Oleh: Saiful Akmal.
Guru Besar di UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Latar Belakang
Ruang vakum OMS di Aceh merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dalam konfigurasi politik daerah tersebut. Pada awalnya, OMS memiliki peran yang signifikan sebagai pemeran utama dalam mengawal demokratisasi, advokasi HAM, dan penyelesaian konflik di Aceh selama konflik dan pascatsunami dan konflik bersenjata. Namun, dalam satu dekade terakhir, terjadi pasang surut dan pergeseran dalam dinamika politik yang mengubah peran OMS menjadi lebih sekunder sebagai pemeran pembantu, atau bahkan menjadi pemeran pelengkap (tersier) dalam konfigurasi politik Aceh (Pradjasto dkk. 2007: Tjoetra, dkk. 2023)
Pada masa konflik yang berkepanjangan, OMS menjelma menjadi elemen sentral dalam upaya menjaga keseimbangan tatanan sosial-politik di Aceh agar senantiasa berpihak kepada kepentingan orang banyak (Tjoetra, 2018). Kiprah mereka menjadi tak tergantikan di saat dua kubu yang berkonflik bersikeras pada posisi masing-masing. Bersebab kegigihan itulah mereka menjadi rujukan masyarakat sekaligus pihak yang bertikai untuk mendudukan banyak masalah genting dan penting dalam salah satu perang saudara terpanjang dalam sejarah Indonesia modern. Posisi dan daya tawar mereka untuk mendamaikan atau menginisiasi perdamaian (peace-building) dan melindungi masyarakat yang terkena imbas konflik baik langsung maupun tidak langsung sesungguhnya merefleksikan pengaruh yang massif dalam konteks kebijakan publik di Aceh (Eko & Tjoetra, 2012).
Meskipun mereka sering dicurigai oleh pemerintah Indonesia menjadi agen asing dan media internasionalisasi kasus Aceh, keberadaan OMS di Aceh tetap memberikan warna tersendiri dengan corak gerakannya (Holloway, 2001). Disisi lain OMS juga kerapkali dituduh pro Jakarta atau “cuak” oleh simpatisan dan pihak GAM saat konflik dikarenakan adanya akses komunikasi dua arah yang mereka bangun dengan pemerintah nasional di Jakarta. Terlepas dari pro-kontra yang mereka hadapi, konsistensi OMS selama masa konflik cukup bisa diberikan acungan jempol dengan segenap tekanan yang mereka hadapi di lapangan.
Namun demikian, pascakonflik dan tsunami, peran OMS sempat menguat seiring masuknya donor untuk pembangunan perdamaian dan rekonstruksi pascatsunami di Aceh (Tripa, 2019). Pada saat pemerintah nasional, internasional dan donor asing membutuhkan mitra lokal untuk menyalurkan bantuan dan upaya normalisasi fisik dan nonfisik khusunya di bagian demokratisasi. Beragam OMS pun bermunculan dan sempat mengalami masa jaya pada fase tersebut. Seiring usainya proses rekonsiliasi, demokratisasi dan rekonstruksi di Aceh, dan mulai perginya donor internasional, keberadaan dan eksistensi OMS mulai pudar (Aminuddin, 2009). Di saat yang sama OMS yang tetap bertahan memilih untuk merubah pola gerakan dan isunya. Faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran peran OMS ini sangat kompleks dan melibatkan berbagai aspek politik, sosial, dan ekonomi. Analisis berikut adalah amatan lapangan sebagai salah satu pihak yang pernah terlibat di dalam aktifitas OMS sejak tahun 2003 sampai sekarang. Analisis ini sifatnya tentatif akumulatif, dimana klaim-klaim terkait peran OMS bisa sangat konteks-spesifik dan barangkali relevan atau tidak relevan dalam konteks yang lebih generic.
Dari Pemeran Utama ke Pemeran Pembantu
Analisis pertama yang mungkin bisa dijadikan argumen pergeseran peran OMS dari primer ke sekunder adalah proses perdamaian dan pemulihan pascakonflik yang multidimensi. Usai tsunami pada tahun 2004 dimana Aceh, setelah sekian lama terkungkung dalam konflik dan minim interaksi dengan dunia luar, akhirnya mendapat suntikan dana dan semangat baru. Momentum ini kemudian langsung membesar saat Aceh juga mengalami periode pemulihan pascakonflik yang ditandai dengan integrasi mantan kombatan GAM ke dalam struktur pemerintahan dan masyarakat (Nurhasim, 2006). Hal ini secara laten cenderung mengurangi kebutuhan akan peran OMS dalam penyelesaian konflik dan pembangunan perda-maian, karena konflik bersenjata sudah tidak lagi menjadi fokus utama. Disinilah OMS mengalami proses permutasi karena mencoba mencari format baru dalam dinamika sosial politik yang ada (Taqwaddin & Sulaiman, n.d).
Dalam konteks ini, OMS mulai mencari cara agar bisa tetap terlibat dan sejumlah pentolan penting mulai ikut berpartisipasi dalam politik praktis dengan harapan bisa menyuarakan aspirasi, pola kerja dan mekanisme partisipatif yang selama ini menjadi corak gerakan OMS. Pada model permutasi ini, ada sejumlah mantan aktivis OMS mencoba berinteraksi dengan elemen elemen politik dan politisi eks kombatan untuk membicarakan dan mewujukan konsep Aceh Baru pascakonflik dan tsunami dengan fokus pada demokratisasi partisipatif. Penekanan utama model ini adalah dengan membantu partai politik lokal yang menjadi saluran aspirasi politik mantan kombatan untuk meningkat-kan kapasitasnya secara informal melalui pelatihan kapasitas kepemimpinan dan orientasi birokrasi pemerintahan.
Ditengah stagnasi OMS, para mantan kombatan yang dalam waktu singkat menjadi anggota parlemen dan juga kepala daerah perlu dibekali dengan atribut dan instrumen politik baru yang akan mereka hadapi, dan dalam hal ini mereka membutuhkan bantuan mantan aktivis OMS (Mujib, Abdullah & Nugroho, 2014). Lebih jauh lagi proses permutasi ini kemudian menjadi semakin sering, dimana para mantan aktivis OMS dan mantan kombatan bergabung dalam organi-sasi partai politik untuk mempercepat proses demokratisasi dengan tema-tema yang lebih populis (Fasya, 2018).
Namun demikian proses ini tidak selamanya mulus, tabiat konflik dan rantai komando yang ada dalam partai politik menjadi kombinasi yang sangat susah untuk diubah atau butuh waktu dan proses yang lama untuk diubah menjadi lebih partisipatif dan demokratis (Akmal, 2021). Pada saat inilah OMS kemudian menjadi mudah diprediksi, dimana kebanyakan mantan aktivis OMS dihadapkan pada permasa-lahan klasik, daya dukung finansial yang semakin melemah dan perginya donor asing yang menyatakan Aceh sudah tidak lagi menjadi fokus mereka.
Pada akhirnya proses permutasi untuk mencari format dan model baru mempengaruhi kebijakan publik oleh OMS menjadi semakin lama semakin tidak terkonsolidasikan. Ditambah lagi dengan perubahan konteks politik yang lebih terfokus pada pembangunan pascakonflik, rekonsiliasi, dan pembangunan masyarakat isu isu sentral dan kritis seperti menjaga keseimbangan demokrasi tidak lagi menjadi arus utama di kalangan OMS. Taqwaddin (2017) menyebut fase ini sebagai apa yang ia sebut sebagai “demokrasi abu-abu” Proses permutasi lama-kelamaan menjadi proses mutasi dari OMS menjadi birokrat dan politisi partai. Hal ini menyebabkan beberapa OMS mengalami kesulitan finansial dan relevansi mereka dalam politik Aceh.
Faktor lain yang juga erat kaitannya adalah fakta bahwa kepentingan politik dan partai menjadi panglima dalam hampir semua proses pembangunan Aceh pascakonflik dan damai. Pada akhirnya kualitas dan profesionalitas, manajemen isu, pola kolaborasi antar OMS juga mau tidak mau ikut terganggu. Para punggawa OMS yang punya akses semakin mengurangi kritik konstruktif dan memilih untuk menyebrang kedalam. Peran utama yang selama ini mereka mainkan pelan tapi pasti menjadi pemeran pembantu, dari sentral ke periferal, dari primer ke sekunder. OMS kemudian berubah peran dari salah satu pemain kunci dalam demokrasi menjadi pemeran pembantu dalam pengambilan kebijakan dan pengambilan keputusan. Disaat yang sama OMS mulai menjadi lebih bergantung pada partai politik untuk mendapatkan dukungan dan akses ke kekuatan politik dan panggung utama kekuasaan. Proses rekonsiliasi pascakonflik juga sebenarnya menciptakan tantangan tersendiri bagi OMS.
OMS menjadi lebih harus menahan diri dari kritik keras terhadap pemerintah dan partai politik, yang dapat mengu-rangi independensi dan kepercayaan masyarakat terhadap mereka.
Faktor kedua diatas akan menuntun kita menuju faktor ketiga yaitu lemahnya konsolidasi dan koordinasi OMS di tengah menguatnya instutionalisasi dan patronase politik lokal di Aceh (Darwin, 2016). Jika pun ada upaya konsolidasi demokrasi dan aksi, upaya pembangunan masyarakat yang ada sangat minim koordinasi dan dampaknya juga sepertinya kurang efektif. Pada akhirnya proses transformasi berkelanjut-an yang diharapkan terjadi secara bertahap dan menyeluruh tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya proses transformasi yang dijalani seperti berjalan ditempat tanpa ujung, parsial, dominan dan unilateral. Ruang-ruang publik pun menjadi berkurang dan kecemburuan sesama OMS akan akses politik, finansial dan influensial menjadi semakin kentara. Persaingan tidak sehat sesama OMS kembali terjadi.
Pada titik tertentu, tidak mengherankan jika polarisasi, fraksi dan dominasi politik menjadi pemandangan sehari-hari (Nurhasim, 2016). Susbtansi demokrasi kemudian selalu dipaksakan berhadapan dengan iming-iming stabilitas politik. Seiring dengan kestabilan politik yang semu, partai politik mulai mendominasi panggung politik Aceh, mengurangi ruang bagi OMS untuk berperan sebagai pemeran utama. Pergeseran ini menciptakan dinamika politik yang lebih berorientasi pada kepentingan partai politik daripada pada kepentingan masya-rakat secara keseluruhan. Agenda-agenda publik berubah wajah menjadi agenda politik yang punya daya jangkau dan daya hentak dalam ruang lingkup yang semakin mengecil. Ini dapat mengurangi ruang untuk suara independen dan kritis dari OMS, karena agenda politik yang didominasi oleh partai politik akan mendikte arah dan prioritas kebijakan, membatasi ruang untuk kegiatan advokasi OMS yang mungkin tidak sejalan dengan agenda partai politik, lagi-lagi atas nama stabilitas politik lima tahunan. Harapan untuk mempengaruhi melalui proses implementasi juga menipis mengingat politik transaksional yang terjadi pada setiap level pengambilan kebijakan menjadi semakin tidak terkontrol, liar dan semakin tidak wajar. Akhirnya biaya politik yang tidak rasional, minim transparansi dan ugal-ugalan menjadi hal biasa dan OMS sepertinya sadar atau tidak sadar terjebak kedalam lingkaran tersebut dan susah keluar dari jeratan formalisasi politik berbiaya tinggi dengan semakin sedikitnya proses check and balances (Solihah, 2016).
Dari Pemeran Pembantu ke Pemeran Figuran
Polaritas politik sering kali menciptakan kedalaman ideologis di antara partai politik, yang dapat memperkuat persaingan politik dan mempersulit kerja sama antarpartai politik dan OMS. Ketika partai politik berfokus pada konflik ideologis, ruang untuk kolaborasi dan konsensus antara OMS dan partai politik otomatis akan sulit mendapatkan ruang. Ekspresi perbedaan yang cenderung memperkuat fokus politik pada proses pemilu dan politik elektoral. Sebagai hasilnya, OMS mungkin cenderung beralih dari peran advokasi dan pemerhati masyarakat ke dalam peran yang lebih terfokus pada kampanye politik dan dukungan terhadap partai politik tertentu, mengurangi peran mereka sebagai pemeran utama dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Jika tadi dari pemeran utama ke pemeran pembantu, maka OMS dikhawatirkan menuju titik dimana peran tersier atau pemeran pelengkap atau figuran politik menjadi lebih terlihat. Beberapa OMS di Aceh mengalami ketergantungan pada dana dan sumber daya eksternal, seperti lembaga donor dan organisasi internasional. Ketergantungan ini dapat mem-batasi kebebasan OMS dalam mengambil posisi yang indepen-den dan membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan dari pihak eksternal. Pilihan sulit ini terkadang terpaksa diambil oleh OMS untuk tetap eksis dan bertahan. Pun kemudian, OMS yang sangat bergantung pada dana dan sumber daya eksternal, seperti lembaga donor dan organisasi internasional, mungkin memiliki keterbatasan dalam mengambil keputusan secara independen. Mereka dapat merasa terikat pada kebijakan dan agenda yang ditetapkan oleh para donor dan pemerintah, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal. Pada akhirnya, Stephanus Pelor (2018) meyakini bahwa OMS menjadi lembaga eksekutor program-program pemerintah.
Disaat yang sama OMS juga sepertinya mulai tergantung kepada pemerintah dengan program-program kolaborasi yang meski atas nama inovasi tapi sebenarnya bukanlah inovasi. OMS jarang sekali duduk bersama dan jikapun ada sangat mudah untuk terkooptasi oleh kepentingan politik dan agenda setting oknum-oknum mantan OMS yang sekarang sudah berada di kubu pemerintah (Njoku, 2022). Kebanyakan oknum-oknum mantan pentolan OMS ini menjadi tenaga ahli, juru bicara dan public relation instrumen bagi pemerintah untuk menetralisir suara-suara nonpemerintah.
Pembatasan atau pengelolaan kebebasan berpendapat tentu menjadi akan sangat berbahaya dan bisa menjadi salah satu poin defisit demokrasi. Mereka mungkin merasa terbebani oleh harapan donor untuk menghasilkan hasil tertentu atau mematuhi kerangka kerja yang telah ditetapkan, bahkan jika itu tidak selalu mencerminkan kebutuhan atau aspirasi masyarakat setempat. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan antara prioritas OMS dan kebutuhan nyata masyarakat, yang pada gilirannya dapat menghasilkan ruang vakum dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Ketergantungan pada sumber daya eksternal baik peme-rintah atau swasta juga dapat membatasi inovasi dan kreativitas dalam upaya OMS untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Mereka mungkin terbatas dalam menciptakan pendekatan baru atau mengembangkan solusi yang inovatif karena harus mematuhi persyaratan dan ketentuan yang ditetapkan oleh donor. Hal ini dapat mengurangi kemandirian finansial dan keberlanjutan OMS dalam jangka panjang, serta mengurangi kontrol masyarakat lokal terhadap upaya pembangunan di wilayah mereka.
Jika kita tilik dalam konteks yang lebih nasional dan global, fenomena yang sama juga terjadi. Apa yang terjadi di Aceh juga sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim politik dan ekonomi di tingkat nasional, termasuk perubahan kebijakan pemerintah pusat terhadap otonomi daerah dan keterlibatan langsung dalam politik lokal, juga dapat memengaruhi peran dan ruang gerak OMS di Aceh (Silitonga, 2023). Penegasan kekuasaan pemerintah pusat dan peran partai politik nasional dapat menggeser fokus politik lokal dan membatasi keman-dirian OMS. Kemandirian jangka panjang OMS akan tergilas dan dihapuskan dengan adanya dominasi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dan kabupaten terhadap kebijakan dan program di tingkat daerah, termasuk di Aceh.
Perubahan iklim politik juga dapat mempengaruhi kontrol terhadap sumber daya dan anggaran di daerah, yang dapat membatasi ruang gerak OMS dalam melakukan proyek-proyek pem-bangunan atau advokasi kebijakan.
Jika pemerintah pusat mengendalikan lebih banyak sumber daya dan anggaran, OMS di Aceh mungkin mengalami kesulitan dalam mendapatkan dukungan finansial dan operasional untuk kegiatan mereka (Basri & Hill, 2020). Belum lagi adanya dominasi partai politik nasional yang kemudian berhasil mereduksi urgensi partai politik lokal dalam politik Aceh dapat mengurangi ruang untuk suara independen dan kritis dari OMS, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan agenda partai politik nasional. Partai politik lokal yang diharapkan menjadi kunci dalam upaya mener-jemahkan kebutuhan daerah dan lokal, malah menjadi kolaborator dan cheer leader semua kebijakan partai politik nasional pada tataran eksekutif, legislative dan bahkan yudikatif. Politik simbolik demikian dapat mengaburkan fokus pada masalah lokal yang dihadapi oleh masyarakat Aceh. Hal ini dapat menyebabkan OMS di Aceh merasa semakin marginal atau diabaikan dalam upaya pembangunan dan advokasi kebijakan.
Kondisi lainnya yang juga cukup mengkhawatirkan adalah semakin tingginya tekanan pada kebebasan media dan akses informasi di Indonesia dan juga Aceh (Ningsih dkk. 2021) . Jika pemerintah meningkatkan kontrol terhadap media dan informasi, OMS di Aceh mungkin mengalami kesulitan dalam menyebarkan informasi, menyuarakan pandangan mereka, atau mengorganisir kegiatan-kegiatan yang sudah mereka lakukan dan akan mereka lakukan. Kebijakan seperti shadow ban di sosial media, atau digital surveillance bagi OMS dan para aktivisnya akan semakin menutup ruang gerak mereka untuk berkontribusi mendapatkan akses.
Selain itu, tantangan internal organisasi, minimnya regenerasi dan persoalan manajemen dan kepemimpinan, juga dapat melemahkan peran OMS sebagai pemeran utama dalam konfigurasi politik (Alawiyah, 2021). Persaingan internal antara berbagai OMS di Aceh dapat menghambat upaya kolaborasi dan koordinasi antar mereka. Aliansi atau kerja sama yang efektif sering kali terhalang oleh persaingan internal terkait sumber daya, pengaruh, atau agenda yang berbeda. Kurangnya koordinasi antara OMS di Aceh dapat menghasilkan tumpang tindih dalam upaya dan program-program mereka.
Manajemen isu dan fokus dalam pengarusutamaan advokasi dari OMS menjadi berkurang karena minimnya pemetaan kebutuhan, need assessment dan baseline yang menjadi ruh dari gerakan OMS (Boediningsi & Rumaya, 2021). Hal ini dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi dalam penyebaran sumber daya dan upaya mereka, serta mencip-takan kesan butuk ditengah masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, dikarenakan aspek kebersinambungan dan keberlanjutan program tidak lagi menjadi prioritas. Pergulatan kekuasaan antara berbagai kelompok OMS di Aceh dapat menciptakan ketidakstabilan internal dan merusak kepercayaan dan solidaritas di antara mereka. Persaingan untuk mendapatkan pengaruh atau kontrol atas sumber daya dan keputusan dapat mengalihkan perhatian dari upaya-upaya yang lebih penting untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Banyak OMS di Aceh menghadapi tantangan kekurangan sumber daya, baik dalam hal keuangan, personel, atau infrastruktur. Bisa dikatakan tidak banyak OMS di Aceh yang bisa menghidupi pegawai dan stafnya dari proyek advokasi yang mereka lakukan. Jumlah OMS yang punya infrastruktur dan gedung milik sendiri bisa dihitung dengan jari. Belum lagi minimnya regenerasi sumber daya manusia dikarenakan sosok-sosok potensial sekarang lebih cenderung memilih jalur birokrasi atau berorientasi pada politik praktis, minimnya proses pengkaderan dan pengayaan tema dalam kegiatan menjadikan OMS beralih dari spesialisasi isu yang harusnya sesuai visi misi dan landasan pembentukan menjadi OSM serba ada dan serba bisa di tengah dunia yang lebih yakin akan proses outsourcing dibandingkan konsisten dengan upaya resourcing. Kekurangan ini dapat membatasi kemampuan mereka untuk melaksanakan program-program dan proyek yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, mengakibatkan ruang vakum dalam upaya pembangunan dan advokasi. Tantangan dalam membangun kepemimpinan yang efektif di antara OMS di Aceh juga dapat memperburuk situasi. Kurangnya pemimpin yang dapat mempersatukan dan menginspirasi anggota organisasi untuk bekerja bersama-sama dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakjelasan dalam arah dan prioritas organisasi.
Penutup
Dengan demikian, pergeseran peran OMS dari pemeran utama menjadi pemeran pembantu dalam konfigurasi politik Aceh merupakan hasil dari dinamika politik dan sosial yang kompleks. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya upaya untuk memperkuat peran OMS sebagai agen perubahan yang independen, kreatif, dan berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan melalui penguatan kapasitas, kerja sama antar-OMS, dan keterlibatan yang lebih aktif dalam pem-bangunan masyarakat lokal.
Disisi lain, meskipun tulisan ini bisa dianggap sebagai pretext atau pengantar kepada riset atau amatan yang lebih mendalam, namun paling tidak apa yang sudah disampaikan disini bisa menjadi bahan introspeksi bersama. Harapan untuk merevitalisasi peran OMS sebagai elemen sentral dan eksponensial tentu tidak akan terwujud jika OMS sendiri kemudian belum menyadari atau masih terjebak kepada fame dan fortune dibandingkan fokus pada game dan principle. Sehingga wajar jika degradasi peran dari sentral menuju periferal dan dari periferal menuju marginal tidak terelakkan. Jika tidak mau terus menerus memaikan peran figuran dalam konfigurasi dan dinamika sosial politik yang ada, maka OMS perlu menciptakan agenda atau bahkan trend setting tersendiri yang sesuai dengan hasil konsolidasi yang rapi. Untuk kembali ke khittahnya OMS perlu kembali ke perannya sebagai penyeimbang dinamika kebijakan publik yang ada, menjadi pengawal demokrasi yang imparsial, agar tidak semakin terperosok ke tahapan alih peran atau mutasi peran permanen dari sosok figuran menjadi pemain cadangan di pinggri lapangan atau bahkan penonton dari proses sosial politik yang ada. []
________
Redaksi: Artikel ini pernah publis dalam buku “Aceh 2025: Tantangan Masyarakat Sipil, terbitan Bandar Publishing, untuk mendapatkan bukunya bisa melalui tautanhttps://bandarpublishing.com/produk/aceh-2025-tantangan-masyarakat-sipil/
Daftar Pustaka
Akmal, S. (2021) Bahasa Politik Mantan GAM di Media, Retorika Politik di Aceh Paska Konflik. Ar-Raniry Press.
Alawiyah, T. (2016). Tren, Tantangan dan Strategi dalam Manajemen Sumber Daya Manusia dan Regenerasi Kepemimpinan LSM di Indoensia.
Aminuddin, M. F. (Ed.). (2009). Globalisasi dan neoliberalisme: pengaruh dan dampaknya bagi demokratisasi Indonesia. M Faishal Aminuddin.
Basri, C., & Hill, H. (2020). Making economic policy in a democratic Indonesia: The first two decades. Asian Economic Policy Review, 15(2), 214-234.
Boediningsi, W., & Rusmaya, E. (2021). Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (lsm) dalam Masyarakat Sosial. Journal Transformation of Mandalika, 2(4), 282-291.
Darwin, R. L. (2016). Institusionalisasi Partai Aceh: Patronase dan Konsolidasi dalam Transisi Demokrasi Pasca Konflik. GOVERNMENT: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 81-94.
Eko, S., & Tjoetra, A. (2012). Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil Melalui TERAPAN.
Fasya, T. K. (2018). Aceh Pasca Pilkada 2017: Dari Populisme hingga Harapan Demokrasi Baru. Tashwirul Afkar, 37(1), 132-155.
Holloway, R. (2001). Menuju Kemandirian Keuangan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mujib, I., Abdullah, I., & Nugroho, H. (2014). Kebangkitan Lokal di Aceh: Pembentukan Identitas Keacehan, Reaktualisasi Ruang Publik dan Penguatan Kearifan Lokal Pasca Konflik dan Tsunami. Harmoni, 13(2), 20-36.
Ningsih, C. S., Amelia, C., Aisyah, P., Zahera, R., & Prasetya, W. I. (2021). Hak Kebebasan Berpendapat Yang Semakin Menyempit Dan Memburuk. Jurnal Syntax Fusion, 1(2), 25-39.
Njoku, E. T. (2022). Strategic exclusion, co-option and containment: towards an integrative theory of state-CSOs relations. Critical Studies on Terrorism, 15(4), 917-944.
Nurhasim, M. (2006). INTEGRASI POLITIK GAM PASCA-MOU HELSINKI: Peluang dan Kendala. Ambiguitas Perdamaian, 10.
Nurhasim, M. (2016). Dominasi Partai Aceh Pasca-MoU Helsinki. Jurnal Penelitian Politik, 9(2), 15.
Pradjasto, A., Priyono, A. E., Samadhi, W. P., & Törnquist, O. (2007). Dari Representasi Elitis Menuju Representasi Popular. Indonesian Centre for Democracy and Human Rights.
Sari, N., & Nusuary, F. M. (2023). Arah Kebijakan Pemerintah Aceh Pasca Penerapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 dalam Mewujudkan Perdamaian Positif di Aceh. Journal Of Political Sphere, 4(1), 45-58.
Silitonga, S. G. J. (2023). Catatan Ekonomi dan Politik di Indonesia Tahun 2022. Jurnal Multidisiplin Indonesia, 2(1), 133-150.
Solihah, R. (2016). Politik transaksional dalam pilkada serentak dan implikasinya bagi pemerintahan daerah di Indonesia. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2(1), 97-109.
Stephanus Pelor, S. H. (2018). Peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap pembangunan politik dan demokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmiah Hukum DE’JURE: Kajian Ilmiah Hukum, 3(1), 131-146.
Taqwadin, D. A. (2017). ACEH IN THE SHADOW OF GREY DEMOCRACY. ARICIS PROCEEDINGS, 1.
Taqwadin, D. A., & Sulaiman, N. The Strategy of Local CSOs towards Government and Peacebuilding in Aceh, Indonesia (An exploratory study from conflict to post-conflict).
Tjoetra, A. (2018). Transformasi Organisasi Masyarakat Sipil Aceh Pasca Mou Helsinki. Community: Pengawas Dinamika Sosial, 2(3).
Tjoetra, A., Husna, C. A., Samwil, S., & Fajri, R. (2023). Pasang Surut Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Pembentukan Kebijakan Publik di Aceh. Jurnal Sosiologi Andalas, 9(2), 140-156.
Tripa, S. (2019). Catatan Aceh Membangun: 26 Desember 2005–25 Desember 2007. Bandar Publishing.
Prof. Saiful Akmal, Ph.D, adalah Guru Besar di UIN Ar-Raniry yang lahir di Banda Aceh tahun 1982. Ia menyelesaikan S1 di Prodi Tadris English Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry Banda Aceh, kemudian melanjutkan S1 bidang linguistik terapan analisa tutur wacana di University of Liverpool, InggrisIs dan S3 di Fakultas Bahasa dan Budaya, Goethe University of Frankfurt Jerman di bidang bahasa, politik dan media. Pernah aktif di ACSTF, the Aceh Institute, Kata Hati Institute & ICAIOS. Ia juga pendiri https://padebooks.com/