Oleh: Sulaiman Tripa.
Penekun Kajian Hukum dan Masyarakat.
Setelah berlaku otonomi khusus, stratifikasi pemerintah di Aceh menjadi sedikit berbeda. Lantas adakah model posisi pemerintah kecamatan, dalam rangka menyederhanakan arus pelayanan di Aceh? Pada kenyataannya, wewenang yang dimiliki Pemerintah Kecamatan sangat terbatas. Kewenangan Pemerintahan Kecamatan “dibatasi” oleh kewenangan yang dimiliki pemerintahan di atasnya. Di pihak lain, pemerintahan di bawahnya, yakni Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong, semakin menguat.
Baik dalam UU Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014) maupun dalam UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006), kewenangan yang dimiliki camat (sebagai pimpinan kecamatan) tidak berbeda. Kedua UU tersebut sama-sama menyebutkan bahwa camat memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Dalam Pasal 126 UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Kecamatan dipimpin Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Selain tugas tersebut, camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, meliputi: (a) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; (b) mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban; (c) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; (d) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; (e) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; (f) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; (g) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Sementara itu, dalam Pasal 112 UU Pemerintahan Aceh, disebutkan selain memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan bupati/walikota untuk menangani urusan pemerintahan kabupaten/kota, camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: (a) menyelenggarakan kegiatan pemerintahan pada tingkat kecamatan; (b) membina penyelenggaraan pemerintahan mukim, kelurahan, dan gampong; (c) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan mukim, kelurahan, dan gampong; (d) mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; mengoordinasikan upaya penyelengaraan ketenteraman dan ketertiban umum; mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; dan mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
Dalam hal pengaturan mengenai penyelenggaraan tersebut, memang ada sedikit perbedaan persyaratannya. Dalam UU Pemerintahan Daerah, hal tersebut harus diatur dengan Peraturan Bupati/Peraturan Walikota dengan berpedoman pada PP. Sedangkan dalam UU Pemerintahan Aceh, juga diatur dengan Peraturan Bupati/Peraturan Walikota, namun dengan berpedoman pada Qanun Kabupaten/Kota.
Dalam kenyataannya, “wewenang” tersebut tidak bisa dilaksanakan penuh karena berbagai alasan. Selain penyiapan sumberdaya manusia yang minim dilakukan, juga anggaran dana yang hampir tidak tersedia secara mandiri. Khusus masalah pembiayaan, kedua UU sendiri juga mengatur secara berbeda. UU Pemerintahan Daerah dengan jelas meminta pembiayaan Pemerintahan Kecamatan dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota. Sementara penegasan tersebut tidak dijumpai secara eksplisit dalam UU Pemerintahan Aceh.
Bersamaan dengan suasana tersebut, pada kenyataannya, Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong semakin diperkuat. Dalam Pasal 114 UU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa dalam hal organisasi, tugas, fungsi, dan kelembagaan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota. Seandainya qanun tersebut belum dibentuk, maka pengaturan mukim masih berlaku Qanun Aceh No. 4/2003 tentang Pemerintahan Mukim. Tapi hingga sekarang, paling tidak ada enam atau tujuh kabupaten/kota yang sudah menyelesaikan qanun tersebut.
Di samping itu, penguatan pemerintahan gampong juga semakin berlangsung cepat. Ada tiga pasal yang mengaturnya dalam UU Pemerintahan Aceh, yakni Pasal 115, Pasal 116, dan Pasal 117. Dalam Pasal 117 disebutkan bahwa kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi, dan perangkat pemerintahan gampong akan diatur dengan qanun kabupaten/kota. Hampir sama dengan persiapan qanun mukim, qanun gampong juga sudah disahkan oleh beberapa kabupaten/kota.
Penegasan tentang gampong, kemudian terkait dengan pengaturan Pasal 113 mengenai kelurahan di Aceh. Oleh Pasal 267 UU Pemerintahan Aceh diatur, bahwa Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi gampong atau nama lain dalam kabupaten/kota, yang dilakukan dengan qanun kabupaten/kota. Penghapusan kelurahan dan pengalihan sumber pendanaan, sarana dan prasarana, serta kepegawaian dan dokumen kelurahan dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU Pemerintahan Aceh diundangkan. Pengalihan pegawai kelurahan dapat ditempatkan sebagai sekretaris gampong, pegawai kecamatan, pegawai kabupaten/kota, atau pegawai provinsi.
Kondisi jelas memberi gambaran bahwa penguatan pemerintahan mukim dan pemerintahan gampong, jauh lebih cepat lajunya dibandingkan penguatan pemerintah kecamatan. Kondisi tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai bentuk pelayanan ketiganya. Dalam hal ini pelayanan Pemerintah Kecamatan, pelayanan Pemerintahan Mukim, dan Pelayanan Pemerintahan Gampong.
Bila kita menilik sejarah strata pemerintahan di Aceh, terdapat sedikit perbedaan. Bila pada masa Kerajaan, strata pemerintahan di Aceh terdiri atas Sultan, Panglima Sagoe, Ulee Balang, Imuem Mukim, Keuchik. Tapi setelah Indonesia merdeka, ada beberapa strata yang berubah. Masa Orde Lama, urutannya meliputi: Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Keresidenan, Pemerintahan Kabupaten, Pemerintah Kewedanaan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong. Pada masa Orde Baru, jenjang pemerintahan disederhanakan menjadi lima tingkat, yakni Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat I, Pemerintahan Daerah Tingkat II, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintahan Desa / Pemerintah Kelurahan. Sedangkan masa Reformasi, urutan pemerintahan terdiri atas Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/kota, Pemerintah Kecamatan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong.
Dalam konteks kekinian, kita bisa melihat Pasal 2 UU Pemerintahan Aceh, yang membagi: (1) Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota; (2) Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan; (3) Kecamatan dibagi atas mukim; dan (4) Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong.
Kedua konsep tersebut bisa saja ditafsir berbeda. Sebelum UU Pemerintah Aceh, disebutkan mengenai pemerintahan. Namun dalam UU Pemerintahan Aceh, lebih kepada teritori. Terlepas dari itu, bahwa kenyataan tersebut mempertegas bahwa secara normatif, kecamatan tegas dan jelas disebut. Tapi mengenai bagaimana pelayanan yang diberikan pada ketiga tingkat tersebut, seyogianya diperjelas batasan kewenangan.
Hal itu perlu dilakukan agar ketiga tingkat pemerintah tidak mengurus pelayanan yang sama, yang akhirnya akan memperpanjang proses pelayanan. Di sini ditawarkan salah satu solusi untuk memperbincangan pengaturan kewenangan kembali secara jelas, agar tidak tumpang tindih antara kewenangan pemerintah kecamatan, mukim, dan gampong, terutama pada bentuk-bentuk pelayanan yang sama.
Barangkali di sinilah nantinya muncul sesuatu yang khas dalam strata pemerintah di Aceh nantinya. Bentuk ini kita sebutkan saja dengan “perspektif Aceh” atau “a la Aceh”. Jadi dalam konteks kecamatan, ia bisa dikategorikan sebagai berperspektif Aceh, ketika bentuknya tidak berbeda dengan daerah lain, namun dalam hal pelayanan secara langsung, ia sudah berbagi kewenangan dengan pemerintahan di bawahnya, yakni dengan pemerintahan mukim dan gampong.[]