Oleh: Rahmat Fahlevi.
Mahasiswa Ilmu Politik Fisip Universitas Syiah Kuala.
Sebagai pembuka, saya tidak ingin menyebut Mahasiswa dengan idiom “agent of change” itu terlalu mulia dan ‘hyper utopis’. Namun melihat realita sekarang lebih tepat disebut “reformator oportunis” yang senantiasa mentransformasikan sikap oportunis serta mengembangkannya dalam setiap dimensi kehidupan.
Dibawah ini sebuah surat terbuka untuk seluruh instansi Mahasiswa yang ada di USK;
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU)
BEM adalah salah satu hierarki tertinggi dalam instansi Mahasiswa, ia mempunyai banyak jajaran kementerian yang mampu memaksimalkan segala macam kegiatan yang bahkan mampu berbuat untuk eksternal kampus yaitu masyarakat.
Dari sekian banyak kementerian yang dimiliki BEM namun program serta misinya hanya bertengger di lingkup Universitas saja maka ia tidak ada bedanya dengan divisi OSIS di SMA.
Kita Mahasiswa seharusnya benar-benar menerapkan mindset yang out of the box, melihat masalah dari segala sudut pandang. Jika alasan mereka mengatakan “kami hanya berfokus untuk memperbaiki internal saja” maka yang seharusnya dilakukan oleh ketua BEM adalah mencopot menteri yang demikian, karena Mahasiswa yang demikian pola berpikir sangat deterministik, hyper legal formal, konservatif dan tidak peka terhadap lingkungan. Beberapa kali, BEMU USK tahun lalu sangat jelas terlihat tidak harmonis dan setiap kegiatan yang dilakukan mendapat label “Inkonstitusional” oleh DPMU dan jajarannya.
Hal ini membuat BEMU bertindak sewenang-wenang dan melupakan DPMU sebagai dewan perwakilan Mahasiswa yang berfungsi sebagai watch dog untuk melakukan fungsi pengawasannya.
Menjadi ketua BEMU jangan seperti Alberto fujimori di Peru yang harus memimpin dengan dekrit tanpa ada persetujuan undang-undang dari legislatif, namun eksekutif harus berusaha meraih simpati parlemen (DPMU) agar setiap langkahnya di dukung.
Dalam ajang kontestasi debat BEM USK terakhir yang baru saja dilaksanakan beberapa hari lalu, saya hampir tidak melihat argumen yang visioner dan substansial bahkan ada paslon yang menjadikan panggung debat sebagai ajang curhat terkait prosedural pencalonan dirinya sebagai Presma USK.
Ini terjadi karena tidak ada keselarasan visi dan program serta kemampuan keuangan dalam melaksanakan misi.
Visi dan misi yang disajikan seolah logic namun jika di ditelusuri lebih dalam akan terlihat kekeliruannya, ini di akibatkan terlalu surplus euforia dan demam panggung sehingga menutup mata paslon dalam melihat masalah.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF)
Pada tataran BEMF saya sedikit melihat masalah yang sangat krusial yang menciptakan instabilitas Politik kampus.
Angkatan 2017 seharusnya tidak lagi menaiki jabatan BEMF, hal yang harus dilakukan adalah dengan memberi mandat BEM kepada angkatan 2018 agar perpolitikan kampus kembali stabil dan hal ini hanya dilakukan oleh Mahasiswa-mahasiswa berjiwa besar lagi bijak dan sangat sulit untuk ditemukan.
Jika Mahasiswa angkatan 2017 diberikan mandat BEM sekarang maka mereka akan turun nanti di semester 10 dan hal ini tentu membuat para angkatan muda mulai dari 2019 dan seterusnya skeptis untuk naik ke jenjang BEM karena mengingat isu yang sedang beredar batas masa kuliah angkatan 2019 dan seterusnya adalah 5 tahun atau lebih tepatnya 10 semester, tentu dengan diembannya jabatan oleh angkatan 2017 sangat jelas terlihat instabilitas Politik tingkat Fakultas.
Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU)
DPMU dipilih berdasarkan komposisi Mahasiswa di setiap Fakultas, hal ini sama halnya seperti pemilihan DPR di Amerika untuk mengisi House Of Resresentatif (HoR).
Terlepas dari persoalan mekanisme pemilihan, DPMU harus benar-benar menjalankan keempat fungsinya yaitu legislasi, controling, budgeting dan advokasi.
DPMU seolah seperti gurita yang mempunyai banyak tentacle dan mempunyai hak veto untuk mengesahkan atau tidaknya setiap kegiatan yang akan dilakukan BEM. Namun, DPM tidak boleh pongah dalam hal ini dengan serta merta menggunakan hak vetonya bukan dilandasi oleh hal yang argumentatif melainkan ego dan emosional saja sehingga menghambat kinerja BEMU.
PR paling berat yang harus dipikul oleh DPM USK adalah terbentuknya Mahkamah Mahasiswa. Dengan tidak adanya MM maka setiap gugatan hasil pemira tidak tahu harus diajukan kemana dan siapa yang menjadi Hakimnya serta tidak ada undang-undang yang menjadi pedoman dalam penyesaian kasusnya.
Mahkamah Mahasiswa adalah konstituen paling urgen dalam miniatur Politik USK sekarang ini, ia sebagai juri, penengah dan penyelesai setiap sengketa pemira.
Saya melihat beberapa kali pemira terakhir sangat jelas terlihat kecurangan yang terjadi dalam pemira baik di tingkat Fakultas dan Universitas sendiri, mulai dari kecurangan yang kualitatif maupun kuantitatif untuk memenangkan salah satu paslonnya. Maka jika Mahkamah Mahasiswa terbentuk, DPMU tahun ini akan menjadi katalisator bagi iklim perpolitikan dan penyumbang jasa terbesar karena lengkapnya trias politica kampus.
Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPMF)
DPMF selain di intra Fakultas, ketua serta Sekjen juga termasuk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) sebagai lembaga Mahasiswa tertinggi dalam lingkungan kampus yang mempunyai hak untuk melakukan impeach terhadap BEMU.
DPMF juga mempunyai hak untuk melakukan impeach terhadap BEMF apabila melakukan tindakan yang menurut prosedural melanggar dan tidak beretika.
DPMF jangan hanya memakai jaket MPM untuk ajang gagah-gagahan. Namun, tampunglah aspirasi kawan-kawan Mahasiswa serta eksekusi dengan segala kemampuan dan tupoksi yang dimiliki.
HIMPUNAN
Himpunan sebagai akomodasi terakhir bagi Mahasiswa jurusan seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk mengkaderisasi para Mahasiswa dengan baik dan berpemikiran reformis dan tajam. Gunakanlah setiap bidang untuk benar-benar mengstimulus doktrin yang baik dan sesuai dengan visi beserta misi ketua Himpunan. Jadikan setiap misinya saat kampanye sebagai dasar perumusan misi bagi setiap bidangnya agar setiap bidang menjadi eksekutor dari pada misi ketua Himpunan atau perpanjangan tangannya.
Komisi Pemilihan Raya (KPR)
KPR atau KPU nya kampus. Dalam buku kampus undercover saya menganjurkan agar KPR ini di instansikan saja dan tidak ad hoc atau sementara. Jika KPR sifatnya temporal dan adanya pembentukan panitia khusus (pansus) untuk proses perekrutan, ini akan di curigai ada kepentingan pihak tertentu. Saya menyarankan agar KPR dibentuk menjadi lembaga yang tetap dan tidak bisa di intervensi lagi independen. Kredibilitas KPR sangatlah penting, institusionalisasi KPR juga menjadi proses untuk mengkristalkan kredibiltas KPR sendiri dikalangan Mahasiswa dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang independen.
Pada pemira kemarin saya melihat sedikit anomali dalam debat kandidat. Setiap paslon seolah mengalami katalepsi, mati dan tidak ekspresif. Hal itu disebabkan karena setiap paslon dibuat seperti tokek yang harus selalu menempel pada mimbar.
Kita ingin melihat setiap paslon bebas dalam bergerak, ekspresif, tidak kaku dan leluasa dalam gesturnya. Seharusnya KPR menyediakan sejenis kursi seperti debatnya kandidat Gubernur DKI Jakarta Ahok vs Anies. Dari debat itu kita dapat melihat bagaimana kedua paslon tersebut bebas dan leluasa dalam bergerak.
KPR harus selalu sigap dalam melihat dinamika pemilihan kampus, baik dalam memperkecil bahkan menghilangkan potensi kecurangan, melihat bagaimana dinamika elektoral tingkat nasional dan lokal yang sehingga dapat mengaplikasikan hal tersebut di USK agar secara gradual KPR menuju kepada independen yang sebenarnya dan meminimalisir segala macam bentuk kecurangan.
Ketua KPR harus out of the box dalam berpikir, tidak tetap bertahan pada status quonya, melakukan upaya debikrokratisasi yang terlalu berlebihan dalam hal pendaftaran baik DPMU atau BEMU, mempermudah segala hal terkait administrasi dan tetap mengutamakan kebijaksanaan dalam bertindak yang tidak hanya berorientasi kepada legal formal.
Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP)
Di USK sendiri terdapat beberapa Okp diantaranya HMI yang sedang menancap akarnya, SAPMA dengan infiltrasi tajamnya dan PMII tetap pada status quo-nya. Kepada seluruh Okp yang sedang berlaga di USK saya sangat berharap mereka melahirkan kader yang benar-benar bijak dalam hal leadership bukan berkacamata kuda berorientasikan jabatan atau hanya office seeking.
Beberapa kawan-kawan Mahasiswa yang punya background Okp saya melihat perkembangan yang signifikan pada diri mereka terutama pada persoalan public speaking. Ada juga beberapa yang saya temui kader yang anomali, megalomania terhadap kekuasaan atau hanya berorientasi office seeking.
Hal ini yang harus di detoksifikasi oleh para senior setiap Okp dan memberi orientasi yang lebih tepat sehingga tidak memunculkan konflik interest dalam hal bargaining position.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
Ukm di USK sangat banyak. Namun, yang sangat menarik atensi saya adalah UKM pers DETaK atau saya sering menyebut mereka dengan idiom “Temponya USK” karena membuat karikatur yang sangat tepat dan timingnya cukup bagus. Namun saya sangat berharap agar UKM satu ini senantiasa independen kepada siapapun bahkan rektorat sekalipun karena sebagai lembaga independen tidak peduli kritik dan pemberitaan baik vertikal maupun horizontal.
Dalam jurnalnya Mark Horkheimer dan Theodore adorno yang berjudul “Culture Of Industry: the enlightenment as mass deception” Media adalah sebagai sarana penerang bagi publik maka jangan sampai terjerumus kepada jurang kepentingan sehingga menciptakan “As mass deception”
Pembibitan Money politics dalam kampus pada PEMIRA.
Sudah hampir 4 tahun saya berkuliah di USK dan menggeluti beberapa prodi diantaranya Manajemen, Sosiologi dan Ilmu Politik.
Baru tahun ini saya melihat terjadinya proses Money politics dikampus.
Orang-orang melihat Money politics hanya pada proses pembagian uang saja untuk meningkatkan elektabilitas atau meraup keuntungan elektoral. Saya melihat dengan sudut pandang yang berbeda, maka saya katakan dengan tegas, bagi-bagi pulpen yang dilakukan paslon 03 Suhen-Rona adalah tindakan Money politics.
Hal yang dilakukan paslon 03 tidak dapat dibiaskan dengan mengatakan “ini sebagai hadiah, hibah” karena itu adalah proses pengkaburan makna primer dari pada Money politics sendiri dengan menggunakan artikulasi keagamaan untuk menutup kedok Money politics.
Saya sangat menyayangkan hal ini dilakukan oleh paslon 03 Suhen-Rona, karena ini bisa jadi peletakan batu pertama untuk terjadinya praktik Money politics yang berkelanjutan kedepannya.
Penggunaan nomenklatur hibah atau hadiah guna untuk mengurangi stigma social desirability bias adalah hal yang keliru, sekali Money politics tetaplah Money politics.
Saya sangat berharap agar hal yang seperti ini tidak lagi dilakukan dalam kontestasi kedepannya agar tidak merusak variabel demokrasi kampus.[]