Dr. Sehat Ihsan Shadiqin
Dosen Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry.
Saya duduk di sebuah warung kopi di Banda Aceh, menikmati segelas Kupi Pancong, kopi hitam kental yang disajikan separuh gelas, dengan aroma kopi yang sangat kuat. Ini telah menjadi ciri khas kopi Aceh yang dibuat dengan cara tradisional. Di sekeliling saya, orang-orang bercakap-cakap, beberapa tertawa terbahak, beberapa larut dalam diskusi politik, dan yang lain sibuk dengan layar laptop atau sekadar berbagi cerita ringan. Saat ini, warung kopi di kota bukan sekadar tempat minum, tetapi juga ruang sosial, tempat gagasan bertemu, dan mungkin, seperti di masa lalu, menjadi ajang perdebatan panjang.
Saat menyeruput kopi yang masih panas itu dan teringat bahwa minuman yang kini begitu lumrah ini pernah menjadi sumber kontroversi hebat di dunia Islam. Pernah ada masa ketika kopi dilarang, dianggap berbahaya bagi moralitas dan ketertiban sosial. Namun, seiring waktu, kopi justru menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Muslim, termasuk di Aceh. Essai pendek ini mencoba meringkas perjalanan dan dinamika kopi dalam sejarah Islam.
Kopi di Antara Sufi dan Ulama
Di warung tempat saya duduk ini, “barista” tidak mengaduk kopi dengan sendok panjang, melainkan menyaringnya ke dalam gelas-gelas dan menyajikannya kepada konsumen. Ini berbeda dengan teknik tubruk atau tarik yang menghasilkan buih khas di permukaan kopi. Apalagi dengan kopi mesin yang semakin populer sekarang ini. Meskipun berbeda, saya membayangkan beginilah kopi pertama kali dipopulerkan oleh para Sufi di Yaman berabad-abad lalu.
Para Sufi, yang sering menjalani ritual dzikir sepanjang malam, menemukan bahwa minuman ini membantu mereka tetap terjaga. Mereka percaya bahwa kopi bukan sekadar minuman, tetapi alat spiritual yang membantu mereka lebih fokus dalam beribadah. Hal ini menyebabkan kopi menjadi minuman yang tidak terpisahkan dari berbagai ritual kaum sufi dan menjadi teman mereka baik kala sendiri atau bersama. Popularistas ini menjadikan kopi mulai menyebar ke Mekkah, Kairo, Damaskus, Aleppo, hingga Istanbul. Penyebaran ini bukan saja membawa aroma dan kenikmatan, namun juga membawa serta kontroversi.
Di berbagai kota Islam pada abad ke-16 hingga ke-18, kopi diperdebatkan secara sengit. Saya membayangkan suasana di Kairo atau Damaskus saat itu, kedai kopi yang ramai, suara cangkir beradu, dan ulama yang berdebat tentang apakah minuman ini halal atau haram. Sebagian ulama menolak kopi karena dalam bahasa Arab, kata qahwa sebelumnya digunakan sebagai sinonim untuk anggur, yang jelas dilarang dalam Islam. Mereka khawatir bahwa kopi memiliki efek seperti alkohol, yang dapat mengubah kesadaran dan membuat orang lalai dari ibadah.
Di sisi lain, para Sufi dan pendukung kopi berargumen bahwa minuman ini tidak memabukkan, melainkan memberikan energi untuk beribadah. Perdebatan ini semakin intens saat kedai kopi mulai muncul di berbagai kota. Bagi para ulama konservatif, kedai kopi adalah tempat penuh pengaruh buruk—tempat orang-orang berkumpul bukan untuk ibadah, tetapi untuk membahas politik, sastra, dan kadang-kadang, hal-hal yang dianggap tidak bermoral.
Dari Larangan ke Perlawanan
Di sekeliling warung di mana saya minum kopi, terdapat banyak sekali meja-meja kayu tua, kursi plastik, dan suara denting sendok yang mengaduk kopi. Aroma robusta dan arabika bercampur di udara. Seorang pria di meja sebelah saya berbicara dengan suara lantang, mendiskusikan kondisi politik Aceh saat ini, terutama pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh Presiden Prabowo. Pada masa lalu, mungkin pemandangan ini juga terjadi, bagaimana kedai kopi di dunia Islam dulu menjadi pusat diskusi.
Bedanya, pada masa lalu, kedai kopi sempat dicurigai oleh penguasa. Di Mekkah, seorang hakim pernah mencoba melarang kopi, mengklaim bahwa minuman ini dapat mengalihkan perhatian umat Islam dari shalat. Di Istanbul, Sultan Suleyman sempat mengeluarkan larangan terhadap kopi. Bahkan, di beberapa kota, kedai kopi dihancurkan, dan pedagang kopi dilarang berjualan.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, larangan seperti ini sulit diterapkan. Kopi sudah terlanjur menjadi bagian dari kehidupan banyak orang. Setiap kali ada larangan, permintaan terhadap kopi justru meningkat. Orang-orang tetap minum kopi secara diam-diam, dan para pedagang menemukan cara untuk menyelundupkannya.
Kopi, Mistik, dan Perjuangan Budaya
Para Sufi tidak hanya membela kopi sebagai minuman yang halal, tetapi juga menghubungkannya dengan makna mistis. Beberapa ulama Sufi bahkan menyebut kopi sebagai sharāb al-ṣāliḥīn, atau “minuman orang saleh.” Ada legenda yang menyebutkan bahwa kopi memiliki hubungan dengan nama Tuhan, al-Qawī (Yang Maha Kuat), karena dalam numerologi Arab, nilai hurufnya sama dengan kata qahwa.
Di Aceh, kepercayaan terhadap spiritualitas dan agama masih sangat kuat. Para ulama lokal sering berkumpul di warung kopi untuk berdiskusi, seperti para Sufi berabad-abad lalu. Saya membayangkan bahwa kopi, bagi mereka, bukan sekadar minuman, tetapi juga bagian dari ritual kehidupan sehari-hari—sesuatu yang menghubungkan dunia material dan spiritual.
Seruputan terakhir Kupi Pancong saya hampir habis. Saya berpikir tentang bagaimana kopi yang dulu dicurigai kini menjadi bagian dari identitas budaya di berbagai belahan dunia Islam. Di Istanbul, kedai kopi menjadi pusat kehidupan sosial. Di Arab, kopi disajikan dalam acara-acara penting, dari pernikahan hingga pertemuan suku. Di Aceh, warung kopi adalah jantung kehidupan kota, tempat di mana masyarakat berkumpul untuk berbagi gagasan dan cerita.
Apa yang dulunya dianggap sebagai bid’ah dalam Islam kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Muslim. Para ulama yang dulu menentang kopi akhirnya menerima bahwa tidak ada dasar kuat dalam syariat Islam untuk melarangnya. Dengan demikian, perdebatan panjang ini akhirnya berakhir dengan penerimaan universal terhadap kopi sebagai minuman yang sah dan bahkan dihormati.
Kopi dan Identitas Sosial
Seorang teman mengisap rokoknya, lalu meletakkan cangkir kopinya dengan suara pelan di meja. “Di Aceh, kopi bukan sekadar minuman, ia adalah budaya. Saya tersenyum. Memang, kopi bukan hanya sekadar cairan hitam yang kita teguk setiap pagi. Ia adalah bagian dari sejarah, simbol perlawanan terhadap larangan yang tidak masuk akal, dan bukti bagaimana masyarakat Muslim mampu beradaptasi dengan perubahan.
Hari ini, saat kita duduk di kedai kopi, berbicara tentang politik, agama, atau kehidupan sehari-hari, kita tanpa sadar sedang melanjutkan tradisi yang telah ada selama berabad-abad. Kopi bukan lagi sekadar bahan kontroversi, tetapi telah menjadi ruang bagi ekspresi budaya dan identitas sosial.
Seruputan terakhir Kupi Pancong ini terasa lebih dalam dari sekadar kenikmatan rasa. Ia membawa saya kembali ke masa lalu, ke perdebatan panjang di antara para ulama, ke perjuangan para Sufi untuk mempertahankannya, dan akhirnya, ke penerimaan kopi sebagai bagian dari kehidupan Muslim.
Mungkin, seperti halnya kopi yang dulu diperdebatkan, ada banyak hal lain dalam kehidupan kita saat ini yang masih diperdebatkan dan ditolak. Tapi sejarah mengajarkan bahwa inovasi yang benar-benar bermanfaat pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri untuk diterima.
Saya meletakkan cangkir saya di meja. Aroma kopi masih menguar di udara. Di luar, Banda Aceh terus bergerak, dengan kedai-kedai kopi yang tak pernah sepi, menjadi saksi bisu bagaimana sebuah kontroversi bisa berakhir sebagai sebuah tradisi yang kuat.[]