Oleh: Dr. Sulaiman Tripa.
Dosen Fakultas Hukum, USK.
Perubahan di dunia sedang terjadi dengan cepat. Banyak bidang harus menyesuaikan diri, juga dengan cepat. Termasuk dalam bidang hukum. Jika tidak, maka akan tertinggal begitu saja. Kemampuan beradaptasi tidak selalu mampu oleh bidang-bidang itu. Termasuk hukum. Banyak hal yang sudah berkembang cepat, sedangkan ada bagian hukum yang tertatih dengan lambat. Tidak mampu mengikuti dalam semua hal.
Dalam penegakan hukum, realitasnya di pengadilan, kasus-kasus menumpuk. Pengadil selalu berganti, ketika tiba masanya. Untuk hakim agung, ketika sampai 70 tahun, akan diganti dengan yang lain. Mereka akan selalu diganti dan diisi oleh yang lain. Akan tetapi mengapa kasus-kasus terus membengkak? Tentu ada hal lain yang juga harus dilihat dalam kerangka hukum dan berhukum.
Orang menggunakan pengadilan sebagai jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Mulai dari kasus sederhana hingga kasus kompleks. Di kampung, orang hanya gegara batas tanah tetangga, bisa sampai kasusnya ke pengadilan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang naik banding hingga kasasi. Kita lama hidup dalam suasana yang tidak menjadikan harmoni dan keadilan sebagai orientasi. Hanya berbicara tentang pentingnya kepastian dengan melupakan berbagai dampaknya.
Dunia lalu berubah. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, pengambil kebijakan mengubah sikap. Untuk menyelesaikan masalah dalam ruang sosial, bisa menggunakan jalur alternatif. Penyelesaian damai. Terutama untuk kasus-kasus kecil dan sederhana. Dalam hukum, ukuran kecil dan sederhana pun diperdebatkan. Wajar karena ketika berbicara hukum, ada banyak dampak dan implikasinya terikuti. Dengan orientasi kepastian yang lama, bicara ukuran sama seperti berbicara hitam-putih.
Aceh memiliki cerita yang berbeda. Dalam berhukum. Sejak delapan tahun lalu, Aceh sudah menerapkan jalur alternatif ini. Penyelesaian secara adat. Polisi dilibatkan. Polisi yang bertugas di Aceh, kemudian diberikan pelatihan khusus tentang kultural Aceh. Bukan hanya polisi. Para pejabat lembaga vertikal mendapatkan hal yang sama. Hal itu dimaksudkan untuk mempermudah koordinasi, sehingga pengadilan adat yang awalnya dari majelis adat, lalu bisa dilaksanakan dengan baik.
Kini, para penegak hukum pun menggunakan istilah yang hampir sama. Restorative juctice diperkenalkan. Secara konsep, bisa jadi ada perbedaan-perbedaan. Ada pihak yang hanya melihat restorative justice hanya pada ukuran kasus. Padahal tidak hanya semata itu. Harus dilihat lebih kompleks.
Saya melihat keadaan yang saya ceritakan, tidak lepas dari bagaimana hukum ingin melepaskan diri dari berbagai keadaan yang tidak sepenuhnya mampu diimbangi oleh hukum. Dalam konteks yang sempit, hukum harus dipahami sebagai alat untuk menyelesaikan masalah. Seyogianya hukum selalu menjadi bagi berbagai kondisi sakit yang ada dalam ruang-ruang sosialnya.
Secara lebih luas, konteks menyembuhkan juga dapat menjadi bagian dari posisi hukum yang harus berlari cepat. Dalam sebuah buku lama tentang hukum, saya menemukan penjelasan menarik penulis dalam pengantarnya. Buku ini merupakan buku yang ditulis berdasarkan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Namun entah mengapa, tidak dijelaskan dalam buku tersebut, apa alasan sehingga baru dicetak pada tahun 1980. Ada rentang lima tahun dari penulisan.
Jika direka-reka, mungkin hampir dengan masa sekarang. Program tertentu belum tentu langsung tersambung dengan rencana program selanjutnya. Program awal penulisan buku, dengan berbagai alasan, tidak tersambung dengan proses penerbitannya. Alasan yang sering muncul belakangan ini, adalah anggaran. Semua program membutuhkan anggaran.
Ada masalah lain yang terungkap akhir-akhir ini. Dalam sejumlah kasus penting korupsi selama ini yang diungkap pengadilan, untuk penentuan anggaran proyek-proyek besar, selalu berlangsung proses tawar-penawar di belakang layar. Ternyata sebuah anggaran pembangun tidak berlangsung begitu saja secara alamiah, sebagaimana masing-masing tugas. Ada proses interaksi dan komunikasi antara mereka yang mengajukan anggaran, dengan mereka yang mengesahkan. Banyak temuan tentang kisah bagi-bagi tumpuk. Kelas tumpuk juga berbagai macam. Lagi-lagi saya harus menyebut berdasarkan temuan pengadilan korupsi, tumpuk berbeda-beda menurut levelnya. Ironisnya ada orang yang mengaku tidak mau menerima tumpuk, sementara dalam keterangan saksi ada yang disebutkan orang tertentu yang tidak mau diterima, bukan karena memang idealismenya sebagai penolak tumpuk yang tidak jelas, melainkan karena jumlahnya yang tidak sesuai permintaan. Nah!
Tentu saya tidak bisa menerka apa yang terjadi pada masa itu, sehingga buku hukum tersebut tidak langsung dicetak, sehingga harus menunggu masa lima tahun. Namun ada hal yang diingatkan dalam pengantar penulis. Bahwa isi buku akan banyak harus mendapatkan kontekstualisasi ulang. Hal yang digambarkan lima tahun lalu untuk satu hal, belum tentu masih cocok dengan hal yang sama setelah lima tahun kemudian.
Hal ini terkait dengan perkembangan masyarakat yang berubah dengan sangat cepat. Sementara pada saat yang sama, hukum berjalan bertatih-tatih di belakangnya. Para ahli hukum sangat menyadari kondisi tersebut. Bahkan kondisi ini sudah terekam ketika debat tentang hukum sudah lama dimulai. Para ahli hukum yang berbeda-beda titik-tolak, lalu akan menyebabkan perbedaan pandangan. Masing-masing berjalan dengan kerangka pikirannya sendiri.
Dengan perkembangan terkait hukum dan nonhukum, juga akhirnya diperdebatkan. Ada ahli hukum yang melihat hukum sebagai sesuatu yang netral. Tidak sedikit pula yang melihat hukum dalam posisi yang justru tidak netral. Ada yang melihat hukum tidak berada dalam ruang hampa. Sehingga dalam kenyataan, ia selalu bersentuhan dengan banyak hal. Ketika menyebut perjalanan hukum yang tertatih-tatih, ahli hukum juga bisa mempertanyakan sebenarnya apa yang dimaksudnya dengan hukum.
Mungkin tidak semua sepakat tentang satu hal. Seringkali sepakat atau tidaknya tergantung pada kepentingan apa yang melingkupi. Akhir-akhir ini tentang debat suatu undang-undang kekhususan daerah. Lima tahun lalu, undang-undang ini juga diperdebatkan, dengan lingkup yang lain. Kini posisi yang mempertanyakan sudah berbeda-beda, dan bisa diterka bahwa politiklah yang menjadi penyebabnya.
Kepentingan politik telah banyak membuat apa yang dipikirkan banyak orang sudah berbeda. Saya teringat satu pengantar buku yang terbit tahun 1980 itu, sedang bukunya sudah selesai tahun 1975, bahwa dalam lima tahun ketika buku itu dicetak, harus dilihat sejumlah hal terkait kontekstualisasinya. Sekali lagi, dalam lima tahu itu banyak terjadi perubahan. Dan, hukum berjalan tertatih di belakang perkembangan masyarakat yang sangat cepat.[]