Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Banda Aceh.
Dalam pengalaman akademik saya, kajian Cina sama sekali tidak pernah muncul sama sekali. Beberapa kolega menyarankan agar saya mau mengubah haluan studi ke Cina, ketimbang Barat. Namun demikian, setiap ada niat untuk mendalami Cina, selalu terbentur untuk kelemahan saya dalam bahasa Cina. Tidak hanya itu, saya pun tidak pernah mendalami budaya Cina. Inilah yang membuat saya tidak begitu percaya diri akan menulis sesuatu tentang Cina. Pada saat yang sama, bahan-bahan tentang Cina telah terkumpul sejak beberapa tahun terakhir. Bahan-bahan tersebut membuat saya sedikit tertegun, karena semakin saya tidak mampu memahami tentang Cina, semakin banyak bahan yang terkumpul mengenai Cina. Untuk itu, saya membesarkan hati untuk belajar menulis tentang Cina. Studi saya tentang geo-politik dunia pun selalu menghadapkan saya pada Cina. Studi keamanan dan pertahanan militer, juga membuat saya harus melirik pada Cina. Studi tentang ekonomi dunia, juga selalu mengajak diri saya untuk membaca laporan-laporan perkembangan dan pengaruh ekonomi Cina.
Sebelum saya menguraikan panjang lebar mengenai Dunia Cina (Chinese World), saya akan menceritakan terlebih dahulu perjalanan hidup saya yang bersentuhan dengan etnik Cina. Saya berasal dari Krueng Mane, tepatnya desa Cot Seurani. Saat ini, kampung tersebut sudah dipecah dua, yaitu Cot Seurani dan Keude Mane. Di desa Keude Mane, ada pertokoan yang berada di tepat di tikungan Krueng Mane. Ketika saya masih kanak-kanak, di wilayah pertokoan tersebut, ada satu toko yang dimiliki oleh seorang Cina Tua, namanya Toke Ubit. Kalau pun saya ke tokoh dia, selalu membeli pisau silet untuk membuat layang-layangan. Tokohnya gelap sekali. Cina Tua tersebut duduk sendiri tanpa ada sanak saudara. Kami selalu takut masuk ke toko dia, namun kami selalu memberanikan diri untuk beli sesuatu ke tokonya. Saat itu, kami sudah mendengar sebuah ungkapan: Cina Khek, sampoh ek ngon geureutah (Cina Khek, bersihkan taik dengan kertas). Bagi saya, saat itu orang Cina menakutkan dan jorok sekali, karena membersihkan taik dengan kertas.
Almarhum ayah saya adalah pedagang kaki lima (PKL). Dia selalu bepergian untuk menjual kain ke tempat hari pekan. Kalau liburan, saya akan akan menemani almarhum ayah saya berjualan ke tempat-tempat keramaian. Pada hari Selasa, kami berjualan di Geurugok, kecamatan Gandapura, Aceh Jeumpa. Ketika sudah membuka barang, biasanya saya akan berkeliling untuk melihat keramaian. Pengalaman ini sekitar akhir tahun 1980-an. Ketika saya berkeliling di pasar Geurugok, saya mendengar ada satu Cina lagi, yaitu Si Anyi. Saya bolak balik di depan toko dia. Saya melihat banyak orang yang mengambil barang sama dia. Di samping tokonya yang berlantai 2 tersebut, terdapat toko untuk cuci foto. Saya lihat di depan tokoh mereka selalu ada sesuatu yang dibakar di depan rumah. Saya hanya lihat-lihat dari kejauhan. Ternyata beberapa penjual kelontong mengambil barang dari tokoh Si Anyi tersebut. Ada orang Cina yang tinggi besar. Rambut agak lurus. Mata sipit. Ini berbeda dengan Cina Tua yang saya temui di kampung halaman saya. Selain dua toko tersebut, saya tidak mendengar adanya orang Cina di Gandapura.
Begitu saya ke Bireuen, baru kemudian saya melihat banyak sekali wajah orang Cina. Mereka berbicara dalam bahasa Aceh dan Cina. Jika bertemu dengan pelanggan, mereka akan berbicara dalam bahasa Indonesia atau Aceh. Namun, jika bercakap-cakap sesama mereka, baru saya dengar bahasa Cina. Di kota kecil inilah saya kemudian banyak melihat orang Cina. Mereka berjualan kue, mie, bengkel, emas, dan lain sebagainya. Wajah Cina kembali saya lihat ketika belajar di Langsa. Mereka kebanyakan membuka toko-toko yang mirip seperti yang saya lihat di Bireuen. Cina di Langsa lebih mendekatkan diri dengan ke Medan, ketimbang ke Banda Aceh. Belakangan saya baru mengetahui bahwa kekuatan yang kuat dalam perdagangan di Aceh adalah pengaruh dari Cina Medan. Merekalah yang mengontrol jaringan bisnis di provinsi Aceh.
Setelah itu, saya hijrah ke Banda Aceh pada tahun 1993. Di kota ini saya pun mulai mendengar istilah Cina-Peunayong. Mereka adalah penduduk Banda Aceh yang menjalankan roda bisnis di kawasan Peunayong dan di tempat-tempat lainnya di sekitar kota Banda Aceh. Saat itu, saya sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan etnik Cina. Karena tidak ada alasan untuk berhubungan dengan etnik tersebut. Hanya saja, saya kerap melihat areal pertokoan mereka di sekitar Peunayong. Rumah-rumah mereka di sekitar Kampung Mulia begitu tinggi pagar pembatasnya. Sering kami mendengar bunyi anjing di dalam beberapa rumah yang kami lewati. Bisnis yang mereka jalani memang tidak begitu berbeda dengan kawasan-kawasan lainnya, seperti yang pernah saya lihat di kota Langsa. Hanya saja, di sini beberapa Cina mampu berbahasa Aceh secara fasih.
Setelah tiga tahun berada di kota Banda Aceh, saya pun hijrah ke Yogyakarta. Di kota inilah saya kemudian melihat bisnis Cina yang ada di beberapa areal perdagangan Kota Gudeg. Mall-mall besar dimiliki oleh etnis Cina. Hanya saja di sini saya menemukan Cina-Jawa yaitu mereka yang beretnik Cina namun mampu berbahasa Jawa secara fasih. Mereka piawai di dalam melayani pembeli dalam bahasa Cina. Walaupun di beberapa toko-toko orang Cina, sering dijumpai pelayan pribumi dari etnik Jawa. Masalah Cina mencuat dalam memori saya ketika tahun 1998 meletus kerusuhan massal di beberapa kota di Pulau Jawa. Saat itu, salah satu kota yang menjadi target pembakaran oleh massa adalah Kota Solo. Saya sempat diajak keliling kota tersebut untuk melihat bekas-bekas pembakaran. Saat itulah saya mulai melihat grafiti yang tertuliskan “Milik Pribumi.” Kemudian, etnik Cina menjadi target utama di Kota Jakarta dalam kerusuhan Mei 1998, hingga melahirkan kepemimpinan baru di Indonesia.
Tahun 2001 saya hijrah ke Kuala Lumpur (Malaysia) untuk melanjutkan studi magister di Universiti Malaya. Di negara inilah saya mulai melihat Cina dimana-mana. Hampir semua sudut kota dan pemukiman ada orang Cina. Namun, mereka lebih suka berbicara dalam bahasa Cina. Kendati mereka juga sangat fasih dalam berbahasa Melayu dan Inggris. Di Malaysia memang terdapat tiga etnik besar yang sangat berperan yaitu Melayu, Cina, dan India. Karena itu, tidak mengherankan jika Cina dapat dijumpai dimana-mana di negara tetangga ini. Dalam satu kepulangan ke Indonesia saya pun sempat singgah di Singapura, dimana disinilah saya menemukan negara Cina di Asia Tenggara.
Tahun 2005 saya pindah ke Thailand, tepatnya di provinsi Nakhorn Sri Thammarat. Saat itu, saya menjadi staf pengajar di Walailak University. Kembali saya menemukan Cina-Thai di seluruh sudut kota di negara ini. Mereka piawai sekali dalam bahasa Thai. Namun, ketika ke Pattani, dijumpai Cina yang berbahasa Thai dan juga berbahasa Melayu dialek Pattani. Cina-Thai lebih banyak ditemukan di kawasan perdagangan, seperti lazimnya di Malaysia. Namun, saya lebih banyak menemukan berbicara dalam bahasa Thai dan Cina, ketimbang dalam bahasa Inggris, seperti pengalaman di Malaysia dan Singapura. Saya terkadang tidak mampu menandai antara wajah orang Cina dan Thai, terlebih lagi mereka orang Siam yang berada dari Chiang Mai.
Selanjutnya, tahun 2006 saya sempat tinggal di Melbourne, dimana saya pun melihat banyak orang Cina yang membuka warung atau toko di sekitar wilayah perdagangan kota Melbourne. Tetangga saya semuanya berasal dari Cina, yang melakukan studi di La Trobe University. Dari mereka saya tahu bahwa mereka merupakan anak tunggal, yang melakukan studi atas biaya orang tua sendiri, bukan beasiswa dari pemerintah Cina. Di samping itu, saya juga mulai berkenalan dengan mahasiswa dari Korea Selatan dan Jepang. Wajah mereka mirip-mirip, namun wajah Cina lebih mudah ditandai, mungkin karena saya sudah akrab dengan wajah mereka sejak di kampung halaman. Mahasiswa Cina bergaul dengan sesama Cina, namun mahasiswa Korea Selatan bergaul sesama negara asal mereka. Sama sekali saya tidak paham kalau antara Korea Selatan dan Korea Utara memiliki masalah antara negara mereka.
Setelah itu, saya baru membaca majalah, koran, jurnal, yang mengupas tentang kebangkitan ekonomi Cina. Negara ini dipandang sebagai raksasa baru yang akan menyaingi kekuatan Amerika Serikat. Selebih itu, saya tidak tahu apa-apa tentang Cina. Lantas kemudian setelah tahun 2010-an, isu Cina di Indonesia kembali mencuat ke permukaan (9 Naga), usaha untuk menguasai perekonomian Indonesia dan kemunculan Komunis Gaya Baru di negara ini. Dalam kondisi ini, saya kerap menerima informasi tentang Cina sebagai “musuh rakyat Indonesia” yang harus diwaspadai. Namun, rumor bahwa Cina masuk di dalam relung kekuatan rezim pemerintah setelah SBY adalah bukti bahwa Cina telah berhasil meletakkan cankangnya di Nusantara.
Program KB di Cina, Countries and Their Cultures, Jil 1: 470.
Demikianlah kisah awal perkenalan saya dengan Cina. Dalam sepenggal kisah di atas, saya mulai mengenal Cina dalam berbagai bentuk: “Cina-Tua,” “Cina-Toko,” “Cina-Peunayong,” “Cina-Jawa,” “Cina-Malaysia,” “Cina-Singapura,” “Cina-Thai,” “Cina-Perantauan,” dan “Cina-Kekuatan-Global.” Ternyata, saya tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang Cina dalam durasi seluruh hidup saya. Hingga sekarang, kalau saya memfoto kopi bahan-bahan kuliah, masih berlangganan pada seorang anak muda Cina, yang membuka jasa foto kopi di sudut kampus UIN Ar-Raniry. Kalau mobil saya rusak, saya masih memperbaikinya di bengkel milik Cina-Peunayong. Salah satu kesan yang saya dapati berurusan dengan Cina, paling tidak pengalaman saya dengan jasa foto kopi dan bengkel, aalah kepuasan dan tepat waktu. []