Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Saat melakukan perjalanan ke Lhokseumawe, saya secara khusus menikmati bu prang (nasi perang) bersama segelas kopi sanger. Perjalanan ini sudah lama berlalu. Catatan saya, termasuk Anda yang melewati jalur utara, adalah melewati kawasan bu prang. Mungkin tidak semua orang merasakannya, karena tidak semua angkutan berhenti. Di jalur ini, saya kira salah satu kuliner yang unik dan lahirnya tidak dikondisikan, adalah bu prang ini.
Saya beberapa kali menelusuri keberadaan dan sejarah bu prang, belum saya temukan secara utuh. Lewat persebaran lisan, saya dengar istilah bu prang lahir dari satu tempat pemberhentian angkutan. Samping tempat pengisian bahan bakar Ulee Gle (Bandar Dua, Pidie Jaya), ada warung yang menyediakan nasi seukuran mini.
Dari mulut ke mulut, disebut bu prang, karena nasi bungkus yang dijual di sana mirip seukuran nasi yang disiapkan saat konflik dulu. Maksudnya kebutuhan nasi cukup hanya untuk mengganjal perut. Mereka yang kuliah di Jawa (terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta), nasi ukuran mini ini juga tidak asing. Di sana disebut dengan istilah nasi kucing.
Setiap lewat kawasan Ulee Gle, saya selalu ingat nasi kucing ketika berada di Semarang, Jawa Tengah, atau sebagian kawasan Jawa. Ada satu kesamaan penting bagi saya, dalam hal kreativitas menyediakan nasi bungkus. Ulee Gle memperkenalkan bu prang. Semarang sebagai salah satu kota yang memperkenalkan nasi kucing. Kedua jenis nasi ini bukan benar-benar seperti yang digambarkan pada namanya, melainkan pada ukurannya. Jika bu prang digambarkan sebagai nasi yang bisa dimakan cepat dalam suasana terjepit, maka nasi kucing juga demikian. Kedua jenis nasi ini digunakan oleh komponen yang berbeda. Awalnya, bu prang dimakan oleh para sopir dan penumpang yang tidak memiliki banyak waktu. Sementara nasi kucing dimakan mahasiswa, yang awalnya berdasarkan kemampuan kantong mereka.
Spirit bu prang ini terkait dengan tujuan kepergian saya ke Lhokseumawe. Saya mendapat tugas dari pimpinan, untuk membagikan pengalaman dalam mempersiapkan artikel sekaligus proses mengirimkannya ke jurnal internasional. Khususnya bidang hukum. Tempatnya di Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, kampus Buket Indah, Lhokseumawe. Karena ini tugas, saya tidak bisa mengelak. Semampu saya, apa yang pernah saya lakukan, pengalaman itu saya bagikan kepada kolega saya yang sebagian juga sudah pernah menulis artikel scopus.
Jurnal memiliki sejumlah klaster. Jurnal internasional, berbeda dengan jurnal internasional bereputasi. Demikian juga dengan jurnal nasional, posisinya berbeda dengan jurnal yang sudah terakreditasi. Selama ini dosen berusaha menulis artikel yang diperuntukkan ke jurnal internasional bereputasi itu. Tujuan workshop di Buket Indah, berkaitan dengan target jurnal internasional bereputasi ini.
Kegiatan lain, bersamaan dengan agenda workshop, adalah mempersiapkan isi jurnal yang selama ini semua aktivitas jurnal sudah harus dioperasionalkan melalui open journal system (OJS). Setelah workshop penulisan jurnal internasional, saya kemudian diskusi dengan pengelola Jurnal Reusam dan Jurnal Suloh yang menjadi kebanggaan keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh.
Inti dari kegiatan adalah workshop artikel jurnal internasional. Khususnya jurnal internasional bereputasi, antara lain berindeks scopus. Sejumlah kalangan, scopus ini diperdebatkan. Secara nasional, banyak kritik yang dilontarkan. Kebijakan wajib pada jurnal bereputasi, muncul dari kementerian. Niatnya adalah berkompetisi secara global terkait artikel pada jurnal bereputasi.
Sejumlah dosen kampus ini, sudah memiliki artikel scopus. Hal ini jadi meringankan tugas saya. Sejumlah pengalaman dari saya, kemudian bertemu dengan pengalaman yang sama dari yang dialami mereka. Tetapi ada keinginan lain yang menurut saya luar biasa dari pimpinan kampus ini, terkait dengan usaha memperbanyak artikel scopus. Diharapkan semua dosen menulis dan bersaing pada jurnal internasional bereputasi.
Saya ingin klarifikasi bahwa maksud artikel scopus adalah artikel yang terbit pada jurnal internasional bereputasi. Dalam tiga tahun terakhir, di negara tercinta ini, kebutuhan terhadap jenis artikel ini sangat tinggi. Scopus pada dasarnya pangkalan data terkait jurnal akademik. Di dalamnya lebih 20 ribu judul artikel jurnal tertelaah dan prosiding, dengan ribuan penerbit. Pangkalan data ini dimiliki Elsevier dengan pola berlangganan.
Selain artikel jurnal, artikel prosiding juga bisa diindeksasi scopus. Kondisi ini turut dimanfaatkan pula berbagai event organizer yang memfasilitasi proses indeksasi ini. Terkait dengan proses, banyak kalangan menduga terjadi proyeksasi dan bisnis dunia ilmiah. Di samping penyerahan hak cipta yang sepenuhnya menjadi milik publisher.
Kebijakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, scopus menjadi ukuran standar karya ilmiah bereputasi. Tidak hanya bagi pengurusan pangkat dan jabatan fungsional dosen, syarat ini juga diperuntukkan bagi mahasiswa magister dan doktoral. Selain scopus, yang dibolehkan indeks yang lain adalah web of science yang pernah dikelola Thomson Reuters.
Tugas yang diberikan pimpinan saya, berdasarkan undangan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, tak lepas dari kepentingan di atas. Tugas yang saya jalankan termasuk dalam kategori berat yang harus dipikul. Saat makan bu prang di Ulee Gle, saya membayangkan tugas berat ini, bukan hanya untuk saya, melainkan dosen dan mahasiswa lanjutan.
Perjalanan dari Banda Aceh menuju Lhokseumawe, butuh perjuangan tersendiri. Saya pribadi, untuk setiap perjalanan selalu membutuhkan waktu khusus. Ada orang yang bisa memanfaatkan kesempatan dalam perjalanan ini untuk melakukan aktivitas lain, misalnya membaca, atau bahkan menulis lewat telepon pintar. Teman saya, ada yang mengerjakan tugas rutinnya saat dalam perjalanan. Untuk hal ini, saya tidak bisa. Bukan saja untuk acara workshop jurnal ini. Bahkan untuk semua kegiatan, seperti penelitian yang sering saya lakukan, saya tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali melihat kanan kiri berbagai pemandangan. Memanggil atau menerima telepon. Itu saja.
Alasan ini pula, saya sering tidak ambil bagian untuk perjalanan yang sangat jauh, misalnya naik kendaraan terus-menerus lebih dari 10 jam. Perjalanan panjang yang bisa jadi sejumlah tugas tidak bisa diselesaikan.
Ketika tugas berat saya harus saya terima dari pimpinan saya, untuk membagi pengalaman menulis di jurnal internasional bereputasi, saya membayangkan sedang berjuang. Seperti nama bu prang yang digunakan orang yang menjual nasi sebagai pengganjal perut.
Siapapun bisa makan enak dalam suasana yang menyenangkan, walau hanya untuk mengganjal perut. Tetapi ketika dalam suasana tertekan, makanan enak pun terasa hambar di lidah. Saya menyarankan, saat Anda berjuang menulis artikel, buatlah suasana menyenangkan, biar terasa enak walau itu seukuran bu prang.