Oleh: Muhajirul Fadhli
Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Saya tidak sedang ingin bercerita tentang gegap gempita pelaksanaan MTQ Aceh ke-37 Tahun 2025 yang diselenggarakan di Kabupaten Pidie Jaya. Bukan tentang bagaimana kegiatan ini mempengaruhi psikologis masyarakat setempat, bagaimana ekonomi tumbuh, atau bagaimana para alim ulama dan seluruh instansi pemerintah serta panitia yang bergandeng tangan menyukseskan acara.
Saya pun tidak sedang menulis tentang serunya pawai, megahnya panggung, antusiasnya penonton yang memadati acara pembukaan, atau kerasnya perjuangan tc para kafilah dari seluruh Aceh yang mempersiapkan diri siang dan malam, atau besaran uang saku dan bonus, bukan juga tentang kegiatan ini menjadi sebab orang termotivasi untuk muraja’ah hafalan Al-Qur’annya, yang setiap saat terdengar kata “Bismillah..” “Allah”, “Rasulullah” dari ayat ayat yang diulang ulang di berbagai tempat. Bukan juga tentang fadhilah nazalat ‘alaihim al-sakinah wa ghasysyiyathum al-rahmah wa haffathum al-malaikah wa zakarahumullah fiman ‘indah ketika Al-Qur’an dibacakan.
Saya ingin bercerita tentang sesuatu yang berbeda, lebih dalam, dan mungkin sering luput dari pandangan yaitu tentang cinta yang diam-diam meneteskan air mata di sudut arena MTQ. Sebagai pendamping yang diminta mendampingi kafilah Banda Aceh di tahun ini, saya berkesempatan menyaksikan begitu banyak kisah yang tak tertulis di hasil penilaian dewan hakim, tetapi tertulis dalam hati para orang tua yang datang dengan penuh doa.
Di balik lantunan ayat suci yang menggema, ada sepasang mata yang bergetar menatap anaknya berdiri di depan mikrofon. Ada tangan yang menggenggam tasbih, tapi sebenarnya sedang bergetar menahan haru. Saat bibir kecil itu melafalkan ayat-ayat Allah, suara lirih seorang ibu terdengar di sela desahan nafasnya, “Ya Allah..cintaku, dia buah hatiku.” Ibu itu bukan sedang mengejar piala, bukan juga berharap sanjungan, ia hanya ingin melihat bukti bahwa perjuangannya mengantar anak itu mengaji sejak kecil tidak sia-sia.
Dan ketika sang anak menutup bacaan dengan suara bergetar karena gugup, air mata ayah yang duduk di kursi penonton akhirnya jatuh. Ia yang selama ini keras dalam mendidik, kini lebur oleh kebanggaan yang tak terucap. Di antara hiruk-pikuk sorak sorai penonton, cinta keluarga itu bergetar lembut seperti alunan tartil yang menyentuh jiwa. Mereka tidak sedang mencari kemenangan dunia, tetapi sedang menyaksikan bagaimana cinta, doa, dan kesabaran berbuah menjadi keindahan.
Di MTQ ini, saya melihat lebih dari sekadar kompetisi. Saya melihat bagaimana Al-Qur’an mempertemukan hati-hati dalam ikatan yang suci. Seorang ibu yang menyiapkan bekal dengan doa, seorang ayah yang menenangkan anaknya sebelum naik panggung, dan anak-anak yang menjawab dengan senyum, “Insya Allah, Yah… Bismillah.” Semua itu adalah kisah cinta yang tidak ditulis di media, tapi di langit, oleh para malaikat yang menyaksikan.
Maka, di balik ayat yang dilantunkan, ada cinta yang tak bersuara. Di balik medali dan piala, ada pelukan hangat yang jauh lebih berharga. Di balik sorotan lampu panggung, ada keluarga yang belajar bahwa kebahagiaan sejati bukanlah saat menang, tapi ketika cinta dan Al-Qur’an bersatu di dalam satu rumah, satu hati, dan satu doa. MTQ bukan hanya acara membaca Al-Qur’an dua tahun atau empat tahun sekali, tapi juga tempat seorang anak belajar tentang kasih sayang, dan tempat orang tua menyadari betapa besar karunia Allah ketika mereka melihat buah hatinya tumbuh dalam cahaya Al-Qur’an. Karena sesungguhnya, air mata yang jatuh di panggung MTQ bukanlah tanda kesedihan, melainkan bukti syukur, menang kalah itu biasa yang luar biasa adalah ketika cinta yang dibina dengan Al-Qur’an selalu menemukan jalannya menuju keindahan.
Dan akhirnya, saya ingin mengatakan, mudah-mudahan dengan MTQ ini menjadi stimulan agar Al-Qur’an senantiasa dibaca, dikaji, dipahami dan diamalkan setiap hari, setiap waktu, di rumah-rumah kita masing-masing. Semoga dari lantunan ayat-ayat suci itu tumbuh kedamaian yang menyejukkan, menyatukan hati, dan menumbuhkan kasih sayang di tengah keluarga. Sebab MTQ sejatinya bukan sekadar kompetisi yang bersifat formalitas, tetapi peringatan indah bahwa Al-Qur’an harus terus hidup di antara kita menjadi cahaya yang menuntun, menguatkan, dan menumbuhkan cinta dalam setiap rumah tangga. []



















