Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Antropolog dan Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Banda Aceh.
Dewasa ini, salah satu kata yang paling sering diungkapkan adalah benci. Istilah ini begitu popular, mulai dari kalangan selebritis hingga aparat penegak hukum di negeri ini. Bahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, begitu mudah membenci seseorang. Saya menganggap bahwa benci itu sudah menjadi suatu seni, yaitu seni kebencian (the art of hate).
Tidak hanya itu, dalam dunia benci membenci, sudah menjadi suatu komoditas yang diperdagangkan dalam dunia maya, terlebih lagi jika ada momen-momen yang menguntungkan untuk jual beli kebencian.
Ketika saya masih di bangku sekolah, ada satu stiker yang paling diingat yaitu: “Jangan membenci sesuatu, karena masih ada kebaikan di dalamnya.” Ketika belajar kata-kata mutiara, ada satu ungkapan: “Bencilah sesuatu itu sewajarnya saja, siapa tahu akan kekasihmu kelak.”
Begitu juga sebaliknya,dulu orang membenci akan menyimpannya dalam hati atau paling tidak, menuliskannya di dalam diari kehidupan. Jadi, sangat tidak elok untuk mengumbar kebencian pada seseorang, terlebih lagi jika tanpa sebab.
Namun, ketika kebencian menjadi alat rekayasa sosial, maka kebenciaan menjadi suatu kebudayaan yang amat dipentingkan. Dalam momen politik, kebencian menjadi satu alat untuk mendulang suara. Bahkan ada upaya untuk membuat kebencian secara kolektif pada seseorang atau kelompok, supaya terkesan dianiaya, lalu dia/mereka akan mendapatkan simpati atau empati dari masyarakat.
Saat ini, telah muncul manajemen kebencian yang diatur sedemikian rupa, sehingga saya atau kita terpaksa membenci sesuatu, karena dikondisikan untuk membencinya.
Karena penyebaran kebencian sangat massif, maka sekarang agak sukar mencari waktu untuk saling menyayangi dan mengasihi antara satu sama lain. Berbeda pendapat, lantas dianggap sebagai musuh. Sangat boleh jadi, musuh kawan saya, sekarang harus menjadi musuh saya juga.
Begitulah produksi kebencian saat ini disebarkan. Uniknya, media sosial yang awalnya menghubungkan seseorang dengan orang lain, sekarang malah menjadi alat untuk menjauhkan antara satu sama lain. Karena itu, perlahan-perlahan media sosial akan menjadi black hole kehidupan manusia.
Maksudnya, segala sesuatu yang di alam maya akan menjadi pseudo-friendship atau artificial belaka. Dengan kata lain, tidak ada perkawanan yang tulus, ketika ada perbedaan kepentingan di antara mereka yang bersahabat. Tidak menutup kemungkinan juga kemunculan membuat akun palsu juga merupakan tren dari kultur kebencian di alam maya.
Semua kemudian berubah menjadi masyarakat yang terbiasa dengan sesuatu yang fake. Bahkan saat ini, budaya prank (ngerjain) menjadi hal biasa di beberapa platform media sosial. Mengerjain teman, anak, orang tua, dan orang tidak dikenal menjadi hal yang biasa. Sangat boleh jadi, nanti malah negara akan melakukan prank terhadap warganya atau sebaliknya, warga negara yang melakukan prank terhadap negara.
Karena itu, media sosial sudah berperan sebagai senjata dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Ketika semua isi pikiran dan perasaan telah didigitalkan, maka pengelolaan kesadaran manusia berbasiskan pada kebiasaan mereka dalam internet. Dewasa ini, apapun yang dipikirkan dan dirasakan telah dimuseumkan oleh manusia itu sendiri dalam berbagai platform di dunia maya.
Rekam jejak digital menjadi catatan biografi seseorang ketika hendak dijadikan sebagai objek apapun dan oleh siapapun. Karena itu, media sosial memiliki kekuatan yang dahsyat di dalam mengelola perilaku manusia.
Karena kondisi di atas, maka saat ini model perang bukan lagi didesain di markas besar tentara, melainkan di kalangan industri digital. Data menjadi begitu penting untuk menyerang suatu kawasan.
Di sini, keperluan akan informasi yang sudah menjadi open sources information tidak begitu sulit untuk didapatkan. Seseorang telah menyimpan semua data pribadi mereka ke dunia maya, berikut dengan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam menjadi kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya Artificial Intelligence yang dibantu oleh sistem algoritma. Dua hal ini yang kemudian membantu proses digitalisasi pikiran manusia.
Akibatnya, terkadang internet lebih mengenal kita, ketimbang kita mengenal diri kita sendiri.
Era di atas telah berada pada persimpangan jalan. Data yang digunakan untuk kepentingan ekonomi. Namun, ketika data digunakan untuk menciptakan kerusuhan atau huru hara, saling membenci, maka ini menjadi babak baru konflik antar manusia.
Hal ini disebabkan, data digunakan untuk memetakan apa yang menjadi tugas dalam dunia spionase. Data dapat dikaburkan ketika sudah diolah.
Isi pikiran bisa dibelokkan ketika hendak diaduk dalam sebuat gudang data (big data). Ketika persoalan data ini dapat digudangkan dan didaur ulang, maka out put-nya pun bisa bermacam-macam.
Kultur kebencian menjadi salah satu produksi dari kondisi media sosial sebagai senjata.
Beberapa negara yang pernah mengalami huru-hara, harus terlebih dahulu menguasai media sosial, sebelum meredam konflik di negara mereka. Kebocoran data pada suatu negara, juga terkadang menyebabkan negara tersebut kelimpungan menghadap serangan dari musuh.
Oleh sebab itu, para ahli informasi dan teknologi berjibaku untuk mengamankan data yang menjadi aset utama negaranya. Di satu sisi, data dapat dijadikan sebagai senjata, di sisi lain, data juga harus dijaga, agar tidak dicuri oleh negara lain.
Dewasa ini, pencurian data dan penjiplakan teknologi, rupaya menjadi budaya baru di negara yang kuat secara ekonomi di pentas global. Oleh sebab itu, upaya untuk melindungi data dari pencurian negara yang sudah meniru teknologi menjadi hal utama yang dipikirkan oleh negara-negara maju saat ini.
Dalam kondisi ini, kultur kebencian dan media sosial menjadi senjata ada fenomena baru dalam kehidupan sehari-hari ummat manusia. Media sosial dengan segala hal yang melingkupinya, ternyata dapat mengarah pada hal yang positif dan juga negatif.
Namun, efek negatif dari media sosial rupanya dapat meruntuhkan kohesi sosial masyarakat. Orang berlindung dibalik akun palsu, emoji yang tidak tulus, dan memancing kemarahan secara terus-menerus, akan menciptakan masyarakat yang tidak sehat.
Tampaknya bahwa kesehatan mental masyarakat menjadi masalah baru di beberapa negara maju. Hal ini juga dipicu oleh kebiasaan mereka dalam bermedia sosial.
Hal ini tampaknya akan berdampak pada kesehatan mental masyarakat itu sendiri. Media sosial yang awalnya mempererat antara individu, pada gilirannya akan menjerat setiap individu untuk berperilaku secara kontra-produktif. Perilaku ini rupanya tidak hanya mengubah individu, tetapi juga masyarakat hingga negara sekalipun.
Akhirnya, ini hanya mengingatkan bahwa pertahanan dan keamanan suatu bangsa, dapat dirobohkan oleh persoalan kecil yang beredar di alam maya, di mana dapat dijadikan sebagai peluru atau bahkan bom waktu, ketika ada negara yang paham bagaimana menjadi media sosial sebagai senjata pemusnah massal.