Oleh: Salsabila
Mahasiswi Prodi Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan dengan kasus seorang KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat) yaitu Serda Aprilia Santini Manganang yang telah resmi menjadi laki-laki. Dokter yang menangani hal ini mengatakan bahwa Aprilia menderita hipospadia yaitu suatu kelainan yang menyebabkan letak lubang kencing (uretra) menjadi tidak normal. Kondisi ini merupakan kelainan bawaan lahir serta adanya faktor keturunan. Kelainan ini akan menjadi serius bila tidak adanya penanganan lebih lanjut. Pada kasus hipospadia yang berat, kelamin memang akan terlihat menyerupai organ kelamin perempuan. Dalam kasus ini, Aprilia tidak sendirian. Saudara perempuannya, Amasya Anggraini Manganang, juga mengalami hal yang sama dengannya. Mereka berdua mengidap kelainan hipospadia berat.
Hipospadia ini merupakan kelainan yang sangat langka, kurang dari 15 ribu kasus per tahun di Indonesia. Sampai sekarang belum diketahui penyebab dari kelainan ini, tetapi para pakar menyebutkan bahwa hipospadia dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan, ibu yang mengandung di usia 40 tahun ke atas serta paparan asap rokok juga diklaim dapat meningkatkan resiko hipospadia. Kelainan ini dapat mempengaruhi psikologi seseorang, terutama ketika ia mulai berinteraksi dengan teman-temannya. Hal ini juga yang dirasakan oleh Aprilia, ia merasa selama ini tidak menjadi dirinya sendiri. Banyaknya tekanan yang diterima melalui tindakan sosial tentang identitas gender dirinya membuatnya kerap menjadi korban perundungan dari teman-temannya. Hal ini kemudian membuat Aprilia menjauh dari interaksi sosial karena takut akan dirundung dan dipertanyakan mengenai jenis kelamin dan gendernya.
Pembahasan
Gender adalah kategori sosial yang seringnya ditentukan oleh masyarakat yang memberikan pemaknaan (meaning) terhadap sesuatu maupun seseorang. Contohnya bagi seorang anak perempuan, yang selalu dikaitkan dengan warna pink. Warna pink telah diberi pemaknaan yang identik dengan lemah lembut, indah, dan cantik. Sehingga, pemaknaannya menjadikan anak perempuan itu lemah lembut dan cantik seperti warna yang dilekatkan pada dirinya. Begitu pula dengan laki-laki yang identik dengan warna biru. Pemberian makna warna biru pada laki-laki dimaksudkan agar anak laki-laki itu nantinya akan menjadi gagah dan maskulin seperti warna yang melekat pada dirinya.
Di Eropa, terdapat sebuah tradisi di mana suatu hari diberikan pengumuman kepada seluruh anggota keluarga tentang jenis kelamin anak yang sedang dikandung oleh seorang ibu atau anggota keluarga tersebut. Mereka menyebut tradisi ini dengan “Baby Gender Reveal Party” atau “Pregnancy Gender Reveal”. Dalam acara tersebut, bayi perempuan akan disematkan warna pink untuk anak perempuan dan warna biru untuk anak laki-laki sebagai pemaknaan gender terhadap cambang bayi. Jika bayi yang dikandung adalah perempuan maka segala atribut dekorasi pesta akan dipenuhi dengan warna pink. Begitu pun sebaliknya jika bayi yang dikandung adalah laki-laki. Melalui tradisi ini, kita dapat melihat bagaimana orang lain telah memberikan pemaknaan terhadap identitas seorang bayi bahkan ketika dia belum dilahirkan.
Berbeda dengan tradisi di Eropa yang telah memberikan pemaknaan kepada bayi bahkan ketika ia belum lahir, di Indonesia sendiri terdapat beberapa tradisi yang juga turut memberikan pemaknaan kepada seorang bayi. Bedanya hal ini dilakukan setelah si bayi terlahir. Salah satunya berasal dari Jawa yaitu tradisi “Tedhak Siten” atau tradisi memperkenalkan jati diri. Tradisi ini bermakna untuk menggambarkan perjalanan hidup si bayi dimulai ketika masih dalam lindungan orang tua sampai ia menjadi dewasa dan mandiri. Di dalam tradisi ini terdapat sebuah ritual di mana si bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang di dalamnya telah tersedia berbagai benda-benda yang melambangkan pekerjaannya ketika dewasa nanti.
Benda-benda yang dimasukkan ke dalam kurungan tersebut berbeda antara bayi laki-laki dan perempuan. Jika bayinya laki-laki, maka benda yang disediakan adalah benda-benda maskulin dan macho seperti padi, wayang kulit, alat tulis dan mainan seperti pesawat, mobil, dan lainnya. Begitu pun jika bayi perempuan, maka benda-benda yang disediakan adalah benda-benda yang feminim seperti alat make-up, alat masak, dan sebagainya. Benda yang pertama kali dipegang oleh si bayi maka akan melambangkan kehidupannya kelak. Dalam tradisi ini juga dapat dilihat bagaimana seorang bayi telah diberikan pemaknaan tentang kehidupan yang akan dijalaninya kelak. Tradisi di Barat dan Timur ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan makna dan melekatkan identitas gender terhadap seseorang semenjak dari masih bayi.
Pemaknaan ini juga berlaku bagi Aprilia, terlahir dengan kelainan hipospadia yang menyebabkan kelaminnya terlihat seperti perempuan, membuatnya mendapat pemaknaan dari masyarakat sekitar sebagai seorang perempuan. Selama 28 tahun ia telah menjadi korban diskriminasi gender hanya karena jenis kelaminnya dianggap perempuan, yang menyebabkan dia bertarung dalam pencarian identitas dirinya. Padahal anggota tubuhnya yang lain tidak menunjukkan keadaan fisik yang memperlihatkan bahwa ia adalah perempuan. Aprilia memiliki badan yang kekar, menyukai hal yang disukai oleh laki-laki pada umumnya dan bahkan berpenampilan seperti laki-laki. Tetapi pemaknaan keluarga dan masyarakat akan dirinya yang perempuan telah melekat pada dirinya. Ini memaksa dia untuk hidup menjalani makna-makna yang tidak pernah dia rasakan sesuai dengan jati dirinya yang sebenarnya.
Aprilia merupakan atlet voli nasional Indonesia yang telah mengikuti dan memenangkan banyak ajang kejuaraan. Karena prestasinya ia kemudian mendapatkan undangan untuk menjadi anggota TNI. Ia memenuhi undangan tersebut untuk alasan pekerjaan tetap setelah ia pensiun dari dunia voli. Ia kemudian menjadi anggota TNI melalui jalur prestasi.
Di TNI, identitas gender yang dilekatkan pada dirinya membawanya untuk bergabung sebagai seorang Tentara wanita atau KOWAD. Ia harus mengenakan rok saat adanya peringatan dinas dan memakai atribut perempuan lainnya seperti riasan wajah dan sepatu tinggi. Ia semakin semakin dikonstruksikan sebagai perempuan. Ini membuat Aprilia semakin menjauh dari identitas gender yang seharusnya dia dapati. Ia tidak bisa berbuat banyak karena pemaknaan perempuan telah disematkan kepadanya secara budaya, melalui tradisi-tradisi penegaskan identitas gender semenjak bayi dan juga secara struktural melalui kedinasan di TNI. Semuanya terjadi akibat dari kurangnya pengetahuan tentang apa yang dideritanya.
Pemberian pemaknaan ini sebenarnya tidak terlepas dari sosial masyarakat tempat seseorang itu tinggal. Mulai dari orang tua, tetangga, saudara hingga teman-temannya. Pemaknaan ini diberi sebagai harapan bahwa seseorang tersebut akan menjadi seperti yang diinginkan oleh masyarakatnya sesuai dengan jenis kelaminnya. Contohnya seorang anak laki-laki yang diajak untuk bermain bola. Ketika si anak tersebut menolak maka teman-temannya akan merundungnya dengan alasan ia seperti perempuan karena tidak mau bermain bola. Begitu pun jika si anak tersebut adalah perempuan, ibunya akan menuntunnya untuk mengerjakan berbagai pekerjaan yang biasa dilakukan oleh seorang perempuan. Ketika si anak perempuan itu menolak maka sang ibu akan berkata bahwa ia seperti seorang laki-laki karena tidak suka melakukan pekerjaan perempuan pada umumnya. Hal kecil ini kemudian mempengaruhi psikologi anak, di mana budaya telah menkonstruksinya dalam dunia yang belum tentu ia sukai. Ia dikonstruk dengan berbagai pemaknaan yang dilekatkan pada dirinya hanya karena jenis kelaminnya.
Hal inilah yang kemudian membuat seseorang tersebut merasa terbebani dan menyesal karena terlahir pada keadaan yang menurutnya tidak sesuai dengan jati dirinya sendiri. Sebagian dari mereka mungkin berhasil bertahan dengan memutuskan untuk menjadi waria bahkan transgender, tetapi masih banyak lainnya yang masih belum mampu terlepas dari pemaknaan budaya atas dirinya dan masih berada dalam kebimbangan akan identitas gendernya, baik itu harus menjadi laki-laki tulen ataupun perempuan tulen. Memutuskan untuk menjadi waria juga tidak akan membuatnya terbebas dari tekanan sosial. Tetapi setidaknya seseorang tersebut telah berhasil menjadi dirinya sendiri, memberi makna atas identitas dan dirinya sendiri untuk menjadi apa yang sesuai dengan keadaan fisik dan psikisnya.
Dalam kasus Aprilia, kurangnya pengetahuan tentang kelainan ini menjadi salah satu alasan kuat ia terus hidup di dalam keadaan yang tidak ia inginkan. Ketika lahir, ia sudah mengidap hipospadia berat sehingga kelaminnya memang terlihat seperti kelamin perempuan. Keadaan ini kemudian membuat orang tua Aprilia mendidiknya menjadi seorang perempuan yang feminim dan memperlakukannya seperti perempuan tulen. Karena kelainan pada kelaminnya, Aprilia sudah diajarkan untuk duduk saat hendak buang air kecil oleh orang tua Aprilia. Dia juga diajarkan dan dididik untuk menjadi perempuan melalui ragam pekerjaan dan permainan. Pengajaran tersebut membuat Aprilia mampu melakukan semua pekerjaan perempuan seperti memasak dan lainnya. Tetapi pendidikan menjadi perempuan membuat dia terus berada dalam medan tarung akan identitas dirinya.
Pada 19 Maret 2021 lalu, Aprilia dapat berbahagia karena ia telah menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Melalui keputusan Pengadilan Negeri Tondano yang mengabulkan permohonan pergantian nama, jenis kelamin, dan sejumlah dokumen kepedudukan bagi Aprilia, ia telah resmi menjadi seorang laki-laki melalui operasi bedah korektif (corrective surgery) sebanyak dua kali yang dijalaninya. Sebelumnya, ia telah menjalani pemeriksaan medis di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Dalam pemeriksaan medis, tidak ditemukan adanya rahim dalam tubuh Aprilia tetapi ia memiliki prostat yang kemudian menjadi bukti kuat bahwa sebenarnya ia adalah seorang laki-laki.
Setelah permohonan untuk mengganti identitas kependudukannya diterima dan menjalani dua kali operasi, Aprilia kemudian berganti nama dari yang semula Aprilia Santini Manganang menjadi Aprilio Perkasa Manganang. Hal ini tentunya tidak diperjuangkan sendiri, tetapi juga dengan bantuan dari KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa yang membantunya untuk memperoleh haknya atas pengakuan hukum akan dirinya sebagai seorang laki-laki. Begitu pun dengan saudarinya yaitu Amasya yang juga akan menyusul menjalani operasi bedah korektif (corrective surgery).
Penutup
Aprilia mungkin menjadi satu dari beberapa orang lain yang juga mengidap hipospadia. Banyak orang lain mungkin tidak seberuntung Aprilia yang sudah berhasil menjadi dirinya sendiri. Mereka mungkin sampai saat ini masih terperangkap dalam dunia yang tidak seharusnya mereka jalani. Selain pertarungan psikologis yang dialami terus-menerus, mereka juga menjadi korban perundungan akibat dari pemaknaan yang salah dari lingkungan tempat mereka tinggal.
Barang kali, meskipun sangat berat, Aprilia dapat menentukan identitas gendernya berkat penyakitnya fisik yang dideritanya. Peluang perjuangan identitas yang sama bakal lebih sulit bagi mereka yang tidak mengalami kelain fisik, namun merasa terperangkap pada tubuh dengan jenis kelamin yang salah. Pemaknaan-pemaknaan budaya dan sosial atas identitas gender yang dialami oleh kelompok yang terperangkap ini terasa lebih berat akibat pemaknaan budaya dan sosial tentang jenis kelamin yang hitam putih; lelaki atau perempuan.
Hal ini menunjukkan betapa budaya dan masyarakat kita terkadang tidak adil dalam bersikap; mereka memberi makna terhadap identitas gender seseorang, mereka pula yang kemudian menyiksanya. Aprilia dan saudaranya adalah dua orang yang beruntung dapat lepas dari pemaknaan tersebut. Ribuan orang lainnya hidup dalam kegelisahan dan ketakutan sebagai dampak dari pemaknaan terhadap diri mereka sendiri yang seringnya tidak sesuai dengan keadaan mereka sebenarnya.[]