Oleh: Zulfikar RH Pohan.
Mahasiswa CRCS-UGM Yogyakarta.
Mengenai pembubaran FPI (juga HTI) mencakup berbagai alasan, di antaranya alasan politik dan agama. Kedua alasan tersebut sekilas didukung oleh kelompok masyarakat ‘moderat’ yang tak menyukai agenda gerakan FPI dan HTI. Namun di sisi lain ancaman pembubaran tersebut sebenarnya menjelaskan bagaimana hagemoni politik Islam pemerintahanisme di Indonesia yang memakai label ‘Islam moderat’.
Politik Islam moderat di Indonesia adalah satu dari sekian banyak fenomena takhluknya Islam di bawah negara pasca keruntuhan Orde Baru. Islam moderat memang bukan berasal dari wacana keislaman cengeng nan malu-malu yang mengekor budaya populer jaman kiwari, melainkan Islam yang berasal dari pesantren dan beberapa teks-teks keislaman klasik yang diberi label ‘Islam Nusantara’. Terlalu naif jika menganggap bahwa Islam Nusantara hanya bertujuan untuk menjadi satu analisis khusus mengenai bagaimana aplikasi teologis-kultural Islam di Nusantara. Islam Nusantara mempunyai intensi yang kuat pada ranah politis yang saat ini menjadi ciri umum dari Islam moderat.
Babak baru dari politik Islam moderat di Indonesia menjadi hal yang paling umum dalam melihat bagaimana Islam di Indonesia sekarang mengalami proses logika oposisi binerisasi, antara Islam yang kasar dan Islam yang lembut, Islam yang moderat dan Islam yang radikal. Standar Islam yang dipakai oleh negara saat ini adalah Islam yang moderat, jika Anda kebetulan berada di posisi Islam yang dicap radikal, konservatif, dan cenderung kasar, posisi Anda memang kurang beruntung di Indonesia, terlebih dari sisi politik.
Kini dalam praktiknya, Islam moderat di Indonesia adalah Islam yang sangat ramah kepada pemerintah. Islam konservatif dan radikal seringkali menjadi bagian yang selalu dijadikan lawan bagi kelompok Islam moderat di bawah pemerintah. Hamid Dabashi dalam ‘Islamic Liberation Theology (Resisting the Empire)’ (2008) mengemukakan cara pandang khusus melihat Islam yang berada di bawah negara. Bagi Dabashi, kemunduran Islam dimulai dengan munculnya Islam di bawah kuasa, Islam menurut Dabashi merupakan agama yang memiliki ajaran teologis yang mencapai titik pembebasan ketika berhasil melawan kekuasaan, namun Islam akan berada pada titik terendah dan terhenti wacana-wacanan Tauhid dasarnya ketika ditempatkan sebagai landasan untuk mempertahankan kuasa.
Memang, analisis Dabashi di atas terpusat pada bagaimana rezim Islam pra-revolusi Iran tahun 1979 dan Islam pasca-revolusi Iran, yang menjelaskan bahwa rezim Shah justru menempatkan Islam di Iran berada di titik terendah. Islam yang mendukung kekuasaan bagi Dabashi sebagai sebuah pandangan bagi bagaimana sebenarnya kekuasaan atas Islam yang ditafsir oleh ulama Islam menampilkan dua sisi, di satu sisi sebagai basis kekuatan puritanisme yang menyokong kebudayaan Islam yang puritanistik dan di satu sisi sebagai basis bagi kekuasaan pemerintah dalam politik melalui ciri keislaman yang benar karena dilindungi oleh kekuatan pemerintah.
Di Indonesia, kemoderatan pada nyatanya tidak ditentukan sejauh mana Islam mampu mengakomodasi kelompok marginal di luar kelompok Islam apatah lagi membahas struktur material di dalam masyarakat beragama, tapi visi moderat dalam membentengi radikalisme Islam atau radikalisme agama lainnya. Tidak ada sisi moderasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia, penyegelan gereja atau kekerasan yang merugikan umat beragama lainnya. Maka, satu-satunya yang tampak dari fungsi Islam moderat di Indonesia adalah membentengi FPI atau HTI, dengan berbagai alasan melalui standar kacamata Islam moderat yang disokong pemerintah Indonesia.
Terjadi banyak pembenaran pada penangkapan Rizieq Shihab dan perpeloncoan Maheer Ath-Thuwailibi yang ternyata gampang mewek hingga ancaman pembubaran organisasi mereka. Kemapanan nilai-nilai Islam yang sesuai agenda pemerintah itu tak lain dari relasi kuasa yang timpang, sehingga kemapanan Islam moderat Indonesia patut untuk dipertanyakan.
Abai terhadap penangkapan anggota FPI lainnya dan bahkan pembunuhan anggota FPI bukanlah jalan satu-satunya untuk melihat Islam Indonesia secara lebih adil. Pun, politik toleransi dari kalangan Islam moderat menjadi bermasalah karena seolah tidak mampu diganggu-gugat oleh wacana-wacana di luar kelompok Islam yang mempunyai interpretasi lain terhadap teks-teks keislaman. Mengenai ini, saya senang sekali memberikan contoh tentang Islam pemerintahanisme di Aceh dari bagaimana rezim Islam syariat di Aceh bekerja.
Islam Pemerintanisme di Aceh
Di Aceh, istilah mengenai Islam Pemerintah sangat jarang digunakan, akan tetapi dari coraknya yang sejak dalam sejarah Aceh masa kesultanan, masa kolonial, dan pasca-kolonial, golongan Ulama Aceh mempunyai ikatan yang kuat pada pemerintah. Dalam hal ini, kita dapat mundur kebelakang bagaimana ulama-ulama bersaing untuk mendapatkan perhatian Sultan/Sultanah. Yang paling mengena dalam hal ini adalah kasus Nuruddin ar-Raniry yang menjadi ulama penyokong kekuasaan Sultanah Sadiatudin dalam Bain as-Salatin, akibatnya Ulama-ulama Sufi di masanya digeser dan coba dihilangkan pengaruhnya. Warisan persetruan ini dimikian berlanjut sampai pada masa kolonial dan pasca-kolonial di Aceh.
Sejak pendirian lembaga keislaman HUDA, dan pendirian aparatus syariat seperti Mahkamah Syariah, Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah dan MPU Aceh (Majlis Permusyawaratan Ulama-Aceh) oleh Presiden Suharto untuk mendongkrak pemerintah Orde Baru. MPU dan Dinas Syrariat Islam sebagai aparatus syariat Islam yang dekat dengan pemerintahan paling gatelan menggunakan isu-isu aqidah dalam Qanun untuk membentengi Aceh dari Islam konservatif seperti Wahabi, dan bahkan golongan Islam Tasawuf seperti dalam Fatwa MPU Aceh Nomor 09 tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh. Hal ini menunjukkan kuatnya hagemoni kelompok Islam pemerintahanisme yang memegang opini publik dalam menentukan bagaimana keagamaan dan kebudayaan di Aceh terlebih dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Islam pemerintahanisme ini menjadi sifat yang mencoba menempel pada kekuasaan untuk mampu mengendalikan wacana mebabat musuh ideologis (annihilate the enemy). Islam pemerintahanistik seperti Islam Syariah di Aceh atau Islam moderat di Indoensia bukan jalan yang paling baik sebagai pandangan Islam yang final di Indonesia jika dilihat dari beragamnya corak Islam di Indonesia, dari Islam yang progresif, Islam fundamentalisme, Islam sufistik, bahkan Islam singkretik.
Jika tetap mempertahankan wacana keislaman sesuai oposisi biner antara moderat dan radikal, Indonesia justru mengalami kondisi krisis keagamaan. Mari berandai-andai jika FPI mampu menjadi standar negara dalam kebijakan negara, maka Islam FPI-lah yang dijadikan Islam yang dianggap ‘sah’ di Indonesia. Kita tentu tak menginginkan kelompok Islam di Indonesia semakin parah dalam perang tuduh-menuduh dengan bias konfirmasi yang lebay.
Islam pemerintahanisme dalam nama apapun baik itu Islam moderat, Islam Ahlu as-Sunnah, Islam liberal, Islam radikal, dsb sifatnya sama-sama ingin mensublimasi semua yang berbeda dan tak sesuai dengan standar Islam versi pemerintah. Islam yang demikian ibarat rokok tanpa asap, martabak manis tanpa gula, atau nasi goreng tanpa nasi.[]