Oleh: Muhammad Mirza Ardi
Redaksi
Muhammad Mirza Ardi. Mahasiswa PhD di National University of Singapore (NUS) Program Studi Kajian Asia Tenggara. Memiliki latar belakang pendidikan S1 di FKIP Bahasa Inggris di Universitas Syiah Kuala, Indonesia. Kemudian melanjutkan studi Master Kebijakan Publik dan Manajemen dari Universitas Melbourne dan Master Teori dan Praktik Hak Asasi Manusia dari Universitas Essex. Dia juga aktif menulis di beberapa media. Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan ICAIOS, dibaca Mirza pada Sabtu 28 Desember 2024 di Pelataran Depan ICAIOS, Darussalam Banda Aceh. Atas izin penulisnya, sagoetv.com menurunkan pidato lengkap. Selamat membaca!!!
Bismillahirrahmanirrahim.
Para hadirin yang saya muliakan. Selamat pagi semuanya. Izinkan saya menyapa Anda dengan salam: Assalamu’alaikum warahmatulllahi wa barakatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat kesehatan, sehingga kita bisa hadir disini. Shalawat dan Salam kita hanturkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW, yang berkat ajarannya kita memiliki kekuatan mental dan spiritual dalam menjalani lika-liku kehidupan ini.
Pagi ini kita merefleksikan 20 tahun pasca musibah bencana alam gempa dan tsunami. Bencana itu telah membuat kita kehilangan orang-orang yang kita cintai. Namun disisi lain, pasca musibah itu, terjadi perubahan besar di Aceh secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Fondasi utama perubahan ini adalah perjanjian damai MoU Helsinki 15 Agustus 2005, kemudian dilanjutkan oleh adanya UU Pemerintahan Aceh di tahun 2006. Sejak itu, Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki partai lokal, satu-satunya provinsi yang bisa melaksanakan syariat Islam seperti hukum cambuk, dan bersama papua kita mendapatkan dana otonomi khusus untuk mengejar ketertinggalan di bidang pembangunan. Sejak itu pula, Aceh memiliki kelas elit baru yang diisi oleh para pejuang Gerakan Aceh Merdeka. Aceh pasca MoU adalah kesempatan emas bagi para mantan kombatan untuk mewujudkan apa yang selama ini kita dambakan bersama: menjadi bangsa teuleubeh diateuh rehong donya.
Para hadirin yang saya muliakan.
Tahun dan bulan ini kita juga baru melaksanakan pilkada. Kita patut berbangga karena gubernur terpilih memiliki iktikad untuk memajukan ekonomi Aceh yang masih terpuruk. Tentu saja, membangun perekonomian Aceh secara nyata tidak segampang retorika saat kampanye dan menulis visi-misi. Sejak kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung di Aceh, semua pemimpin mengatakan akan membangun ekonomi, namun tetap saja Aceh berada di provinsi termiskin di Sumatera dan salah satu termiskin di Indonesia setelah Papua.
Oleh karena itu, penting kiranya di momen ini kita melakukan sedikit refleksi sejarah ekonomi politik Aceh untuk mengambil pelajaran, dengan tujuan kita terhindar dari bencana kemanusiaan berupa kemiskinan dan kemunduran.
Mari kita mulai dari masa Iskandar Muda, sebuah masa yang disebut sebagai masa keemasan Aceh, termasuk oleh Hasan Tiro. Pertanyaannya adalah apa yang membuat era Iskandar Muda menjadi masa keemasan? Apa yang terjadi sebelum dan sesudah era itu?
Jika kita merujuk pada Denys Lombard, sejarawan Perancis yang juga supervisornya Isa Sulaiman (sejarawan Aceh), Iskandar Muda lahir dan dibesarkan di tengah kondisi Aceh yang mengalami krisis politik dan ekonomi berupa distabilitas politik dan bencana kekurangan pangan yang parah.
Di tahun 1579, atau dua generasi sebelum Iskandar Muda, terjadi pergantian tiga orang Sultan hanya dalam waktu satu tahun. Dalam satu tahun, ada dua sultan yang dibunuh. Kita bisa bayangkan betapa tidak stabilnya pemerintahan saat itu. Elit saling berkonflik demi kekuasan. Iskandar Muda besar dengan pengetahuan seperti ini: walau dia akan jadi raja, tapi posisinya begitu lemah, tidak semua Ulee Balang akan tunduk padanya,banyak elit lain yang mau posisi dia.
Di sisi lain, Aceh mengalami krisis pangan yang parah. Istana harus mengimpor beras beras dari luar negeri, terutama dari India. Bahkan, banyak rakyat kecil di Aceh yang mati karena kelaparan. Hal ini dikarenakan pemilik tanah saat itu, Orang Kaya dan Ulee Balang, lebih memilih fokus menanam lada untuk diimpor ke luar negeri daripada menanam beras. Beras ada ditanam, tetapi jumlahnya sedikit, cukup untuk memenuhi kebutuhan Sultan, Orang Kaya, Ulee Balang, dan sebagian masyarakat, tapi tidak cukup memenuhi kebutuhan rakyat yang ada di kota.
Untuk memproduksi beras juga bukan hal yang gampang di masa itu. Menghasilkan beras butuh tenaga kerja berupa petani. Mayoritas petani di masa kesultanan adalah para budak yang didapatkan dari mengalahkan kerajaan kecil lain. Sehingga, untuk menghasilkan beras, sultan juga harus mendapatkan budak-budak baru dengan cara ekspansi kekuasaan. Masalahnya, walaupun sudah mendapatkan budak baru, banyak yang tewas karena kelaparan bahkan sebelum bekerja karena tidak ada makanan.
Inilah dua situasi yang dihadapi Iskandar Muda sebelum ia berkuasa. Ia sadar betul bahwa walau ia berkuasa, hidupnya tidak baik-baik saja. Ia bisa saja dibunuh, dan ia akan memimpin sebuah wilayah yang penduduknya melarat kelaparan.
Jika kita abstraksikan situasi ini. Struktur politik Aceh saat itu dikuasai oleh para Orang Kaya dan Ulee Balang yang saling bertikai. Untuk membuat stabiilitas politik di Aceh, dibutuhkan agensi untuk menstabilkan ini. Di saat yang bersamaan, struktur inilah yang membuat bencana kelaparan di Aceh. Krisis pangan saat itu disebabkan oleh struktur politik. Kelaparan terjadi bukan karena kondisi alam yang tidak subur, bukan juga karena iklim panceklik, tapi karena keputusan politik para elit Ulee Balang dan Orang Kaya. Kelaparan di Aceh adalah buatan manusia, bukan takdir dari langit. Solusinya: perlu ada agensi yang mengubah struktur ini. Dan setiap perubahan, pasti ada perlawanan dari individu-individu yang menikmati struktur yang lama, yakni kelompok Orang Kaya dan Ulee Balang. Oleh karena itu, untuk mengubah struktur, daya dorong agensi harus lebih kuat daripada daya tolak struktur. Dengan kata lain, dibutuhkan pemimpin yang kuat atau strong leader untuk mengubah struktur. Iskandar Muda harus lebih kuat dari pada oposisinya.
Nah, Iskandar Muda, sadar akan hal itu. Ia sudah menyiapkan dirinya sebagai agensi dengan cara mengumpulkan orang-orang yang loyal padanya. Ia pun sudah ada rencana atau visi misi mau dijadikan Aceh seperti apa jika ia berkuasa. Ketika ia diangkat sebagai sultan, disitulah momentum perubahan terbuka.
Yang dilakukan oleh Iskandar Muda adalah menggantikan Ulee Balang lama dengan orang-orang yang loyal padanya sebagai Ulee Balang yang baru. Ulee Balang yang melawan akan diberi hukuman, bahkan diperangi. Situasi ini membuat untuk pertama kalinya Aceh mengalami sentralisasi kekuasan. Ulee Balang betul-betul tunduk dibawah sultan. Disinilah Aceh sebenarnya menjadi negara secara modern dalam pemaknaan Max Weber, yakni “monopoli kekerasan”. Sebelumnya, setiap Ulee Balang bisa menggunakan kekerasan untuk mencapai kehendak mereka, bahkan membunuh sultan, dan menggantikannya dengan sultan yang mereka bisa atur. Iskandar Muda menghancurkan struktur ini, dan menciptakan kesultanan dengan konsentrasi kekuasaan dibawahnya. Ia bahkan melemahkan kekuasaan orang-orang kaya dengan mewajibkan mereka untuk melapor ke istana tiga kali sehari, dan ikut mengawal sultan satu hari satu malam tanpa sejata. Di sini kita lihat, yang diserang oleh Iskandar Muda adalah psikologi orang kaya, yakni mentalitas dan harga diri mereka. Bahkan, mereka dipaksa tidur dalam gubuk-gubuk kecil yang didirikan khusus dalam salah satu pelataran istana. Jika ada yang membangkang, akan kena denda dengan jumlah yang sangat besar, bahkan bisa kena hukuman mati. Misalnya pernah, ada tiga orang kaya tidak menyerahkan hasil rampasan perang kepada kerajaan. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan, yang kemudian dilakukan Iskandar Muda adalah menghukum mati mereka.
Setelah struktur politik dibuat lebih stabil dengan sentralisasi kekuasaan, fokus Iskandar Muda kemudian mengubah struktur ekonomi yang berpusat pada lada. Hilangnya kekuasaan Ulee Balang dan Orang Kaya lama, berarti juga hilang kepemilikan tanah mereka. Tanah mereka menjadi milik negara. Kebijakan yang dilakukan Iskandar Muda adalah melakukan reformasi agraria dengan cara menyewakan tanah petani dengan syarat mereka menghasilkan padi dengan kuota yang telah ditetapkan sultan. Karena itu, petani tidak bisa berleha-leha dalam menggarap sawah karena mereka harus menghasilkan jumlah beras sesuai kesepakatan. Saat musim panen tiba, Iskandar Muda langsung turun ke lapangan dan mengawasi pengumpulan beras dengan ketat. Jika ada penimbun pangan atau petani yang membangkang, langsung dihukum dengan keras. Dengan kebijakan ini, Aceh tidak hanya mampu swasembada beras, bahkan ia bisa mengekspor beras ke luar Aceh.
Setelah struktur ekonomi dan politik dalam negeri telah diubah, Iskandar Muda melakukan ekspansi teritorial untuk memonopoli perdagang lada. Semua daerah penghasil lada dikuasai dengan ekspansi militer. Sehingga Aceh tidak hanya swasembada pangan, tetapi juga mengekspor lada ke luar negeri. Aceh bahkan menjadi pusat perdagangan lada karena Iskandar Muda berhasil memonopoli pasar lada di Asia Tenggara.
Stabilitas politik, tersedianya cukup makanan, dan rasa aman membuat pedagang dan pelancong dari luar negeri dengan tenang datang ke Aceh. Sehingga ada pertukaran budaya dan informasi. Aceh menjadi negara maritim yang kosmopolitan. Jika kita membaca catatan dari pedagang dan pelancong asing yang menulis tentang Aceh di masa itu, kita melihat adanya rasa kagum di tulisan-tulisan mereka. Berbeda jauh ketika Aceh ditulis di masa kolonial sampai masa sekarang, misalnya sekarang Aceh ditulis sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Dari refleksi masa Iskandar Muda, bisa kita simpulkan yang menyebabkan Aceh menjadi bangsa teulebeh ada tiga, yakni: politik yang stabil, ekonomi yang kuat, dan budaya yang kosmopolitan yang terbuka. Bukan yang lain. Sedihnya, ketiga hal ini hilang di kita. Untuk menjaga tiga hal ini, dibutuhkan pemimpin yang kuat, inilah yang hilang setelah Iskandar Muda.
Seperti yang tertulis dibuku-buku sejarah, Iskandar Muda mati dibunuh, yang kemungkinan besar diracun. Lalu diganti oleh keponakannya, Iskandar Tsani yang tidak memiliki kepemimpinan yang kuat seperti pamannya. Setelah itu, Aceh melakukan eksperimen politik berupa kepemimpinan perempuan dan kebijakan desentralisasi. Di masa sultanah inilah terjadi pembagian Tiga Sagi di Banda Aceh dan Aceh Besar. Sistem kerajaan Aceh yang sebelumnya berbentuk sentralistik, kembali menjadi perserikatan kerajaan-kerajaan kecil. Pada masa itu peran perempuan di publik bukan hal yang aneh. Sher Banu, ketua jurusan Malay Studies di NUS, menulis bahwa salah satu pengawal pribadi Iskandar Muda adalah perempuan. Perempuan juga aktif di militer, bahkan ada yang berperan sebagai panglima perang. Sehingga walaupun di era sultanah ada yang memprotes dengan dalil agama bahwa perempuan tidak boleh memimpin, Aceh tetap dipimpin sultanah selama tujuh kali berturut-turut. Sama seperti fakta sejarah bahwa di pilkada kemarin, muslim urban di Banda Aceh lebih memilih dipimpin oleh perempuan ketimbang laki-laki. Ada yang mengatakan bahwa kesultanan Aceh mundur karena dipimpin perempuan. Namun pendapat ini tidak memiliki dasar. Justru para sultanah berperan besar menjaga stabilitas politik Aceh dari perang saudara. Pernah ada Orang Kaya pernah mengaku pada orang Eropa “saya ini banyak sekali musuh, jika tidak ada sultanah, dalam sekejap saya sudah dibunuh”.
Hadirin yang saya muliakan.
Aceh mundur karena para elit yang terdiri dari 12 Orang Kaya dan beberapa Ulee Balang sibuk berkonflik antar sesama daripada bersatu. Mereka lebih memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya ketimbang masyarakat Aceh dalam skala luas. Konflik horizontal ini membuat Aceh sibuk dengan politik dan perebutan kekuasaan, daripada membangun peradaban seperti mengembangkan pengetahuan, sains, dan teknologi. Karena konflik lokal yang tidak penting ini, Aceh menjadi daerah yang tidak aman, sehingga ada alasan bagi Belanda kepada Inggris untuk menyerang Aceh. Dengan alasan untuk mengamankan jalur perdagangan di Selat Malaka, Belanda ingin menguasai Aceh setelah menguasai banyak wilayah di nusantara. Pertanyaannya sekarang, bagaimana sebuah negara kecil seperti Belanda bisa mendominasi Aceh?
Sebagaimana kita ketahui, yang disebut dengan kerajaan inti Aceh itu sebenarnya hanya Banda Aceh dan Aceh Besar. Selebihnya adalah kerajaan kecil atau negeri yang berpemerintahan sendiri. Ketika sultan seperti Iskandar Muda menyerang daerah lain, ia mengikuti tradisi penaklukan di wilayah Melayu Raya pada masa itu, yang berbeda jauh dari kolonialisasi dan imperialisme. Daerah yang ditaklukkan tetap dipimpin oleh orang lokal, seperti Ulee Balang, bedanya hanya harus membayar pajak, dan membantu pemerintahan Aceh jika ada perang. Belanda yang sudah melakukan “studi kawasan” tahu betul hal ini. Agar pusat pemerintahan Aceh lemah, bantuan dari swapraja atau negara kecil di luar kerajaan harus dipotong. Caranya, dengan membuat mengadu domba orang Aceh. Belanda menanamkan rasa superioritas atau supremasi kedaerahan. Jadi, orang Pidie dibuat punya fantasi lebih tinggi derajatnya daripada Pereulak, Peureulak diberi narasi lebih unggul daripada Tamiang, dan seterusnya. Strategi Belanda ini bisa dikatakan tidak sepenuhnya berhasil. Namun cara pikir didikan kolonial Belanda yang masih ada di kita. Sampai hari ini kita bisa melihat politik perkauman di Aceh. Jika ada satu institusi dipimpin oleh orang Aceh dari kabupaten atau kota tertentu, maka semua jabatan penting di institusi itu dipenuhi oleh orang yang satu kampung dengan pimpinan baru. Sikap dan politik perkauman ini memberikan rasa dendam dan marah bagi orang di luar kaum itu, sehingga ketika ia menjabat, ia akan melakukan hal yang sama. Ini yang membuat sistem meritokrasi di Aceh kacau balau. Ini membuat anak-anak Aceh mendapat pekerjaan dan naik karir bukan berbasiskan kinerja dan kemampuan dia, tapi dia lahir dari daerah mana.
Perang Aceh dengan Belanda tidak hanya menimbulkan politik perkauman, tetapi juga mengubah struktur ekonomi dan sosial Aceh. Perdagangan lada di Aceh hancur lebur. Aceh terisolasi dari dunia luar sehingga ide-ide pembaruan dan ilmu-ilmu modern terlambat sekali masuk ke Aceh, berbeda dengan masa kemajuan dulu, di mana Islam pertama kali masuk di provinsi ini. Karena ekonomi Aceh rontok, kelas sosial “Orang Kaya” tidak ada lagi, karena semua orang Aceh sudah miskin. Demikian juga kelas “budak” juga lenyap. Pengalaman yang menyakitkan ini memberikan trauma sejarah kepada segala hal yang datang dari Barat. Yang efeknya kemudian masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Aceh yang awalnya sangat terbuka dengan dunia luar, menjadi tertutup dan curiga terhadap ide-ide baru yang datang dari luar, terutama dari Barat.
Struktur budaya ketertutupan inilah yang coba didobrak oleh para Ulee Balang dan Ulama di tahun di tahun 1936, sebelum Indonesia merdeka dan sebelum Aceh ada Perang Cumbok. Di tahun itu, banyak sekali orang Aceh, terutama ulama, yang menolak adanya sekolah yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum. Para Ulee Balang yang mendapatkan pendidikan dari sekolah Belanda, dan para ulama yang berhaluan modernis paham betul bahwa untuk bangkit, harus dimulai dari ilmu pengetahuan yang sesuai dengan zaman. Namun, di masa itu, ada fatwa dari sebagian ulama bahwa haram mempelajari ilmu selain ilmu agama. Bahkan ada yang lebih dahsyat lagi, sekolah agama pun haram hukumnya. Argumennya “karena duduk berbaris pada bangku pelajaran, sehingga baris yang di muka membelangkangi baris yang di belakang. Waktu pelajaran membaca Quran, tentu saja membelakangi Quran”. Begitulah alam berpikir masyarakat Aceh kala itu.
Hadirin yang saya muliakan.
Perang yang terlalu lama membuat kita memiliki hambatan psikologis dalam merespon modernitas. Masalah ini tidak hanya terjadi di Aceh, namun juga terjadi di Jawa. Sukarno sadar betul bahwa mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim. Sehingga Indonesia tidak akan maju, jika cara berpikir muslimnya tidak diubah. Makanya di satu sisi, dia menulis artikel dengan judul seperti “Islam Sontoloyo”, namun dia juga menyerukan ide tentang “Api Islam”. Dia menyayangkan sikap sebagian muslim yang sibuk dengan “debu Islam” tapi lupa dengan semangat Api Islam yang membawakan kemajuan zaman. Seruan menuju “Api Islam” ini juga kita dapatkan di Aceh di tahun 1936 itu. Untuk merespon fatwa haram sekolah umum, tanggal 1 dan 2 Oktober dibuatlah ““Verslag Tableh Akbar di Lubuk III Mukims Keurekun dan Pertemuan Ulama Ulama di Kutaraja” yang dipelopori oleh Teuku Manyak Baet. Di pertemuan itu, Tgk Abdullah Lam U mengatakan kewajiban negara untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena dari masa Rasul sampai Abbasiyyah, kas negara dipakai untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Kemudian Tgk Hasballah Indrapuri menekankan bagaimana Nabi menyuruh para sahabatnya yang laki-laki menuntut ilmu kepada Siti Aisyah yang perempuan. Kemudian dia memakai logika, jika laki-laki boleh berguru ke perempuan, maka demikian pula perempuan boleh berguru ke laki-laki. Yang tidak kalah menariknya adalah pendapat Tgk Abdullah Ujung Rimba yang mengatakan wajib hukumnya untuk mempelajari ilmu geografi. Pendapat ini menarik karena seperti mengembalikan tradisi ilmu pelayaran maritim Aceh di masa lampau.
Sepuluh hari setelah pertemuan itu, tepatnya tanggal 12 Oktober 1936, Teuku Nyak Arief mengundang 6 Ulee Balang, 19 orang ulama (termasuk Daud Beureueh), dan 4 orang “pihak patut-patut” untuk membuat pertemuan pukul 9 pagi di rumahnya. Tujuan pertemuan ini adalah memformulasikan pertemuan ulama sebelumnya menjadi keputusan bersama. Hasil dari rapat tertutup ini, muncul apa yang disebut sebagai “Keputusan Keudahsingel” yang membolehkan berdirinya sekolah, menyatukan pelajaran umum dengan pelajaran agama, dan diperbolehkan perempuan berguru pada laki-laki.
Hadirin yang saya muliakan.
secara sepintas, mungkin tiga fatwa diatas terkesan sepele bagi kita sekarang. Namun disaat itu, tiga keputusan tersebut betul-betul melawan arus dan berdampak signifikan sekali. Mereka adalah Ulee Balang dan Ulama yang menggunakan agensi intelektual mereka untuk mengubah struktur cara berpikir masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Tanpa Keputusan Keudahsingel itu, belum tentu kita bisa hadir disini, di tengah-tengah dua universitas besar di Aceh. Keudahsingel adalah penanda bersatunya Ulee Balang dan Ulama demi masa depan Aceh. Ia juga penanda semangat Aceh pada ide kemajuan. Keudahsingel ini pula yang menjadi embrio berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang berfokus pada pendidikan agama dan pengetahuan umum. Di madrasah yang didirikan oleh ulama Aceh yang berafiliasi dengan PUSA, pelajaran agama tidak hanya dipadu dengan pelajaran umum, tapi juga dengan bahasa-bahasa asing seperti bahasa Arab, bahasa Belanda, Perancis, bahkan Jerman. Inilah momentum kebangkitan ilmu pengetahuan di Aceh. Sayangnya momen ini terlepas karena perang Cumbok pada 2 Desember 1945 sampai 16 Januari 1946.
Jika kita telusuri akar konflik sipil di Aceh, sebenarnya adalah konflik kelas “orang miskin” dan “orang kaya” akibat kesenjangan ekonomi yang menganga. Hanya saja konflik kelas ini ternarasikan dengan bahasa nasionalisme, etnonasionalisme, atau agama. Mari kita lihat kesenjangan sosial sebelum perang Cumbok terjadi. Di tahun 1930an, dari data Isa Sulaiman yang dikutip Fachry Ali, gaji Ulee Balang seperti Teuku Bentara Ibrahim dari mukim Pineung berjumlah f200 per bulan; Teuku Muhammad Daud dari Cumbok bergaji f160; seorang Ulee Balang di Peureulak yang kaya dengan minyak digaji sampai f2000. Tidak hanya bergaji besar, para Ulee Balang berhak mendapat tunjangan kendaraan dari f65 sampai f80. Sementara harga mobil sedang merek Buick saat itu seharga f600.
Kondisi ekonomi ini sangat terbalik jika kita bandingkan dengan rakyat biasa. Gaji guru sekolah dasar adalah f30 perbulan; Imuem mukim bergaji kisaran f11 sampai f60; kepala desa bergaji f10. Yang paling miskin tentu saja petani, mayoritas penduduk Aceh saat itu, pendapatan mereka hanya 4,5 sen perhari. Situasi yang belum banyak berubah sampai hari ini.
Apapun alasannya, perang sipil akan selalu mendatangkan banyak mudharatnya. Perang saudara antara ulama dan Ulee Balang itu membuat Aceh kehilangan kelas yang terdidik secara modern, karena masa itu anak-anak Ulee Balang lah yang bisa mengecap pendidikan Belanda. Momentum kebangkitan ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh madrasah PUSA juga lepas karena pemberontakan DI/TII Daud Beureueh dari tanggal 20 September 1953 sampai 22 Desember 1962. Baru selesai perang Cumbok di tahun 1946, lalu tujuh tahun kemudian, Aceh perang lagi selama sembilan tahun yang membuat daerah ini layaknya negara perang (Darul Harb).
Dengan semangat menghilangkan siklus konflik ini di masa depan, Ali Hasjmy berpendapat kuncinya adalah di ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka setelah Ikrar Lamteh di tahun 1962, Kota Pelajar dan Mahasiswa (KOPELMA) yang sudah dicanangkan sejak 1959, diberi nama Darussalam yang berarti Negara Damai sebagai antitesa dari Darul Harb. Sembari mengenang kejayaan masa lalu, Ali Hasjmy mengatakan:
Cita-cita yang terkandung dalam dada pemimpin dan rakyat Aceh dengan membangun “Darussalam” adalah karena dorongan dan kesadaran hendak menjadikan hari depan Aceh, selaku bagian dari republik Indonesia, kembali megah dan berbahagia seperti zaman-zaman kebesaran dulu, dengan tujuan bahwa disamping akan menjadi sebuah mata air ilmu pengetahuan, “Darussalam,” juga merupakan lembaga, dimana manusia manusia yang baru yang berjiwa besar, berbudi luhur, dan perpengalaman luas dilahirkan
Rencana awalnya, di Darussalam ini akan didirikan tiga kampus. Unsyiah untuk alumni sekolah umum. IAIN Ar-Raniry untuk alumni madrasah modern. Dan kampus Dayah Modern Tgk Chik Pante Kulu untuk alumni dayah. Yang menarik, Dayah Modern Tgk Chik Pante Kulu dibuka secara resmi oleh Presiden Suharto di tahun 1968. Memiliki program S1 dengan jenjang 3 tahun, dan program Magister dengan jenjang 5 tahun, dimana salah satu pengajarnya adalah ketua MPU Aceh: Teuku Abdullah Ujong Rimba. Menurut Michael Feener, jika program Dayah Modern Tgk Chik Pante Kulu ini berjalan, akan merupakan inovasi radikal di dayah tradisional Aceh. Dan seperti kita saksikan bersama, usaha agensi Ali Hasjmy dan Tgk Abdullah Ujung Rimba untuk mengubah struktur pendidikan dayah tradisional ini tidak berhasil. Ada penolakan dari dayah tradisional untuk mengirimkan santrinya ke Pante Kulu. Struktur lama lebih kuat daripada agensi yang mencoba merombaknya. Kampus Dayah Modern berubah jadi Sekolah Kehutanan. Ada baiknya juga perlu saya sampaikan, bahwa bahwa pada mulanya ada rencana Fakultas Keguruan (FKIP) di Unsyiah dijadikan kampus sendiri, yakni Institut Keguruan. Sehingga ia menjadi IKIP seperti yang ada di Bandung. Namun, rencana ini tidak terealisasikan.
Hadirin yang saya muliakan.
Baru tiga tahun perang sipil DI/TII berakhir, Aceh kembali bersimbah darah di akhir tahun 1965. Indonesia dan termasuk Aceh, menjadi proxy perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Kita membunuh saudara kita, sesama Aceh, karena berbeda haluan ideologi politik. Banyak orang dibunuh, tanpa ada pengadilan, hanya karena bergabung atau dituduh komunis. Namun, di Aceh, alasan utama mereka dibunuh bukan karena haluan politiknya, tetapi karena dianggap “tidak beragama”. Padahal, yang dibunuh semuanya masih beragama Islam. Tidak ada yang anti agama. Di masa itu, orang bergabung dengan PKI bukan karena membaca Marx lalu tiba-tiba menjadi anti agama. Menurut sensus 1945, di masa awal kemerdekaan itu, 90 persen populasi Indonesia adalah buta huruf. Bahkan walaupun bisa membaca, tulisan Marx bukanlah tulisan yang mudah dipahami. Sekarang saja, walaupun semua sudah bisa membaca dan bisa mengakses buku-buku kiri, belum tentu juga pembacanya memahami Marx. Jadi, di masa 1965 itu, orang bergabung PKI bukan karena mereka anti agama atau tidak beragama, tapi karena anti imperialisme dan eksploitasi.
Ada sebuah cerita menarik. Yakni saat Thaib Adamy, sekjen PKI Aceh, ditangkap dan disidang di pengadilan. Dia ditangkap karena aksi demo yang meminta harga beras diturunkan (disini kita bisa lihat kenapa orang tertarik bergabung PKI). Nah, saat sidang pengadilan berlangsung, azan Dhuhur berkumandang. Thaib Adamy lah yang meminta sidang ditunda karena dia mau shalat Dhuhur. Jadi sebenarnya, seandainya peristiwa 1965 tidak terjadi, Aceh bisa menjadi salah satu eksperimen sosial dimana orang bisa menjadi muslim yang taat, dan di saat yang bersamaan menjadi kiri. Sesuatu yang sebenarnya bukan hal yang baru dan sudah terjadi di banyak tempat.
Dampak dari pembantaian orang-orang yang dituduh kiri ini adalah hilangnya gerakan politik dan intelektual lokal yang bisa menjadi oposisi kritis terhadap eksploitasi kapitalisme. Setelah peristiwa 1965 di Aceh, lima tahun kemudian, Exxon Mobil bisa dengan tenang masuk ke Aceh, menguras gas alam kita hingga hampir tak ada sisa, lalu mengirimkannya sebagai sumber energi industrilisasi di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Sementara Aceh yang punya gas alam, masih menjadi daerah agraris yang tiap tahun pasti ada jatah mati lampu bergilir. Sampai sekarang.
Investasi industri gas alam yang ada di Aceh bukanlah industrilisasi, tetapi eksploitasi. Karena industrilisasi hanya terjadi jika pabrik atau kapital yang masuk menyerap tenaga kerja lokal, sehingga kelas menengah terbentuk di daerah itu, lalu kemudian proses “modernisasi dari dalam” terjadi. Pada masa itu, orang Aceh hanya bekerja sebagai tukang bangunan ketika Arun sedang dikonstruksi, lalu mereka kehilangan pekerjaan ketika perusahaan itu beroperasi. Yang menjadi pekerja terampil dengan gaji yang lebih dari cukup, adalah orang dari luar Aceh.
Maka dari itu, seandainya saja Aceh tidak punya hambatan psikologis dalam mempelajari ilmu agama dan ilmu umum, seandainya saja kita tidak ada konflik sehingga bisa fokus membangun sumber daya manusia yang tangguh di bidang sains dan teknologi, pastilah ketika momentum Exxon datang, anak-anak Acehlah yang bekerja di industri gas alam itu. Namun, karena kita belum siap, orang luar yang menikmatinya.
Kemudian, salah satu penyebab konflik adalah ketimpangan pendapatan daerah dengan nasional. Pembagian hasil laba LNG di Aceh di masa orde baru sebagai berikut: 55 persen ke Pertamina atau pemerintah pusat, 30 persen ke Mobil Oil, 15 persen ke JILCO (sindikat perusahaan Jepang-Indonesia), dan 5 persen ke daerah Aceh. Kesenjangan pendapatan daerah dan ekonomi berbasis etnis ini melahirkan kecemburuan sosial yang besar. Inilah penyebab ide entno-nasionalisme Hasan Tiro mendapatkan tempat. Walaupun alasan Tiro memberontak bukanlah faktor ekonomi, tapi ide dasar bahwa Aceh memang bukan bagian dari Indonesia sedari awal. Namun bagi masyarakat bawah, faktor ekonomi yang mendorong mereka untuk angkat senjata. Sementara itu, siapapun yang menjadi presiden Indonesia, sudah bersumpah atas nama Tuhan dan dibawah kitab suci untuk menjaga konstitusi, yakni menjaga keutuhan NKRI. Sebagai konsekuensi, pertumpahan darah terjadi lagi di Aceh.
Hadirin yang saya muliakan.
Pertanyaannya sekarang, setiap kali terjadi ketidakadilan dan ketidakpuasan, apakah solusinya harus selalu angkat senjata? Apakah tidak bisa diselesaikan melalui jalur politik dan lobi? Terlepas dari sedikitnya pendapatan daerah yang Aceh terima, di satu sisi, pembangunan di Aceh sudah berada di jalan yang benar. Izinkan saya mengutip dengan agak panjang tulisan begawan Sejarah dari LIPI asal Minang, Taufik Abdullah:
“Orde Baru pun lahir. Era baru mungkin telah dimulai bagi Aceh. Pada awal 1970-an, Aceh menunjukkan tanda-tanda akan menjadi model teladan tentang bagaimana seharusnya sebuah daerah di era pembangunan. Di bawah pimpinan Rektor Universitas Syahkuala setempat, Profesor Madjid Ibrahim, seorang ekonom yang memiliki koneksi nasional yang baik, ia bersama intelektual Aceh lainnya, mendirikan Badan Pembangunan Aceh (Aceh Development Board) yang bekerja sama erat dengan gubernur Aceh.
Hubungan kerja antara universitas dan kantor gubernur menjadi lebih erat setelah Madjid Ibrahim sendiri diangkat menjadi gubernur (1978). Saat itulah sejumlah dosen ditugaskan langsung ke pemerintahan provinsi. Kepala serta beberapa anggota badan perencanaan daerah berasal dari universitas. Beberapa bupati direkrut dari universitas dan Institut Agama Islam Negeri. Karena Aceh akan segera memulai proyek-proyek pembangunan besar, mantan gubernur yang telah berusaha sekuat tenaga untuk membuka jalan menuju industrialisasi Aceh, diangkat menjadi salah satu direktur PT Arun, sebuah perusahaan patungan dengan perusahaan asing.
Universitas Syahkuala menjadi tuan rumah pusat pelatihan penelitian ilmu sosial dengan peserta yang datang dari seluruh negeri. Secara praktis, program ini berarti bahwa setiap tahun dua belas sarjana muda dari daerah lain di Indonesia berkesempatan untuk mempelajari berbagai aspek situasi kehidupan Aceh. Ibu kota Aceh, Banda Aceh, menjadi tuan rumah acara nasional besar — kompetisi membaca Al-Qur’an — dan kegiatan lainnya.
Segalanya tampak cukup menjanjikan dan masa depan yang cerah sudah menunggu di depan mata. Ironisnya, kekayaan alamnyalah yang merusak masa depan cerah Aceh.”
Di masa Orde Baru, yang menjadi agensi adalah para teknokrat yang juga para dosen di kampus Darussalam ini. Para teknokrat Aceh ini, kata Prof Dr Teuku H Ibrahim Alfian, adalah “orang modern pada masanya yang mencoba menembus tanda-tanda zaman ketika menghadirkan Aceh dengan sebuah visi yang baru.” Dengan segala keterbatasan yang ada, seperti yang dikutip Aspinall di Islam and Nation, mereka mampu menjadikan Aceh menjadi provinsi di luar Jawa yang paling baik performa ekonominya. Padahal pembangunan Orde Baru sangatlah berpusat di Jawa. Hubungan mereka yang baik dengan elit nasional juga membuat Aceh, di tahun 1987, menjadi provinsi luar Jawa yang paling banyak mendapat dana bantuan dari pusat, dan nomor lima se-Indonesia. Dari perspektif lain, ada mantan pejuang GAM melihat fenomena pertumbuhan ekonomi di Aceh masa itu hanya dinikmati oleh segelintir elit, lalu dilanjutkan oleh anak-anak mereka. Kecemburuan ini bisa dipahami, namun apakah tepat solusinya angkat senjata? Sebenarnya, banyak sekali dokumen sejarah yang menunjukkan bahwa para teknokrat ini sadar betul, bahwa tantangan terbesar mereka adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi di Aceh bisa merata ke rakyat banyak. Dan mereka, dengan ilmu ekonomi yang dimiliki, sedang berjuang menuju ke arah pemerataan ekonomi. Namun sayang, momentum pembangunan dan pemerataan ini harus terlepas karena konflik bersenjata. Aceh menjadi daerah yang tidak aman, sehingga tidak menarik bagi investor. Dulu Aceh memiliki Pabrik Gula Cot Girek dan industri sirup Kurnia yang tiap bulan Ramadhan dan Lebaran kita minum sampai sekarang. Yang terjadi kemudian, Cot Girek berhenti beroperasi dan pabrik sirup Kurnia pindah tempat produksi dari Kampung Mulya ke Sumatera Utara. Kita tidak bisa menafikan, konflik bersenjata adalah salah satu faktor kenapa dua industri ini mati dan pergi. Konflik membuat Aceh mengalami deindustrialisiasi. Tidak hanya itu, kita kembali membunuh sesama orang Aceh. Sekolah dibakar dan dua orang rektor ditembak mati. Lalu bencana alam Tsunami datang, seolah memberikan kita teguran.
Hadirin yang saya muliakan.
Baru saja kita melakukan tur sejarah dari masa Iskandar Muda hingga tsunami 26 Desember 2004. Kita menyaksikan jatuh bangunnya kita sebagai bangsa. Konflik yang kita ciptakan sendiri, membuat kita selalu merubuhkan apa yang sudah kita bangun, kita seperti selalu harus memulai dari awal lagi.
Sekarang, dua puluh tahun setelah tsunami, adalah masa damai yang paling panjang dalam sejarah Aceh modern. Seharusnya, Ini adalah momentum kita untuk bangkit lagi secara ekonomi. Namun kenyataan bahwa kita masih jadi provinsi miskin, di tengah guyuran dana otsus dan berlimpahnya sumber daya manusia, ini adalah indikator bahwa kemiskinan kita adalah struktural, buatan manusia, bukan hukuman dari langit. Kita perlu mengambil pelajaran untuk jangan pernah menganggap remeh kesenjangan sosial. Pasca MoU, elit-elit baru di Aceh memiliki rumah baru yang mewah, istri baru, mobil baru, lalu memamerkan kekayaan mereka di sosial media. Sementara rakyat biasa hidupnya tetap susah. Jika Anda tak percaya, coba tanya berapa gaji pekerja di warung kopi. Rata-rata upah mereka di bawah satu juta. Bayangkan, apa yang bisa dibeli dari gaji 800,000 per bulan. Untuk kehidupan sehari-hari saja tidak cukup, apalagi untuk mentraktir calon istri yang ia sukai, belum lagi untuk membeli mahar yang harganya selalu makin naik. Sementara itu, jika ia berpacaran lalu ketahuan Wilayatul Hisbah, bisa kena cambuk. Setahun yang lalu, seorang pelayan Cafe di Banda Aceh pernah mengatakan bahwa ia terpaksa keluar dari kampungnya demi terhindar dari menjual Sabu, namun karena hidup di Banda Aceh susah, maka ia mencari kerja ke Malaysia. Hadirin yang saya muliakan, beginilah kondisi rakyat bawah, bahkan ada banyak yang lebih parah.
Yang kita perlukan saat ini adalah kekuatan agensi berupa pemimpin yang kuat, seperti Iskandar Muda, yang mampu mengubah Aceh dari pandemi kelaparan menjadi negara yang stabil, kuat secara ekonomi, dan memiliki budaya maritim yang kosmopolitan. Demokrasi elektoral memungkinkan kita mengganti atau melanjutkan agensi selama lima tahun sekali. Namun, kelemahan demokrasi adalah kita sering kali memilih pemimpin yang kita sukai, bukan yang kita butuhkan. Ini adalah kelemahan demokrasi yang dikritik oleh Socrates dan Plato. Demokrasi yang berasal dari Athena Yunani justru dikritik oleh filsuf yang paling pintar di masanya. Pastilah kritik ini ada alasannya. Di buku Republik bab enam, Plato dan Socrates menganologikan memimpin masyarakat itu seperti menahkodai kapal yang akan melewati ombak besar dan angin badai. Untuk bisa sampai ke tujuan, dibutuhkan nahkoda yang memiliki keterampilan yang sudah teruji dari pengalamannya melaut. Lantas, kata dua filsuf besar ini, bagaimana mungkin kita memilih nahkoda sesuai dengan selera penumpang. Karena itu, bagi Plato, sebuah negara harus dipimpin oleh ‘Philospher King” atau raja yang bijaksana. Kebijaksanaan ini bukan didapatkan dari gelar sarjana, tetapi dari akumulasi pengetahuan, karakter, dan pengalaman. Dengan kata lain, Aceh belum memiliki agensi yang kuat karena tidak ada sistem meritokrasi di politik dan pemerintahan.
Dalam bukunya The Future of Freedom, Fareed Zakaria yang merupakan pengagum demokrasi liberal melihat karakter Philosopher King ini ada pada sosok Lee Kuan Yew saat memimpin Singapura. Sebagaimana yang kita ketahui, ketika Singapura berpisah dari Malaysia, hampir semua negara memprediksi negara kecil yang tidak punya sumber daya alam ini akan ambruk. Lee Kuan Yew tahu betul ini. Berbeda dengan Aceh yang kaya sumber daya alam dan memiliki sejarah masa lampau yang indah, Singapura tidak memiliki hal itu. Masa lalu Singapura adalah daerah miskin yang dibuang. Namun, justru inilah yang membuat mereka fokus ke masa depan, ketimbang terjebak dengan nostalgia masa lalu. Ada tiga hal yang dilakukan Lee Kuan Yew: Pertama, menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.
Siapapun yang mau bekerja di instansi pemerintah atau belajar di sekolah negeri, wajib bisa berbahasa Inggris. Ketika kebijakan ini diambil, banyak sekali yang memprotes. Lee Kuan Yew tidak bergeming. Hasilnya sekarang, warga Singapura bisa bergaul dengan dunia dan bisa mengakses banyak informasi, tanpa harus kehilangan identitas lokal mereka. Kebijakan kedua, membawa semua orang yang bertalenta datang ke Singapura, sehingga negara itu memiliki sumber daya yang tangguh untuk beroperasi maksimal. Hasilnya sekarang, Singapura mengekspor sumber daya manusia ke negara-negara maju, sebagai tenaga kerja terampil, bukan sebagai pembantu rumah tangga. Kebijakan ketiga, menjadikan Singapura menjadi negara yang bersih dari korupsi. Sampai saat ini, berdasarkan laporan Transparancy International, Singapura masih bertengger di urutan kelima dunia sebagai negara yang paling bersih dari korupsi.
Kondisi ini terbalik seratus delapan puluh derajat di Aceh, sampai saat ini masih ada yang beranggapan bahasa Inggris sebagai bahasa ‘kaphe’, sehingga tak perlu diajari. Karena tidak ada industrialisasi, banyak sumber daya manusia Aceh yang keluar untuk bisa berkarir, karena yang penting di daerah ini adalah ‘orang dalam’ ketimbang kemampuan. Kemudian, Aceh salah satu provinsi yang rawan dengan korupsi. Sudah banyak pemimpin daerah yang ditangkap karena mencuri uang rakyat.
Dan negara yang meniru Singapura adalah Tiongkok atau Cina. Hanya dalam kurun waktu 40 tahun (setengah usia rata-rata manusia), Cina berhasil mentransformasikan negerinya dari negara berkembang menjadi negara maju. Saat ini ia menjadi superpower ekonomi kedua setelah Amerika Serikat tanpa perlu menjatuhkan bom ke negara orang. Para hadirin yang saya muliakan, tidak ada dalam sejarah manusia, sebuah negara bisa mentransformasikan dirinya secepat China, bahkan oleh negara-negara Eropa Barat sekalipun. Saya sengaja memilih Singapura dan Cina sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa negara tanpa demokrasi, jika berfokus pada meritokrasi, maka akan makmur sejahtera. Sementara dalam demokrasi tanpa sistem meritokrasi, pemimpin yang muncul bisa medioker yang pintar mengambil hati orang banyak.
Legitimasi pemimpin dalam sistem demokrasi adalah suara elektoral, sejelek apapun pemimpin, jika ia menang di pemilihan umum, maka ia tetap bisa berkuasa. Karena di demokrasi, “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Maka yang diperlukan untuk berkuasa, cukup dengan melakukan pencitraan dan memanipulasi orang banyak. Maka tak heran, hampir semua literatur politik saat ini dipenuhi kekecewaan dengan tema besar “krisis demokrasi”. Sebaliknya, dalam sistem meritokrasi, legitimasi pemimpin berdasarkan performa: sejauh mana dia bisa menyelesaikan masalah dan memberikan kesejahteraan. Dia akan bertahan selama ia bisa memberikan kesejahteraan. Toh, jika punya pemimpin yang baik dan berhasil, kenapa harus diganti. Apalagi jika belum ada pengganti yang lebih baik dari dia. Dengan kata lain, suara rakyat bukan suara Tuhan. Suara rakyat adalah suara manusia yang bisa salah dalam memilih.
Saat ini, banyak yang fokus mengkritik demokrasi kita karena banyaknya politik uang. Menurut saya, kritik ini sangat lemah, karena tanpa politik uang pun, pemimpin yang terpilih tetap bisa medioker, karena basisnya selera pemilih. Bahkan, seandainya saya ini oligarki lokal yang cinta rakyat, lalu ada calon kandidat yang medikoer tapi banyak yang suka, dan medioker ini melawan calon kandidat yang kompeten tapi banyak yang tak suka, saya akan mengeluarkan semua uang saya untuk membuat calon yang kompeten ini menang pilkada. Karena tujuan memilih pemimpin adalah agar persoalan hidup orang banyak bisa selesai, bukan yang lain. Saya mengatakan ini tidak bermaksud untuk membolehkan politik uang, namun untuk mengingatkan bahwa demokrasi adalah alat, bukan tujuan.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita bisa membangun meritokrasi di sistem politik kita? Saya punya teman yang merupakan anggota Partai Komunis di Cina. Semua anggota keluarga besarnya ingin menjadi anggota partai itu, namun hanya dia yang diterima. Dia baru bisa mendaftar ke partai itu setelah menjadi mahasiswi terbaik di kampusnya.
Kemudian dia harus ikut ujian yang menguji pengetahuannya tentang sejarah Cina dan ideologi negara. Setelah lulus, dia ditempatkan pada pos di level desa, lalu naik ke kecamatan, kota, baru kemudian provinsi. Tentu saja kenaikan pangkat ini setelah teruji. Yakni sejauh mana ia bisa menyelesaikan masalah yang muncul di tempat ia ditugaskan, disinilah merit seseorang diukur. Bukan sejauh mana orang suka padanya. Di sistem satu partai seperti di Cina, politisi tak perlu memikirkan bagaimana cara dia disukai orang banyak, karena tak ada pemilihan umum disana, yang ia perlu lakukan adalah bagaimana agar bisa perform, bisa menyelesaikan tugas melampaui ekspektasi orang. Beginilah sistem meritokrasi bekerja di Cina dan Singapura. Yang perlu dijaga oleh dua negara ini adalah bagaimana sistem meritokrasi yang sudah terbentuk ini tidak dirusaki oleh korupsi. Beberapa hari sebelum Lee Kuan Yew meninggal, pesannya yang terakhir dan disampaikan berulang-ulang kali kepada penerusnya dan anggota parlemen Singapura adalah “Remember, never let the system go corrupt. Never, never let that happen (Ingatlah, jangan biarkan sistem kita jadi korup. Jangan, jangan pernah biarkan itu terjadi).
Sementara di Indonesia, setelah rezim Orde Baru tumbang di 1998, Suharto meninggal, dan desentralisasi membuat semua provinsi menjadi lebih mandiri. Hasilnya, korupsi juga mengalami desentralisasi. Dulu kita punya satu Suharto yang korupsi, sekarang kita punya seratus Suharto yang korupsi. Anak reformasi menyalahkan Orde Baru yang korup, Orde Baru menyalahkan Orde Lama yang korup, Orde Lama menyalahkan VOC Belanda yang korup. Intinya “saya jadi korup bukan karena salah saya, tapi salah orang sebelum saya”, atau “korupsi ini sudah budaya, apa hendak dikata”. Ini adalah contoh terbaik mentalitas budak yang tak punya agensi untuk mengubah struktur lama yang korup.
Hadirin yang saya muliakan.
Tantangan kita di Aceh, di Indonesia, bahkan di semua negara yang memakai sistem demokrasi ialah bagaimana memadukan demokrasi dengan meritokrasi. Pemimpin yang lemah hanya akan melanggengkan struktur yang korup, memiskinkan, dan menindas. Agensi yang kuat hanya bisa muncul dari sistem meritokrasi, baik itu dari demokrasi elektoral ataupun yang bukan. Karena urat nadi demokrasi adalah partai politik, sudah saatnya partai-partai memiliki sekolah kader dan sistem pengkaderan yang ketat sehingga yang muncul adalah politisi yang memiliki kemampuan. Untuk konteks Aceh, kita lebih beruntung karena memiliki partai lokal yang tidak terikat dengan kepentingan oligarki yang ada di level nasional. Persoalan di Aceh tak bisa diselesaikan oleh satu orang, tapi harus kolektif. Kita perlu pemimpin di legislatif yang tahu cara membuat regulasi yang bijak, menyusun anggaran, dan melakukan pengawasan, sebagaimana kita memerlukan pemimpin eksekutif yang bijak dan berani mengambil keputusan berat demi kebaikan Aceh jangka panjang, walaupun itu membuat ia tak disukai banyak orang. Inilah alasan kenapa bagi Aristoteles, ilmu yang paling sukar itu adalah ilmu politik, karena baginya ilmu politik adalah seni mendistribusikan keadilan. Dan tidak sembarangan orang bisa melakukan itu.
Terakhir, sebagai penutup, izinkan saya mengutip penggalan firman Tuhan:
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS Ar-Ra’d: 11).
Semoga Allah SWT selalu melindungi kita dari keburukan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.[]