin yang akan membela suatu kepentingan negara yang telah melakukan perancangan yang cukup strategis untuk menguasai bangsa yang menjadi target. Akhirnya, anak-anak muda atau mereka yang telah dicuci otak, dikembalikan ke kampung asal, untuk melakukan proses penyesatan kepada masyarakat. Disini, apa yang disampaikan oleh mereka seolah-olah benar. Karena anak muda yang sudah menjadi agen ini seolah-olah menjadi alat penyambung lidah dari kepentingan yang lebih besar dibaliknya.
Jika penyesatan yang lebih besar ingin dilakukan, maka prosesnya adalah mengaburkan ilmu sistem dalam suatu tatanan masyarakat. Nilai-nilai masyarakat diganti dengan cara yang cukup sistematis. Setelah masyarakat menelan informasi atau pengaruh dari agen tersebut, mereka lalu dibiarkan begitu saja. Karena struktur masyarakat sudah punah. Informasi yang seolah-olah benar, terpaksa hanya sampai di pikiran saja. Karena yang dibidik dari penyesatan adalah merubah pola pikir atau bahkan menukar ideologi. Disini, bagi negara yang sudah memahami betul mengenai teori penyesatan, tidak akan melakukan proses pembunuhan terhadap agen-agen yang melakukan penyesatan terhadap masyarakat. Mereka bahkan dapat dimanfaatkan untuk menjadi pelaku kontra-intelijen. Karena itu, tidak heran, jika kemudian mereka yang ahli dalam penyesatan dibiarkan hidup, namun selalu dimonitor, supaya tidak menganggu kepentingan nasional.
Adapun penyesatan melalui media massa adalah sesuatu yang paling lazim dilakukan. Disini manajemen komunikasi dilakukan secara terorganisir dengan media massa. Isu diciptakan, baik sebagai satu ritual atau untuk sebagai pengalihan, dari persoalan yang lebih besar. Karena itu, negara yang kuat, akan lebih cenderung ingin menguasai media massa, sebagai alat propaganda, untuk tidak mengatakan sebagai bagian dari penyesatan. Jadi, peran media massa sangat besar dalam melakukan penyesatan terhadap masyarakat, walaupun mereka sebenarnya dibalut melalui kepentingan kapitalisme. Karena penyesatan itu terkadang dibungkus dengan penyesatan yang lain. Jadi, pembaca diharapkan mampu menganalisa secara kritis dengan model “think and re-think.”
Pola penyesatan di dalam ilmu intelijen telah dimulai sekitar 1500-1200 M, ketika Yunani menggunakannya di dalam strategi perang. Ilmu ini juga telah dipraktikkan oleh salah seorang arsitek intelijen Cina, yaitu Sun-Tzu, sejak 500 S.M. yang memandang bahwa keperluan akan informasi intelijen dan penyesatan dalam karyanya The Art of War. Karena itu, penyesatan merupakan salah satu taktik intelijen yang amat besar pengaruhnya di dalam setiap operasi intelijen.
Dari beberapa penelusuran mengenai arti kata penyesatan, ditemukan definisi sebagai berikut: “The practice of employing various ruses to disguise real intentions and true capabilities. Commonly known as having the ability to provide misleading or false information in order to achieve the element of surprise; however, there is more to deception than that which meets the eye.” Definisi ini memberikan makna bahwa tipu muslihat (ruse) merupakan hal yang sangat penting, di dalam melakukan penyesatan., untuk menampakkan keinginan yang asli dan kemampuan yang utama. Dengan begitu, seorang agen atau intel harus mampu melakukan dua hal ini, yaitu menyembunyikan keinginan utama dan kemampuan yang benar-benar dikuasainya. Teori ini juga berlaku pada suatu kebijakan di dalam strategi nasional, yaitu menyembunyikan apa saja yang dianggap sebagai target semesta nasional dan kemampuan suatu negara. Karena itu, “data palsu” dan “analisa palsu” kerap digunakan di dalam operasi intelijen, tidak hanya berlaku pada level nasional, juga internasional. Sehingga kita tidak pernah tahu kekuatan yang sebenarnya dari seorang target. Karena itu, informasi yang disediakan, terkadang keliru atau “benar, namun tidak untuk suatu bahan analisas tertentu,” sehingga hasil yang didapatkan mampu menyesatkan orang lain.[]