Oleh Zarkasyi Yusuf.
Aparatur Sipil Negara, Kanwil Kemenag Provinsi Aceh.
“Dalam kumpulan orang gila, ternyata orang waraslah yang lebih gila”, demikian penjelasan seorang teman. Pikiran saya pun berwara-wiri, memikirkan kalimat ini. Batin saya bertanya kebalikannnya, “dalam kumpulan orang orang waras, maka orang gilalah yang paling waras?”.
Biarkan dua kalimat ini menjadi pemicu agar kita menyadari, dimana posisi kita saat ini. Salah satu kegilaan yang terjadi di Aceh, baru baru ini adalah pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di Aceh Timur, saya yakin pelakunya waras. Walau tindakannya itu melebihi perilaku orang gila.
Semua orang memiliki pemahaman yang sama ketika kata “gila” disebutkan, apalagi tampak nyata tanda-tanda gila, seperti berpenampilan lusuh dengan baju compang-camping, senyum atau ketawa sendiri tanpa sebab, kadang ditakuti orang karena tindakannya yang dapat menyakiti orang lain.
Mungkin ini definisi umum tentang makna orang gila yang kita pahami. Namun, penerjemah (Zainul Maarif), dalam buku ‘uqala al majanin (kebijaksanaan orang orang gila) dalam pengantarnya mengingatkan bahwa fokus pada aspek-aspek yang tampak saja seringkali menjerumuskan kita pada kekeliruan. Lebih tepatnya, penampilan kadang menipu.
Kenyataan hari ini, mereka yang bersepeda (kadang ada yang pakai celana pendek) pada hari-hari libur, wara wiri di jalanan kota Banda Aceh dan Aceh Besar bukanlah orang miskin. Orang-orang ini sudah bosan naik mobil, apalagi terdapat anjuran bahwa bersepeda akan lebih menyehatkan dan menjadi salah satu cara menghindari virus pandemik yang sedang melanda.
Koruptor, bukanlah orang miskin yang tidak cukup makan yang menggunakan “jurus” mencuri untuk bertahan hidup. Birokrat korup bukanlah orang bodoh yang putus sekolah, kadang mereka menamatkan semua jenjang sekolah yang diselenggarakan di dunia pendidikan. Mengambarkan kondisi ini, hadih maja Aceh telah merangkumnya dalam adagium “bangai oek teukoh, bodoh sikula na”.
Berbicara gila dan tingkahnya, kitab ‘Uqala al-Majanin yang ditulis Abu Qasim al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Habib an-Naisaburi (w. 406 H/1016 M) telah merangkum 500 kisah orang-orang yang dianggap gila.
Kisah mereka tidak ditulis sembarangan dan serampangan saja, beliau menulisnya seperti menulis kitab hadist yang lengkap dengan periwayatan kisah kisah tersebut. Dalam pengantarnya, Abu Qasim an-Naisaburi mendefiniskan makna gila. Menurutnya, orang gila adalah orang yang sering mendapatkan makian, sering dilempari, pakaiannya compang camping, atau orang yang melawan kebiasaan masyarakat umum, lalu ia berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai.
Dalam sejarah kehidupan para Rasul, mereka disebut oleh ummatnya sebagai orang gila. Sebab, para Rasul menghancurkan kemaksiatan yang diperbuat ummatnya, bertentangan dengan kebiasaan mereka yang tidak bertauhid dan menyembah selain Allah. Terkait ini, disebutkan Allah dalam al-Qur’an surat al-Qamar ayat 9 dan 10, serta surat Adz-Dzariyat ayat 38 dan 39.
Anda tahu, siapa yang pertama disebutkan kisahnya oleh Abu Qasim an-Naishaburi dalam ‘Uqala al-Majanin? Uwais al-Qarni. Uwais al-Qarni terkenal dengan julukan laki-laki yang masyhur di langit dan tidak pernah dikenal di bumi.
Meskipun dianggap oleh penduduk Qaran (Yaman) sebagai orang gila karena penampilannya, Uwais al-Qarni adalah pemuda yang berbakti kepada orang tuanya. Ia rela menggendong ibunya menempuh perjalanan menunaikan haji dari Yaman menuju Mekkah, kurang lebih sekitar 1000 kilometer lebih. Meskipun dianggap gila, Uwais al-Qarni adalah manusia yang namanya disebut Rasulullah kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam ‘uqala al-Majanin, juga disebutkan bahwa orang yang berpura-pura gila untuk menolak jabatan. Suatu hari Khalifah al-Manshur, ingin memberikan jabatan hakim agung kepada beberapa orang yang dianggapnya layak, salah satu diantara mereka yang dipanggil untuk fit and proper test adalah Mis’ar bin Qidam. Tiba di istana khalifah al-Mashur, Mis’ar bertingkah seperti orang gila, langsung saja khalifah menitahkan “keluarkan dia, karena dia orang gila”.
Mis’ar bin Qidam menolak menjadi hakim agung karena teringat sabda Rasulullah “man ja’ala qadhiyan fa qad dzabaha bi ghair sikin” (siapa yang diangkat menjadi hakim (qadhi), maka ia telah disembeli tanpa pisau).
Pertanyaan kunci, siapakah sebenarnya orang gila, apakah kita termasuk orang gila atau bukan. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, suatu hari Rasulullah melihat sekolompok sahabat yang sedang duduk berkumpul. Beliau bertanya, “mengapa kalian berkumpul di sini?” Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ini ada orang gila yang sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul di sini.” Rasulullah SAW bersabda, “Orang ini bukan gila. la sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, siapakah orang gila yang benar-benar gila?”.
Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjelaskan, “Orang gila ialah orang yang berjalan dengan sombong, memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, membusungkan dada, berharap akan surga sambil berbuat maksiat kepada Allah, kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja”.
Kita percaya bahwa, semua tidak senang jika disebut orang gila. Bahkan, sebutan “gila” kepada seseorang menjadi penyebab konflik dalam masyarakat. Jika tidak ingin jadi orang gila sebagaimana disebutkan cirinya oleh Rasulullah, maka buang jauh jauh egoisme, jangan remehkan orang lain, bertaubatlah kepada Allah dan mari menebar kebaikan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Ahmad, Rasululullah juga mengajarkan do’a agar terhindar dari penyakit berbahaya, satu diantaranya adalah gila yaitu “Allahumma innii a’uudzu Bika Minal Barashi wal Junuuni wal Judzaami wa min Sayyi-il Asqam” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit jelek lainnya).
Terakhir, jangan lupa amalkan do’a ini setiap hari, semoga Allah pelihara kita semua dari penyakit yang berbahaya, serta Allah pelihara kita semua dari lisan, sikap dan tingkah yang menunjukkan bahwa kita berada dalam barisan orang orang gila dengan kegilaannya masing-masing.