SAGOE TV | BANDA ACEH – Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar atas keberhasilannya menerapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 dalam penanganan kasus perdagangan satwa liar dilindungi. Penerapan aturan baru ini dinilai sebagai tonggak penting dalam memperkuat penegakan hukum dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Aceh.
Kasus tersebut berawal dari pengungkapan pada Desember 2024, ketika aparat penegak hukum (APH) berhasil menangkap dua pelaku berinisial MF (28) dan IR (35) di Peukan Bada, Aceh Besar. Dari tangan pelaku, disita 30 kilogram sisik trenggiling, serta sejumlah bagian tubuh satwa dilindungi lainnya, termasuk paruh rangkong, tanduk rusa, kepala rusa, kulit kambing hutan, dan kulit kancil.
Kedua pelaku kemudian diproses hukum dengan dakwaan berdasarkan Pasal 40A ayat (1) huruf f jo Pasal 21 ayat (2) huruf c UU No. 32 Tahun 2024, yang menegaskan larangan memperjualbelikan bagian tubuh satwa dilindungi.
“Kasus ini menjadi tonggak penting karena membawa aturan tegas, yaitu batas minimal hukuman 3 tahun penjara bagi pelaku. Kami mengapresiasi Kejaksaan yang telah serius dalam menerapkan aturan perundang-undangan terbaru ini,” ujar Legal Officer Yayasan HAkA, Munira Rezkina, Kamis (21/8/2025).
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Besar Jemmy Novian Tirayudi menyampaikan apresiasi atas penghargaan tersebut. “Kami sangat menyambut dengan baik dan berbahagia atas dukungan dari NGO, khususnya HAkA. Dukungan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus konsisten dalam menegakkan hukum, khususnya kasus kejahatan satwa liar yang merugikan kelestarian lingkungan.”
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Aceh Besar Rifai Affandi menambahkan pentingnya penerapan UU terbaru sekaligus perlunya sosialisasi.
“Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya satwa liar sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan dari praktik perdagangan ilegal. Padahal, satwa-satwa ini memiliki peran penting sebagai arsitek hutan yang menjaga keseimbangan ekosistem,” ujarnya.
“Oleh karena itu, penyuluhan dan sosialisasi UU No. 32/2024 menjadi sangat krusial, tidak hanya bagi penyidik dan aparat penegak hukum, tetapi juga bagi masyarakat luas. Dalam membangun masyarakat, kesadaran hukum adalah kunci. Kami juga siap dilibatkan dalam upaya sosialisasi ini, termasuk melalui mekanisme kampanye media,” kata Rifai.
Penerapan minimum hukuman 3 tahun dalam UU 32/2024 dipandang sebagai langkah maju dalam melindungi satwa liar, termasuk trenggiling. Selama ini, praktik perdagangan satwa liar dilindungi kerap dianggap kejahatan “low risk, high profit” karena pelaku sering lolos dengan hukuman ringan. Dengan adanya batas minimal, pelaku diharapkan akan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan yang merugikan keanekaragaman hayati dan ekosistem.
Lebih lanjut, HAkA menekankan pentingnya sosialisasi UU No. 32 Tahun 2024 kepada penyidik kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya. Sosialisasi ini dinilai krusial agar setiap tahapan penyidikan hingga penuntutan berjalan sesuai dengan ketentuan hukum terbaru, sehingga penerapan hukum mencerminkan keseriusan negara dalam melindungi satwa liar dilindungi serta keberlanjutan ekosistemnya.
Melalui penghargaan ini, HAkA menegaskan komitmennya untuk terus mendorong penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku perdagangan satwa liar dilindungi, sekaligus memperkuat sinergi dengan aparat penegak hukum demi menjaga kekayaan alam Aceh dan Indonesia. [R]